Menuju konten utama

Moeldoko: Netralitas TNI-Polri dalam Pemilu Tergantung Pimpinannya

Para pejabat TNI-Polri yang ikut berlaga dalam Pilkada 2018, yakni di Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan Timur dan Maluku.

Moeldoko: Netralitas TNI-Polri dalam Pemilu Tergantung Pimpinannya
Dr. Moeldoko, S.IP., Kepala Staf Kepresidenan Indonesia. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Netralitas TNI dan Polri dalam Pilkada Serentak 2018 dipertanyakan oleh rakyat. Ada masyarakat yang menuding para aparat bisa terlibat memengaruhi pilihan publik. Ada juga yang berpendapat para aparat mampu menjaga netralitas dalam pemilu.

Menanggapi hal itu, mantan Panglima TNI sekaligus Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan netralitas aparat keamanan tergantung pada pemimpinnya.

“Jika pemimpin tidak netral, jajarannya akan bingung. Niat baik si pemimpin harus dijaga, untuk membawa prajuritnya agar tetap netral, “ ungkap Moeldoko dalam diskusi publik P8: “Netralitas Aparat dalam Pilkada dan Pemilu” di Jakarta Pusat, Kamis (5/7/2018).

Moeldoko menegaskan, sang pemimpin harus bisa membawa diri untuk bersikap netral dalam pemilu. Selain itu, lanjut dia, undang-undang yang mengatur tentang netralitas TNI-Polri sudah ada sehingga harus dipatuhi oleh seluruh jajaran aparat.

Netralitas merupakan amanah dalam pelaksanaan reformasi internal TNI sesuai Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dia menyatakan konteks diskresi bagi aparat sudah tidak ada dan semua anggota wajib berpegang teguh pada UU.

Terkait tudingan masyarakat kepada aparat, dia berpendapat agar masyarakat tidak terus-menerus berpikir seperti. “Publik jangan menuduh, tapi bisa mengingatkan TNI-Polri agar terus bersikap netral,” ucap Moeldoko.

Aparat, kata dia, saat ini jauh dari sikap tidak netral. Dia menilai, meski kecurigaan masyarakat masih kuat pascareformasi, tapi kini publik bisa mengevaluasi hal tersebut. Dia juga mengharapkan agar rakyat dapat bijaksana menyikapi hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia. “TNI tidak bisa dan tidak mau dipengaruhi oleh siapapun,” tegas Moeldoko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, salah satu penyebab munculnya isu TNI dan Polri tidak netral dalam Pilkada serentak 2018 adalah berlimpahnya informasi di media sosial.

Dan menurut dia, informasi berlimpah itu belum dapat dipastikan kebenarannya. “Ketika masyarakat mudah mendapatkan informasi, tidak semuanya merupakan informasi valid,” ucap Titi.

Sehingga, lanjut Titi, keberlimpahan informasi itu bisa dipolitisasi sesuai kepentingan calon tertentu yang akan berlaga di Pilkada. “Jika masyarakat memiliki kecenderungan emosional terhadap suatu calon, maka fakta menjadi tidak penting,” tutur dia.

Saat ini, ruang publik diisi oleh diskursus masyarakat ihwal ketidaknetralan aparat. Padahal menurut dia, masyarakat harusnya lebih fokus kepada visi dan misi, program, serta rekam jejak calon kepala daerah, bukan soal ketidakberpihakan TNI-Polri saja.

Diskursus itu terjadi karena adanya spekulasi politik di masyarakat. “Aparat harus mampu memastikan tampak netral di mata rakyat, serta membuktikan konsistensi kenetralan,” terang Titi.

Dalam sepuluh tahun terakhir, pemilihan kepala daerah diramaikan oleh kandidat dari para jenderal. Komisi Pemilihan Umum 2008, misalnya, merekam para jenderal aktif maupun purnawirawan memperebutkan kursi calon gubernur dan wakil gubernur di tiga daerah: Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Bali.

Sedangkan untuk pilkada tahun ini Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku diramaikan oleh para pejabat TNI-Polri.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Alexander Haryanto