Menuju konten utama
Upaya Memproses Duka

Merawat Hati Setelah Hewan Peliharaan Pergi Selamanya

Kematian hewan peliharaan, bagi sebagian orang, sebanding dengan kehilangan orang yang dicintai. Mengapa bisa begitu?

Merawat Hati Setelah Hewan Peliharaan Pergi Selamanya
Header diajeng Binatang Peliharaan. tirto.id/Quita

tirto.id - Apa yang kamu rasakan setelah kucing peliharaan yang sudah mewarnai hari-harimu sekian tahun ini akhirnya mengembuskan napas terakhir?

Kesedihan dan kedukaan yang kamu rasakan sedikit banyak mungkin menyerupai apa yang pernah disampaikan oleh Paris Hilton saat chihuahua kesayangannya mati setahun yang lalu.

Dalam unggahan di media sosial, bintang reality show ini menganggap peliharaannya, Harajuku, layaknya keluarga.

"Rasa kehilangan ini sulit diungkapkan lewat kata-kata. Selama 23 tahun yang luar biasa, dia sudah mengisi hidupku dengan banyak cinta, kesetiaan, dan momen yang tak terlupakan," tulisnya.

"Dia sudah jadi bagian dari keluargaku, teman setia yang menemani di setiap lika-liku kehidupan," kata Hilton.

Masih pada tahun lalu, artis tanah air Sophia Latjuba juga kehilangan peliharaannya, seekor husky bernama Basil, yang mati karena sakit.

Sophia bahkan menyelenggarakan acara perpisahan khusus, semacam farewell ceremony, untuk melepas kepergian hewan yang sudah dianggapnya seperti anggota keluarga itu.

Bagi yang tidak punya pengalaman dengan hewan peliharaan, ekspresi kedukaan yang ditunjukkan Sophia maupun Hilton di atas mungkin dianggap sebagai reaksi yang berlebihan.

Mereka bisa saja mengerdilkan proses kedukaan demikian dengan kalimat seperti, "Ah, itu kan cuma hewan peliharaan," atau, "Tinggal cari yang baru aja, apa susahnya?"

Namun, apabila kamu betul-betul penyayang binatang yang sudah mengerahkan energi dan perasaan sekian lama untuk merawat mereka, tentunya tidak akan sampai hati untuk menganggap mereka ‘sekadar’ peliharaan, bukan?

Studi lawas berjudul “Why do people love their pets” yang terbit di jurnal Evolution and Human Behavior (1997) menuturkan, bagi sebagian orang, kehilangan hewan peliharaan sebanding dengan kehilangan orang yang dicintai. Itu juga bisa berarti kehilangan sumber cinta tanpa syarat, teman utama yang memberikan rasa aman dan nyaman.

Menurut badan amal penyayang binatang asal Inggris, Blue Cross, dalam satu dekade terakhir, jumlah orang yang menghubungi mereka untuk mendapatkan layanan dukungan setelah kehilangan hewan peliharaan menunjukkan kenaikan hampir tiga kali lipat, dari kisaran 6.240 pada 2013 menjadi 17.367 pada 2022.

Pertumbuhan angka tersebut menunjukkan bahwa kesedihan setelah kehilangan hewan peliharaan perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan serius.

Header diajeng Binatang Peliharaan

Kucing bermain dengan tulip layu di jendela. FOTO/ iStockphoto

Ada alasan tersendiri mengapa kita bersedih saat kehilangan hewan peliharaan.

Ahli saraf Dean Burnett dalam tulisannya di BBC menjelaskan, otak manusia sangat mampu membentuk hubungan emosional yang kuat—bahkan dengan individu yang belum pernah ditemui.

Manusia juga membentuk ikatan emosional dengan benda mati dan mengalami rasa kehilangan yang mendalam jika benda itu hilang atau rusak.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kata Dean, sangat mungkin bagi kita untuk membangun hubungan emosional yang bermakna dengan makhluk nonmanusia, tak terkecuali hewan peliharaan.

Meski hewan peliharaan tidak dapat menawarkan rangsangan intelektual atau kognitif yang sama seperti halnya Homo sapiens, mereka dapat membangkitkan ikatan emosional.

Jadilah mereka layaknya teman bagi kita yang kesepian, penghibur bagi kita yang sedang tertekan.

Ikatan emosional yang kuat antara manusia dan anjing, misalnya, dapat ditelusuri selama ribuan tahun sejak manusia berburu bersama serigala.

Lebih lanjut, Dean menjelaskan, hewan peliharaan umumnya juga memiliki karakteristik seperti bayi manusia yang secara naluriah dan emosional mendorong otak kita untuk merawat dan melindunginya, bahkan sampai level yang kerap membingungkan.

"Pelukan hangat mereka acap kali dapat memenuhi kebutuhan emosional yang tidak dapat dipenuhi oleh spesies kita," kata Dean.

Apabila kita dapat membentuk ikatan emosional yang sama kuatnya dengan hewan peliharaan kesayangan seperti yang kita lakukan dengan manusia, secara logis kita akan mengalami kesedihan yang sama ketika mereka mati.

Hal senada diungkapkan oleh Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., Psikolog atau biasa disapa Nita.

"Jika secara personal kita dekat dengan hewan peliharaan, itu akan membentuk ikatan emosional meski respons yang mereka tunjukkan hanya berupa behavior," jelas Nita.

"Jadi, ketika hewan peliharaan kita meninggal dan kita jadi kehilangan banget, itu merupakan hal yang umum dan wajar," kata Nita yang juga dosen pengampu mata kuliah psikologi di UNISA Yogyakarta.

Meski semakin banyak orang yang menerima hewan peliharaan sebagai bagian dari keluarga, sayangnya masih ada persepsi kuat bahwa kehilangan mereka bukanlah kesedihan yang valid.

Tak mengherankan, kesedihan terkait kehilangan hewan peliharaan disebut disenfranchised grief—kesedihan yang tidak diakui, kesedihan yang terlalu sering ditahan dalam diam.

Hal ini membuat orang-orang yang menghadapi situasi tersebut merasa kesulitan untuk mengatasinya. Misalnya, merasa malu untuk menceritakan mengenai dampak emosional kematian hewan peliharaan atau tidak nyaman meminta cuti kerja meski membutuhkannya.

Akibatnya, kamu bisa saja makin kesusahan untuk memproses kesedihan tersebut.

Kecanggungan dalam memproses duka akibat kematian hewan peliharaan, menurut profesor psikologi Frank T. McAndrew dalam artikel di The Conversation, dapat dikaitkan juga dengan sedikitnya ruang kultural dalam masyarakat kita untuk mewadahi kematian hewan peliharaan—entah itu melalui ritual kesedihan, upacara keagamaan, atau artikel obituari di koran—yang dapat membantu mengatasi rasa kehilangan tersebut.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita memproses kesedihan saat kehilangan hewan peliharaan?

Menurut Nita, pertama-tama kita perlu memahami seberapa dekat hubungan dan bergantungnya kita dengan hewan peliharaan.

Nita mencontohkan begini. Kita biasanya memberikan nama pada hewan peliharaan. Tak jarang pula, kita menjalin interaksi dengan berkomunikasi, seperti menyapa atau berpamitan pada peliharaan saat kita mau pergi, atau bahkan curhat dengan mereka.

Segala sesuatu yang sifatnya lisan demikian, jika dilakukan setiap hari, tentu akan membekas ketika suatu saat mereka tidak ada.

"Kita tidak bisa mention atau berpamitan lagi. Kehilangan kebiasaan tersebut yang membuat ada ketergantungan emosi," jelas Nita.

"Jadi, jika memang hubungannya dekat banget dan itu membuat kita merasa sangat kehilangan, tentu ada hal-hal yang harus dilakukan bertahap untuk mengatasi kesedihan," katanya.

Dengan menyadari seberapa dekat hubungan dengan hewan peliharaan, Nita menuturkan, kita akan dapat mengukur berapa lama waktu yang diperlukan untuk menoleransi kondisi sedih tersebut.

Header diajeng Binatang Peliharaan

Ilustrasi anjing mencium bunga. FOTO/iStockphoto

"Kita juga perlu move on karena kita masih memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang dilakukan secara reguler," papar Nita.

Sebagai tahap awal, Nita menjelaskan, kita dapat mengatasi rasa duka dengan melakukan aktivitas menyibukkan diri dan berhubungan dengan orang lain yang sekiranya tidak menimbulkan rasa kekosongan.

Bercerita pada teman juga bisa jadi salah satu jalan untuk rilis dan mengurangi emosi sedih karena kehilangan hewan peliharaan.

Terkait ini, Nita menyarankan untuk memilih teman cerita yang tepat. Carilah teman yang bisa mendengarkan keluhan, ketakutan, dan kekhawatiran tanpa memberikan judgement.

Namun demikian, apabila perasaan kehilangan begitu berat, Nita mengingatkan untuk mencari bantuan pada profesional, seperti psikolog.

Dalam beberapa kasus, kehilangan hewan peliharaan dapat menimbulkan depresi karena hubungan dengan hewan peliharaan yang memang begitu bermakna.

Depresi, menurut Medical News Today, menyebabkan berbagai gejala yang berlangsung lama dan mungkin memerlukan perawatan klinis. Gejala itu antara lain perasaan sedih atau cemas terus-menerus, bisa juga meliputi keluhan fisik seperti sakit kepala, masalah pencernaan, atau kram.

"Jika situasinya sampai membuat melemahkan diri secara fisik dan perubahan perilaku seperti tidak semangat buat ngapa-ngapain atau bahkan merawat diri, jangan segan untuk mendatangi ahli," imbuh Nita.

Kehilangan menjadi satu bagian yang mustahil dipisahkan dari dinamika kehidupan kita. Akan tetapi, ingat, duka yang mungkin sekarang sedang kamu rasakan ini suatu hari nanti tentu akan berlalu.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih