tirto.id - Beberapa hari terakhir, kabar penggebrekan yang dilakukan satgas pangan kepada beras premium Maknyus dan Cap Ayam Jago ramai dibicarakan. Munculnya beras premium ini sendiri sebenarnya tidak luput dari kurangnya pengawasan pemerintah dan persaingan bisnis industri pangan.
Hal ini diutarakan oleh anggota Komisi IV DPR RI Ichsan Firdaus pada diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat pada hari Sabtu (29/7/2017). Menurutnya, sampai saat ini aturan tentang penetapan beras subsidi atau beras raskin, beras medium, dan beras premium masih tidak jelas.
Politisi partai Golkar ini menjelaskan bahwa pada dasarnya, perbedaan beras tersebut bukanlah dari kualitas kandungannya, tetapi hanya fisik dari beras tersebut. Beras tersebut tetaplah termasuk ke dalam kategori beras IR64 yang disubsidi oleh pemerintah.
“Ini persaingan usaha saja saya pikir. Setiap orang berhak menjual harga tinggi, dibeli atau tidak kan urusan mereka. Harusnya bulog yang melakukan intervensi,” terang Firdaus.
Harga beras Cap Ayam Jago dan Maknyus dijual pada kisaran harga Rp 20.400 sedangkan HET (Harga Eceran Tertinggi) untuk beras sendiri hanya Rp 9.500. Firdaus kembali menuturkan bahwa masalah munculnya beras premium dengan standar fisik yang lebih baik membuat melambungnya harga beras Cap Ayam Jago dan Maknyus.
Pada dasarnya, HPP (Harga Produksi Pangan) gabah adalah Rp 3.700 dan kemudian dimasukan ke dalam penggilingan kecil menjadi beras raskin atau beras medium dengan HET Rp 9.500. Sedangkan beras Maknyus dan Cap Ayam Jago sendiri dihargai dengan harga Rp 20.400 dengan pembelian Rp 7.000 dari para himpunan tani dan dimasukan ke dalam penggilingan besar menjadi beras premium. Proses penggilingan inilah yang menentukan suatu beras bisa menjadi premium atau beras medium.
Menurut Firdaus, hal ini sah-sah saja dilakukan oleh para pengusaha selama masih menguntungkan para petani.
“Apabila ada penggilingan kecil yang dimakan penggilingan besar dan dia menjual harga beras di atas HPP ya tidak masalah,” jelasnya kepada Tirto.
“Nah kalau kemudian seperti itu yang terpenting adalah ketika kemudian rantai distribusi diperpendek dan petani diuntungkan kenapa tidak? Petani ini harus diuntungkan, harganya harus melebihi dari biaya produksi yang dikeluarkan petani,” tambahnya.
Permasalahan yang muncul adalah ketika bulog tidak bisa melakukan intervensi pasar terkait dengan adanya beras premium ini. Firdaus menilai bahwa pemerintah tidak mempunyai cadangan beras premium yang cukup untuk mengendalikan pasar. Hal ini disebabkan karena pemerintah sendiri tidak mempunyai penggilingan yang cukup modern dan canggih untuk menyaingi beras premium yang dihasilkan oleh para produsen beras premium. Ia menegaskan bahwa bila tidak hati-hati, maka akan ada perusahaan lain yang juga digrebek seperti halnya produsen beras Maknyus dan Cap Ayam Jago.
“Perusahaan lain juga kan ada yang melakukan dan menjual dengan harga lebih tinggi, kenapa gak ditangkap?” sangsinya.
Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Khudori juga mendukung apabila memang dihargai dengan mahal melebihi HET. Hal itu bukan merupakan pelanggaran karena pada kenyataannya permintaan pasar tetaplah tinggi. Banyaknya permintaan ini dipaparkan Khudori disebabkan karena pendapatan masyarakat sekarang juga sudah cukup tinggi. Masyarakat menginginkan beras premium dan rela menebus dengan harga mahal. Sayangnya, pemerintah belum melihat hal tersebut.
“Jadi kesimpulannya adalah komoditi beras tidak lagi homogen, tapi sesuatu yang heterogen. Ada beda fisik, rasa, aroma, dan sebagainya. Tapi pemerintah hanya melihat ini sebagai sesuatu yang homogen,” tambahnya.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani