Menuju konten utama

Mitsubishi Xpander dan Nasib Ekspor Mobil Indonesia

Ekspor mobil Indonesia memang terus bertambah dari tahun ke tahun, tapi belum tergarap maksimal. Kenapa?

Mitsubishi Xpander dan Nasib Ekspor Mobil Indonesia
Pekerja sedang menyelesaikan perakitan Mitsubishi Xpander di PT Mitsubishi Motors Krama Yudha di Deltamas, Cikarang, Jawa Barat, Selasa (3/10). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - PT. Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI) menyiapkan Small Multi Purpose Vehicle (MPV) Xpander untuk diekspor ke sejumlah negara pada awal 2018. Negara-negara tujuan ekspor Xpander antara lain Vietnam dan Thailand dan negara-negara Asia lainnya dengan target 20 ribuan unit per tahun. Bila terealisasi ini jadi ekspor perdana mobil Mitsubishi dengan proses produksi di Indonesia untuk pasar global

“Lebih tepatnya model pertama dari MMKI,” kata Jerry Amran, Head of MMC Public Relations Section PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI) kepada Tirto.

MMKI adalah hasil dari restrukturisasi PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB), per 1 April 2017. MMKI fokus mengelola kendaraan penumpang, sementara PT KTB mengelola kendaraan komersial. Mitsubishi Xpander bukan lah yang pertama mencoba menembus pasar ekspor. Ekspor menjadi alternatif untuk memperluas pasar bagi sebuah merek.

Beberapa merek yang memproduksi mobil di Indonesia sudah lebih dahulu menjajaki pasar global. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) misalnya, telah memulai ekspor mobil sejak 1987. Ketika itu, mobil pertama yang mereka kirim adalah Kijang Super sebagai Kijang generasi ke-3 untuk pasar Brunei Darussalam dan beberapa negara di Asia Pasifik.

Berdasarkan data ekspor terkini dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada Januari sampai Agustus 2017, ada 152.099 unit kendaraan utuh (completely build up/CBU) yang diekspor. Toyota, pabrikan otomotif terbesar di dunia asal Jepang, mendominasi dengan angka pengiriman 77.358 unit. Toyota juga mendominasi dari berbagai variasi model mobil yang diekspor.

Posisi kedua dipegang oleh Daihatsu, pabrikan yang baru diakuisisi sepenuhnya oleh Toyota pada Agustus tahun lalu ini telah mampu mengirim 53.737 unit kendaraan. Setelahnya ada Suzuki dengan mengirim 17.111 unit kendaraan, lalu Hino 1.570 unit, disusul Hyundai dan Datsun masing-masing 2.322 dan 1 unit. Selain CBU, komponen kendaraan secara terpisah atau completely knock down (CKD) juga diekspor ke pasar global.

Ekspor kendaraan bermotor ini perlahan terus merangsek naik. Pada 2006, ekspor mobil utuh masih lebih sedikit ketimbang impor mobil sejenis. Pada tahun itu ada 33.663 unit mobil diimpor, sedangkan ekspor hanya 30.974 unit. Selanjutnya pada 2007, ada 60.267 unit mobil diekspor, impor mobil hanya 55.112 unit. Selama semester 1-2017, ekspor mobil menyentuh angka 113.269 unit, sedangkan impor hanya 44.771 unit. Jadi bisa dibilang, Indonesia saat ini adalah pengekspor mobil.

Kondisi yang positif ini berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Pada 2015, Indonesia mendapat surplus US$ 466 juta dari sektor otomotif. Pada tahun lalu, meningkat jadi US$ 600 juta atau setara Rp8,1 triliun (Kurs: Rp13.515/US$).

Baca juga: Target Ekspor Mobil Akan Ditingkatkan 10% Pada 2017

Dari sisi kinerja memang ada tren yang positif, tapi Indonesia masih kalah jauh dari Thailand sebagai "raja" mobil di ASEAN. Indonesia rata-rata hanya mampu mengekspor 200 ribu unit mobil per tahun, Thailand sudah mampu menembus angka lebih dari 1 juta unit. Tahun lalu ada 1,2 juta unit ke luar dari pabrik-pabrik otomotif yang ada di Negara Gajah Putih tersebut.

Menariknya, dari sejumlah negara tujuan ekspor mobil rakitan atau produksi Indonesia, sebagian besar di antaranya adalah negara-negara berkembang. Ekspor mobil ke negara-negara maju terutama di Eropa Barat dan Amerika Utara. Tercatat hanya ada Toyota Vios, Daihatsu TownAce, dan Nissan Xtrail yang dikirim ke negara maju khususnya Singapura dan Jepang.

Mayoriitas mobil-mobil produksi dan rakitan Indonesia lebih banyak dikirim ke Amerika Selatan, Timur Tengah, bahkan hingga negara-negara di Afrika seperti Madagaskar dan Ethiopia.

Infografik perfoma pasar global

Ekspor MPV di Pasar Gemuk Sedan

Pasar ekspor mobil produksi dan rakitan Indonesia yang masih sebatas di negara-negara berkembang dengan segmen mobil kelas bawah memang menjadi persoalan yang belum tuntas. Selain proses nilai tambah yang terbatas, bermain di segmen ini akan membuat teknologi otomotif yang dikembangkan di Indonesia hanya itu-itu saja.

Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, pernah mengatakan bahwa kemampuan ekspor yang terbatas pabrikan di Indonesia disebabkan karena model yang dibuat kurang cocok dengan permintaan pasar internasional. Pasar internasional akan lebih mudah mengakomodir mobil sedan, segmen yang justru tidak berkembang di Indonesia.

JATO Dynamics, lembaga riset otomotif yang berbasis di London, Inggris, pada awal tahun lalu merilis data penjualan mobil di seluruh Eropa pada 2016. Hasilnya, sedan memang punya peminat yang dominan. Di Eropa, berdasarkan klasifikasi dari European Commission, sedan masih ke dalam beberapa kategori bersama station wagon, yaitu C-segment, D-segment, dan E-segment. C-segment menguasai pangsa pasar 20,2 persen. Di satu sisi, segmen MPV hanya berhasil menguasai pangsa pasar sebanyak 9,5 persen. Sementara yang paling tinggi adalah SUV, dari 4 mobil yang terjual sepanjang tahun lalu, satu di antaranya adalah SUV.

Kondisi serupa juga terjadi secara global, segmen sedan masih merajai pasar mobil dunia. Berdasarkan catatan lembaga yang sama, segmen sedan menguasai pasar di atas 40 persen.

Infografik Pasar sedan

IHS Markit, yang juga lembaga riset pasar, menunjukkan hal serupa. Pada Juli 2017, mereka mengeluarkan data tentang loyalitas konsumen di Amerika Serikat (AS). Disebutkan bahwa tingkat loyalitas konsumen sedan mencapai angka 48,6 persen. Artinya, hampir setengah pemilik sedan akan membeli sedan lagi jika ada uang.

Sebagai pembanding, tingkat loyalitas konsumen mobil jenis van hanya 31,8 persen, hatchback 27,1 persen, coupe 21,6 persen, serta convertible hanya 21 persen. Tercatat yang tertinggi seperti tercermin dari data penjualan di Eropa, adalah SUV. Tingkat loyalitas konsumen mobil tersebut mencapai angka 66,2 persen. Namun kondisi ini terbalik dengan yang terjadi pada pasar Indonesia.

Lembaga riset dan konsultan pasar Frost & Sullivan, mencatat penjualan sedan di Indonesia pada 2016 hanya 13.700 unit, turun 21,4 persen dibanding tahun sebelumnya yang menyentuh angka 17.422 unit. Sementara secara wholesales atau pengiriman dari pabrik ke dealer, total penjualan mobil sepanjang tahun lalu menyentuh angka 1.061.015 unit, ini sama saja tak sampai 2 persen pangsa pasar.

"Ke depan kami harapkan tumbuhnya industri sedan, karena permintaan ekspor lebih banyak jenis sedan," kata Putu, seperti dikutip dari Antara.

Salah satu penyebab sedan tidak berkembang di Indonesia adalah karena model ini dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang tinggi hingga 30 persen. Sementara segmen lain hanya 10 persen. Kementerian Perindustrian sedang berusaha mengusulkan kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk menurunkan tarif PPn BM khususnya untuk segmen sedan kecil. Tujuannya untuk merangsang pasar domestik yang ujung-ujungnya bisa dikembangkan untuk pasar ekspor.

Baca juga: Di Balik Mobil Low MPV yang Fenomenal

Persoalan Standar

Kegiatan ekspor mobil memang cukup rumit dan tak semudah mengekspor produk industri lain. Selain persoalan kalkulasi bisnis, juga ada persoalan kerja sama antar negara. Negara-negara yang ada kerja sama perdagangan bebas dengan Indonesia, maka ekspor mobil akan relatif mudah karena tak terkena tarif impor yang tinggi. Ini penting karena akan mempengaruhi harga jual agar bisa kompetitif.

Selain itu, terdapat pula standar internasional yang harus dipenuhi untuk sebuah mobil bisa diekspor, antara lain soal ketentuan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE). Ini adalah standar internasional, meski namanya mengandung kata Eropa. Beberapa standar yang harus dipenuhi menyangkut aspek-aspek seperti pencahayaan, kontrol, perlindungan terhadap lingkungan, dan perlindungan dari pencurian. Jadi, kendaraan hanya bisa diekspor ketika memang sudah memenuhi standar ini, kecuali negara tujuan ekspor punya standar keselamatan sendiri.

Persoalannya, pabrikan otomotif di Indonesia belum memenuhi standar UNECE tersebut. Baru pada pertengahan September lalu, pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian akan menggunakan standar UNECE sebagai acuan untuk Standar Nasional Indonesia (SNI) berkenaan dengan berbagai komponen otomotif, termasuk pelek, kaca depan, dan ban. Selama ini, standar SNI yang diterapkan belum sama dengan standar UNECE. Rencananya standar Eropa ini akan diratifikasi (diadopsi) pada tahun ini.

Dengan ratifikasi, artinya SNI akan menjadikan UNECE sebagai acuan utama. Dengan demikian, maka ke depan ekspor kendaraan ke Eropa akan lebih mudah dilakukan pabrikan lokal, meski memang tetap akan disesuaikan dengan regulasi spesifik negara-negara tujuan ekspor.

Selain UNECE, standar lain yang harus ditingkatkan agar dapat masuk ke negara-negara maju adalah stadar emisi Euro. Euro adalah standar emisi gas buang yang keluar dari kendaraan. Semakin tinggi tingkat Euro, maka semakin sedikit kadar gas buang kendaraan tersebut ketika digunakan, seperti Karbon Monoksida, Timbal, Karbon Dioksida, serta kabut karbon.

Di Eropa dan negara-negara maju, sudah diterapkan Euro 6, bahkan sudah diwacanakan penerapan Euro 7. Sementara Indonesia masih berkutat pada Euro 2, dan baru akan mencoba lompat ke Euro 4, pada tahun depan untuk kendaraan-kendaraan berbahan bakar bensin.

Baca juga: Indonesia Masih Terbelakang Soal Standar Emisi Kendaraan

Namun, pabrikan mobil di Indonesia bukannya tidak bisa untuk memenuhi standar emisi yang yang lebih tinggi. Contohnya saja Toyota, semua kendaraan Toyota punya standar kualitas global yang sama, tanpa mengkategorikan apakah itu untuk pasar negara berkembang ataupun negara maju.

Presiden Direktur TMMIN, Warih Andang Tjahjono, mengatakan ada dua faktor utama yang harus diperhatikan sebelum memutuskan mengekspor mobil ke pasar baru, yaitu kecocokan produk dan standar spesifikasi. Kecocokan produk berkaitan dengan kebutuhan pasar negara tujuan ekspor dan apa yang diproduksi di Indonesia.

Peluang ekspor mobil biasanya bila sudah ada mobil yang sudah dibuat di Indonesia dan diminati di pasar ekspor. Sementara spesifikasi, terutama berkaitan dengan standar keselamatan yang ditetapkan negara tujuan. Australia misalnya, hengkangnya pabrikan mobil di sana memang menjadi peluang menambah ekspor ke Negeri Kangguru.

Baca juga: Toyota dan Holden Tutup Pabrik di Australia

“Kita masih menggunakan standar ASEAN NCAP (New Car Assessment Programme). Australia sudah standar Eropa,” kata Warih dikutip Antara.

NCAP adalah program uji coba mobil yang dilakukan dengan cara tes tabrak. Mobil akan ditabrakkan dengan kecepatan tertentu dari depan dan samping. Hasilnya akan dikuantifikasi dengan poin tertentu. Standar NCAP ini berbeda di setiap wilayah.

Di Asia Tenggara, ada ASEAN NCAP, sementara Eropa menerapkan Euro NCAP. Standar tiap NCAP berbeda-beda. Jadi bisa saja satu mobil memperoleh nilai baik di region NCAP tertentu, tapi dapat nilai kurang memuaskan di region NCAP lain. Namun perlu dicatat, NCAP ini tidak berlaku sebagai syarat untuk mobil bisa dijual di negara tertentu. Ia hanya dipakai sebagai referensi bagi konsumen agar bisa memilih mobil yang aman.

Dari berbagai catatan tadi ekspor mobil Indonesia masih punya peluang yang besar. Namun nasibnya kini masih terkendala berbagai ketentuan dan masih belum masuk ke segmen pasar yang besar di pasar global. Persoalan itu semua masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi di dalam negeri.

Baca juga artikel terkait EKSPOR MOBIL atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Otomotif
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra