tirto.id - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim kecewa dengan putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi pasal 40 ayat 2b UU 19/2016. Perkara dengan nomor 81/PUU/XVIII/2020 diajukan oleh AJI diwakili Abdul Manan dan Arnold Belau.
"Ini contoh nyata kesesatan berpikir, pejabat yang memblokir konten dianggap selalu benar oleh hakim," ujar Madrim dalam konferensi pers daring, Rabu (27/10/2021).
Gugatan tersebut berangkat dari insiden pemblokiran akses masyarakat ke situs Suara Papua pada 2016 yang dilakukan oleh Kominfo. Madrim menilai pemblokiran tersebut tidak jelas maksudnya. Menurutnya Kominfo juga tidak bisa menjelaskan definisi dari konten terlarang dan berbahaya tersebut.
"Ini yang kita dorong melalui gugatan ini. Agar pemerintah membuat regulasi yang tidak buram dan mesti transparan," ujar Madrim.
Dalam gugatannya, AJI Indonesia dan Suara Papua meminta pemerintah mesti menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebelum melakukan pemblokiran. Selain itu tidak serta merta langsung melakakuan pemblokiran bahkan tanpa notifikasi sebelumnya. Saat ini AJI Indonesia masih akan mempelajari hasil putusan hakim.
"Kami belum menerima putusannya. Tapi kami tidak menyerah," tandas Madrim.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pemblokiran akses informasi yang dilakukan pemerintah sah secara konstitusi. Kehadiran pasal 40 karena negara punya dua kewajiban, yakni mencegah dan penggunaan informasi yang muatan dilarang serta memutus akses sebagai pencegahan informasi yang dilarang.
Pemerintah pun menentukan ada 3 klasifikasi konten yang memiliki muatan dilarang yakni melanggar perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi elektronik dan/atau muatan elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai PP 71 tahun 2019.
Aksi pemutusan pun dilakukan sesuai klasifikasi dan pencegahan agar tidak represif sesuai pasal 97 PP 71/2019.
Mahkamah juga menilai tindakan pemerintah sudah merupakan kewajiban administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan sama seperti KTUN. Majelis juga melihat bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas norma pasal 40 ayat 2b UU 19/2016 sebagaimana dijamin dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Meskipun diputus menolak permohonan dan menyatakan pemutusan legal, dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pandangan berbeda (dissenting opinion).
Hakim Konstitusi Saldi Isra memandang ada pertanyaan konstitusional yang perlu dijawab yakni apakah harus pemerintah menerbitkan keputusan tertulis atau produk tertulis pemutusan akses penyelenggara elektronik untuk memutus akses bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah melihat bahwa pengaturan norma yang tidak jelas berpotensi adanya upaya sewenang-wenang. Penentuan prosedur perlu dilakukan dan diatur secara pasti agar peluang penyalahgunaan wewenang akses informasi publik atas informasi tidak terjadi. Sebab, pasal 40 ayat 2b UU ITE berkaitan pembatasan HAM sehingga perlu pengaturan yang jelas.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari