tirto.id - Kementerian Agama mengeluarkan seruan tentang ceramah di rumah ibadah. Seruan ini untuk meredam munculnya ceramah-ceramah yang bersifat provokatif dan menyebar kebencian. Dikhawatirkan, penyebaran ini bisa mengganggu kestabilan dan kebhinekaan Indonesia.
Namun, aturan yang hanya sebatas seruan itu dikhawatirkan tidak efektif. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin memilih menggunakan instrumen seruan daripada peraturan menteri, undang-undang atau perpres tentang ceramah di rumah ibadah. Lukman mengaku pemerintah tidak ingin mengintervensi agama dengan mengeluarkan aturan-aturan baru.
"Kita harus tahu rumah ibadah di Indonesia itu memiliki otomoni yang sangat besar. Sebagian besar rumah ibadah yang ada di Indonesia didirikan oleh masyarakat Indonesia sendiri," ujar Lukman di Kementerian Agama, Thamrin, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Lukman menerangkan, Indonesia bukan negara sekuler sehingga seluruh aktivitas keagamaan diberikan sepenuhnya kepada warga negara. Ia mengatakan, negara tidak ingin terkesan mengintervensi agama dengan tidak mengeluarkan peraturan baku seperti Permen, Perpres, atau Undang-undang. Akan tetapi, pria yang menggantikan Suryadharma Ali sebagai Menteri Agama ini berpendapat, negara harus ikut berperan serta dalam mengatur agama ketika ada potensi ancaman dan konflik di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Lukman akhirnya memilih seruan atau imbauan demi menyelesaikan keresahan publik tentang ceramah.
"Ini ajakan bersama. Dakwah. Apalagi bicara tentang agama tentu agama tidak lah elok kalau didekati dengan pendekatan hukum. Agama itu hakikatnya mengajak, diserukan, didakwahkan. Nah tentu (seruan) tidak memiliki kekuatan legal," tegas Lukman.
Lukman mengingatkan, seruan ini berlaku untuk tiga pihak. Pertama, para penceramah. Dengan imbauan ini, para penceramah harus bisa melakukan kegiatan dakwah dengan baik, dari beragam latar agama. Kedua, pengurus rumah ibadah. Rumah ibadah harus bisa mencari penceramah yang baik sehingga tidak berusaha menyebar kebencian kepada publik. Terakhir adalah umat beragama di Indonesia. Seruan ini dikeluarkan agar umat beragama ikut menjaga kondusivitas dalam kegiatan beragama.
Sebelum mengeluarkan aturan ini, Lukman mengaku sudah mendapatkan beragam masukan sebelum Pilkada. Ia mengaku keluarnya imbauan ini sudah mempertimbangkan matang-matang momen yang tepat meskipun dalam Pilkada 2017, terutama Pilkada DKI Jakarta penuh dengan ujaran-ujaran kebencian.
"Saya pun juga mempertimbangkan apa manfaat mudhorot kalau ini disampaikan ketika menjelang pilkada atau setelah pilkada jadi akhirnya saya merasa ada baiknya kalau seruan ini dikeluarkan setelah usainya pilkada meskipun tahun yang akan datang kita akan menghadapi pilkada juga," kata Lukman.
Selain masalah ujaran kebencian, Lukman menegaskan seruan ini juga untuk mencegah paham radikalisme hidup di rumah ibadah. Ia tidak ingin ada ceramah-ceramah yang justru memicu disintegrasi bangsa.
Lukman menegaskan, mekanisme layak-atau-tidak seorang penceramah menyebar kebencian atau tidak dikembalikan kepada rakyat. Ia mengajak. Rakyat untuk menjaga rumah ibadah masing-masing. Apabila ditemukan adanya ceramah bersifat negatif, dirinya berharap publik bersifat aktif.
Disambut Positif
Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Masdar Farid Masudi menyatakan menilai masjid merupakan yang suci. Oleh karena itu, dirinya meminta agar tidak ada kelompok yang berusaha menggunakan masjid sebagai tempat penebar kebencian.
"Masjid, seperti halnya tempat-tempat suci lain, harus jadi pusat energi positif bagi umat dan bngsa. Jangan sekali-kali diselewengkan menjadi pusat provokasi kebencian / permusuhan terhadap sesama," ujar Masdar saat dihubungi Tirto, Jumat (28/4/2017). Ia menilai pemerintah kurang sigap dalam menyikapi penyebaran ajaran kebencian di tempat ibadah.
Masdar menyatakan DMI akan melaksanakan imbauan tersebut. DMI akan mengingatkan kepada para pengurus masjid untuk mengikuti seruan pemerintah. DMI akan meminta kepada para pengurus masjid untuk tidak mencari penceramah yang menebar kebencian. Lembaga yang kini dipimpin Wapres Jusuf Kalla ini akan juga mengarahkan kepada tiap masjid untuk kembali mencari penceramah yang menyejukkan, memberikan kebaikan, dan tidak menyesatkan.
Sampai saat ini, Masdar mengaku DMI belum mempunyai data secara lengkap mengenai penceramah-penceramah serta jumlah masjid. Lulusan Universitas Sunan Kalijaga ini mengatakan, DMI hanya sebagai wadah pemersatu masjid-masjid. Akan tetapi, mereka tidak bisa mengatur masjid untuk menyampaikan ceramah tertentu. Dengan kata lain, kemungkinan untuk mencegah paham radikal atau ujaran kebencian di masjid masih belum optimal. Ia beralasan, setiap masjid punya otoritas sendiri sehingga tidak bisa asal dikontrol.
"Masjid itu kan masing-masing independen. Milik masyarakat setempat. Jadi tidak bisa diinstruksi dari atas," kata Masdar.
"Jadi kita lebih kepada membangun kesadaran, membangun tanggung jawab pengelola masjid dan pengkhutbah-khutbah ini," lanjut Masdar.
Masdar pun mempersilahkan warga untuk membantu pengawasan penceramah di masjid-masjid. Ia pun menyetujui langkah publik untuk melaporkan ke kepolisian apabila menemukan penceramah yang menyebar kebencian.
Respons positif juga diungkapkan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow setuju dengan seruan Menteri Agama Lukman Hakim. Ia mengaku seruan tersebut penting karena tidak sedikit mimbar agama kembali digunakan sebagai media penyebar kebencian.
"Memang makin marak sekarang forum-forum atau mimbar agama itu dijadikan sebagai media untuk melakukan provokasi dan bahkan menyebarkan kebencian terhadap kelompok agama lain," ujar Jeirry saat dihubungi Tirto, Jumat (28/4/2017).
Jeirry menegaskan, PGI tidak ingin mencampuri masalah agama lain lantaran menyetujui seruan Menteri. Akan tetapi, beberapa hal yang beredar di masyarakat mulai memberikan pemahaman yang menyimpang. Pemahaman menyimpang ini justru berlawanan dengan ajaran agama yang justru menyebarkan pesan suci, membangun relasi publik dengan baik, dan terhindar dari kejahatan.
"Saya kira ini harus segera ditertibkan dan diluruskan. Saya kira pemerintah punya kewajiban, punya tugas untuk mengembalikan agama ini kepada fungsi yang sebenarnya kalau memang ada tendensi ada kecenderungan mimbar-mimbar itu digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang keluar dari hakikat," kata Jeirry.
Pria yang juga Direktur Komite Pemilih Indonesia (TePI) ini menilai, kemunculan seruan sudah menandakan urgensinya penertiban penceramah. Kasus ini dinilainya sudah sangat akut. Dengan kata lain, penanganan penceramah yang berusaha menyebar kebencian perlu ditangani serius. Apalagi, permasalahan ini sudah pernah disuarakan kepada Kementerian Agama. Mereka sudah berusaha mendorong agar pemerintah mengambil sikap terkait ceramah yang bersifat negatif dan mengarah pada penebaran kebencian.
Jeirry menyarankan agar pemerintah melakukan langkah-langkah selain seruan. Ia berpendapat, pemerintah perlu melakukan pertemuan-pertemuan dengan para pemuka agama, penceramah, dan ormas keagamaan secara intens. Pertemuan ini berupa dialog agar isu penceramah dengan menyebar kebencian bisa berkurang. Selain itu, pria yang juga dikenal sebagai pengamat politik ini berharap penegak hukum bisa menindak tegas laporan warga apabila menemukan penceramah yang menyebar kebencian. Namun, secara garis besar, PGI mendukung sikap pemerintah dengan mengeluarkan seruan, Jumat (28/4/2017).
"Oleh karena itu saya kira kita mendukung seruan atau imbauan atau kebijakan yang akan diambil Kementerian Agama, pemerintah pada umumnya agar mimbar-mimbar agama ini tidak menjadi alat provokasi," tegas Jeirry.
Kepolisian Siap Membantu
Sementara pihak kepolisian menyatakan siap membantu proses penegakan hukum, meski aturan ini hanya sebatas seruan Menag. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Rikwanto mengatakan, mereka melihat dulu konteks permasalahan jika ada penceramah yang menyebar kebencian.
"Polri melihatnya dari posisi apakah ada pelanggaran hukum. Apakah indikasi pelanggaran hukum, apakah ada keresahan masyarakat. Apakah ada kepatutan dan kewajaran di satu wilayah digunakan di luar daripada peruntukannya," ujar Rikwanto kepada Tirto saat ditemui di PTIK, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Polisi akan menelusuri terlebih dahulu apakah ujaran yang diutarakan penceramah memuat pelanggaran hukum atau tidak. Khusus di tempat ibadah berbentuk masjid, pemerintah daerah seharusnya turun untuk memantau permasalahan dakwah di tiap masjid. Nantinya, pihak pemerintah harus menjaga di tiap wilayah tentang kehadiran masjid-masjid tersebut agar tidak ada penyalahfungsian masjid.
"Jangan sampai mesjid dijadikan juga tempat yang bukan peruntukannya," tegas Rikwanto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti