tirto.id - “Saya suka menghias wajah saya dengan mekap tipis-tipis. Saya merapikan alis, supaya memberikan statement yang kuat pada wajah saya. Saya merawat kuku saya secara teratur dan memberikan kutek menyala warna-warni. Saya suka bergaya bak model dan selalu saya unggah di akun instagram saya. Teman-teman saya selalu mengapresiasi dengan memberikan love yang banyak. Dan itu yang saya suka. Oya, saya Jack, 23 tahun, fashion stylist sebuah majalah di Jakarta.”
Mungkin ada yang merasa janggal sehabis membaca petikan berikut. Tapi, itu memang terjadi saat ini. Sudah pemandangan biasa laki-laki suka memakai mekap, merawat kukunya dengan kutek menyala warna-warni, mengenakan cape Chanel, serta tas perempuan Dior. Sementara perempuan, tampil percaya diri dengan rambut pendek, gentlement suit dan topi fedora.
Anak-anak pun tak luput dengan kebiasaan ini. Mia, 35, sabahat Jack mengiyakan. “Rafa, anakku, bersahabat baik dengan Jack. Pernah, sih, terlontar pertanyaan dari Rafa mengenai Jack itu laki-laki atau perempuan. Aku jawabnya, Jack sendiri masih bingung,” cerita Mia sambil tertawa.
Perkembangan Gender Bender
Gerakan emansipatif yang didengungkan para feminis, di mana kesetaraan gender menjadi fokus perhatiannya, disadari atau tidak membuat persepsi terhadap perbedaan gender menjadi lebih kompromis. Gerakan emansipatif tidak hanya menjadi bagian dari wacana pemikiran, tapi menyentuh pada politik kebijakan, sistem ekonomi, gaya hidup, termasuk di dalamnya fashion, entertainment, pola didik, bahkan pola asuh di rumah. Di bidang-bidang kehidupan sehari-hari, merambah aspek budaya populer, termasuk media hiburan di TV dan media sosial, dampaknya lebih terasa.
Konstruksi binarian yang membatasi manusia hanya ke dalam dua kubu, perempuan dan laki-laki, feminin-maskulin, merah muda dan biru, sudah tidak relevan lagi. Fenomena gender bender, misalnya, hadir lewat brand-brand produksi pop culture, fashion, entertainment, TV, media sosial; J-Pop, K-Pop, C-Pop, menjadi hal lumrah dikonsumsi generasi milenial. Pesan-pesan gender bender deras melingkupi kita. Bahwa dunia ini tidak hanya soal laki-laki dan perempuan. Ada lesbian, gay, transgender, queergender, pangender, neutral gender.
Tentang gender bender: Mereka yang Mengaku Bebas Gender
Mereka nyata, ada dan hidup di tengah-tengah kita. Namun, bagaimana bila itu terjadi di dalam keluarga kita?
Sepasang suami istri yang sedang menantikan buah hati, tentu akan mempersiapkan segala kebutuhan si jabang bayi semenjak fase kehamilan. Bila perempuan, si ibu akan mempersiapkan pakaian dan pernak pernik yang manis dan lucu-lucu. Warna-warna pun disesuaikan dengan sifat dan karakter anak perempuan yang cantik dan lembut. Merah, ungu, merah muda. Bila laki-laki, pakaian dan pernak-perniknya lebih simpel dan sporty. Warna-warna kuning, biru, abu dan hitam dipilih yang menunjukkan karakter anak yang ganteng, gagah dan tangguh.
Mau diakui atau tidak, sampai saat ini persepsi biner gender masih jadi narasi besar, dan itu ada di belakang kepala para orang tua. Inilah pemahaman akan gender dan berbagai dikotomi peran yang diturunkan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya, anting-anting dipasangkan di telinga putri kecil segera setelah ia dilahirkan, dan tidak untuk bayi laki-laki.
Namun, di sisi lain, orangtua pun memperkenalkan produk-produk budaya yang sarat dengan pesan subliminal lewat lagu, film, atau apapun. Misalnya lagu Let It Go, soundtrack dari film Frozen, atau How Far I’ll Go, soundtrack film Moana, yang tentu saja familiar dengan anak-anak sekarang. Pesan yang mengedepankan keinginan untuk melepaskan diri dari kekangan, serta ajakan untuk keberanian mengambil keputusan sendiri, menyelinap ke alam bawah sadar anak dan tertanam sampai mereka dewasa kelak (baca juga: Pertarungan Nilai dalam Film Putri-Putri Disney).
Pola Asuh Netral Gender
Kini tidak sedikit orang tua yang menerapkan pola asuh netral gender yang kini tengah menjadi tren. Pola asuh ini benar-benar menolak mengenalkan konsep gender –yang dianggap sebagai asal mula diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Mereka memilih memperkenalkan semua mainan kepada anak-anak, baik boneka maupun mobil-mobilan, memberikan warna-warna netral untuk pakaian, aksesori dan pernak-pernik, serta memberikan kebebasan anak untuk memilih pakaian yang mereka sukai, bahkan bila si anak laki-laki ingin memakai baju tutu atau baju princess.
Tidak berhenti sampai di situ. Pola asuh netral gender juga menolak stereotipe yang dibawa oleh gender yang dikenal masyarakat luas saat ini. Memasak dan mencuci piring itu bukan pekerjaan ibu. Memotong rumput juga bukan pekerjaan ayah. Ibu dan ayah sama-sama bisa melakukan kedua pekerjaan tersebut.
Penyanyi Adelle, aktris Angelina Jolie, serta pasangan Will dan Jada Pinket Smith adalah beberapa selebritas yang menerapkan pola asuh netral gender ini.
“Kita tidak tahu seperti apa anak-anak kita sampai mereka sendiri yang menunjukkannya. Biarkan mereka menjadi seperti yang mereka inginkan,” demikian ungkap Angelina Jolie tentang anaknya Shilloh Jolie-Pitt, yang sejak kecil suka bergaya seperti anak laki-laki dan ingin dipanggil dengan nama John sejak kecil.
Tidak Lekas Curiga kepada Perkembangan Anak
Menjadi lain jika kemudian mulai terlihat pilihan ekspresi gender anak-anak yang mungkin tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya si jagoan kecil mulai tertarik dengan cantiknya baju-baju princess sejak di bangku TK, atau si putri cilik yang menolak rambut panjangnya dihiasi dengan aksesori apapun dan memilih sepatu berkarakter Spiderman.
Menurut Prof Darren Griffin, seorang profesor genetika dari Universitas Kent, Inggris, selain faktor lingkungan, faktor biologis bisa menjadi salah satu penyebab seseorang memiliki orientasi yang berbeda. Oleh karena itu, kecenderungan ini bisa terlihat sejak masih anak-anak. Sementara, sebuah jurnal yang mengulas tentang LGBT, menyatakan bahwa seorang anak transgender sudah mulai merasa dirinya berbeda dengan anak-anak lain sejak kecil, yang perempuan tampak sangat maskulin atau tomboy, sementara yang laki-laki sangat feminin (baca juga: Lebih dari 10 Juta Generasi Milenial Amerika adalah LGBT).
Namun, bukan berarti orang tua harus buru-buru mengambil kesimpulan. Bukan berarti bila anak-anak suka mencoba-coba menjadi gender lain, lalu mereka menunjukan kecenderungan identitas seksual yang berbeda dengan jenis kelaminnya.
Dr. Johanna Olson menegaskan bahwa tidak ada salahnya bila anak-anak ingin mencoba berbagai peran. Misalnya, anak laki-laki ingin seperti ibu, atau anak perempuan seperti ayah. Jadi, bila anak laki-laki ingin memiliki rambut panjang, suka dandan dan pakai baju perempuan, atau anak perempuan Anda berkata lebih suka jadi anak laki-laki dan dipanggil dengan nama laki-laki, bukan berarti mereka memiliki identitas seksual yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Ini bagian dari perkembangan anak-anak.
Selanjutnya Olson mengajak orangtua untuk memberikan afirmasi positif tentang apapun keinginan anak-anak. Misalnya dalam satu hari di akhir pekan, biarkan mereka menjadi seperti yang mereka inginkan. Jika anak perempuan Anda ingin menjadi laki-laki, ajak ia membayangkan bahwa hari itu ia benar-benar anak laki-laki. Biarkan ia bertingkah laku dan bermain seperti anak laki-laki. Kemudian, lihat dampaknya bagi anak. Apakah ia merasa nyaman?
Lebih jauh lagi, orang tua sebaiknya tidak memaksakan kehendak atau pemikiran kepada anak. Pastikan semua perubahan atas dasar kepentingan anak, bukan Anda. Apapun pilihan anak jangan halangi kebebasan berekspresi mereka, namun bekali dengan pengetahuan yang cukup untuk menumbuhkan identitas diri yang kuat, serta pastikan anak-anak mengerti setiap konsekuensi yang mungkin ada berkaitan dengan pilihan-pilihan yang akan diambil.
Penulis: Maharani Indri
Editor: Zen RS