Menuju konten utama

Mitos Pemilu dan Uang Palsu

Kegiatan Pemilu sering dikaitkan dengan maraknya peredaran uang palsu karena potensi peredaran uang yang besar dari ajang pesta demokrasi. Namun, kenyataannya temuan uang palsu terjadi sepanjang tahun.

Mitos Pemilu dan Uang Palsu
Ilustrasi uang palsu. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma.

tirto.id - Pada 26 November 1973, Presiden Soeharto memimpin sidang paripurna kabinet di Bina Graha. Laporan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) atau yang kini bernama Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai agenda utama sidang kabinet pagi itu. Laporan-laporan soal penanganan sisa-sisa G-30-S/PKI, subversi, penyelundupan, narkotika, kenakalan remaja, pengawasan orang asing, hingga peredaran uang palsu tak luput dari pembahasan.

Persoalan uang palsu telah menjadi perhatian Soeharto sejak awal berkuasa. Pemerintah Soeharto yang mengedepankan kestabilan, menganggap uang rupiah palsu mengancam kestabilan ekonomi di awal-awal Orde Baru. Pada 22 Maret 1971, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1971 memerintahkan Bakin memberantas uang palsu. Inspres itu hanya berjeda tiga bulan sebelum kegiatan Pemilu yang pertama kalinya digelar di era Orde Baru yaitu 5 Juli 1971.

"Kepala Bakin menyelenggarakan kegiatan-kegiatan atau operasi-operasi intelijen untuk menemukan sumber-sumber atau pembuat peredaran uang palsu," kata Soeharto dalam salinan Inpres yang dipacak di laman pukat.hukum.ugm.ac.id.

Berbagai pemerintahan telah berganti, persoalan uang palsu menjadi isu yang terus menggelinding. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, secara tegas kegiatan pemalsuan uang adalah kejahatan—dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Peredaran uang palsu dekade ini sering dikaitkan dengan hari-hari besar keagamaan hingga pesta demokrasi Pemilu nasional atau juga Pemilu kepala daerah (Pilkada).

Jelang Pilkada serempak 15 Februari 2017, laporan penangkapan pengedar uang palsu memang sempat mewarnai pemberitaan. Dalam laporan Antara misalnya, pada Minggu 12 Februari Polres Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat berhasil menangkap pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena diduga mengedarkan uang palsu. Sehari sebelumnya, Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menangkap seorang tersangka pengedar uang palsu saat hendak mengedarkan uang palsu di wilayah Imogiri.

Dua daerah dalam kasus temuan uang palsu tersebut kebetulan bukanlah wilayah yang sedang menggelar Pilkada serentak di 2017. Contoh kasus ini menunjukkan temuan atau peningkatan peredaran uang palsu tak selalu linier dengan keberadaan Pemilu atau Pilkada. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan saat mulai masa kampanye Pilkada serentak dimulai akhir Oktober 2016-11 Februari 2017, temuan uang palsu justru menurun pada November 2016 dibandingkan bulan sebelumnya dari 15.989 lembar menjadi 12.018 lembar.

INFOGRAFIK Waspada uang palsu revisi

Menengok Pemilu Sebelumnya

Dalam artikel yang dirilis Bank Indonesia (BI) yang berjudul "Pemalsuan Uang Rupiah: Pencegahan dan Penanggulangan," secara tegas BI menyatakan tidak ada momen atau peristiwa tertentu yang memiliki hubungan dengan maraknya peredaran uang palsu. BI hanya mengimbau masyarakat tetap waspada pada momen yang terkait keramaian seperti hari raya keagamaan atau Pemilu/Pilkada.

“Menurut data temuan uang palsu yang diolah Bank Indonesia, tidak ada momen-momen tertentu yang memiliki hubungan terhadap maraknya peredaran uang palsu,” jelas BI dalam artikel tersebut.

Dalam momen Pilkada DKI Jakarta 2012 misalnya, pada saat dihelat pemilihan pada Juli 2012 temuan uang palsu yang dihimpun kantor pusat BI di DKI Jakarta hanya 1.586 lembar atau turun dari Juni yang sempat mencapai 7.642 lembar. Temuan pada Juni ini atau satu bulan jelang Pilkada DKI 2012 ini memang yang tertinggi pada tahun itu. Kondisi mirip-mirip juga terjadi pada Pilkada putaran kedua yang terjadi pada September 2012, temuan uang palsu menurun jadi 1.571 lembar dari 1.690 lembar di Agustus 2012.

Kondisi mirip juga terjadi saat Pilpres 2014, saat Pilpres dihelat April 2014, catatan temuan uang palsu pada waktu itu justru turun dari bulan sebelumnya. Temuan uang palsu memang tinggi menjelang satu bulan kegiatan Pemilu, tapi masih kalah tinggi dibandingkan temuan di Desember di tahun yang sama saat ada Natal dan perayaan tahun baru.

Uang palsu beredar sepanjang tahun dan tak ada tren selalu marak saat dan menjelang kegiatan akbar seperti Pemilu atau Pilkada. Langkah preventif yang dilakukan Bank Indonesia, termasuk operasi-operasi Kepolisian hingga Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) jelang Pemilu atau Pilkda secara tak langsung berdampak pada temuan uang palsu yang beredar di masyarakat.

Kuncinya adalah kewaspadaan tanpa harus melihat jelang Pemilu atau Pilkada, jangan sampai ada uang palsu di tangan apalagi jadi milik Anda, karena BI tak akan pernah menggantinya.

Baca juga artikel terkait RUPIAH atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani