Menuju konten utama

Menyambut Macan Asia Baru

Macan Asia adalah predikat yang membanggakan. Calon presiden Prabowo Subianto dan mantan menteri keuangan Bambang Brodjonegoro termasuk yang pernah menyebut-nyebut predikat itu dan menjadikannya target. Tapi sayangnya laju ekonomi Indonesia melambat. Kalah oleh tetangga yang kerap dianggap miskin: Vietnam.

Menyambut Macan Asia Baru
Penjual asongan di pasar kecil, Hanoi, Vietnam. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Indonesia macan Asia? Itu dulu, 3 dekade yang lalu. Pada 1980an, terjadi bonanza minyak dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Dijuluki macan Asia sedemikian membanggakan, sehingga Prabowo Subianto pada kampanye pemilihan presiden 2014 menjanjikan akan membawa Indonesia kembali jadi macan Asia.

Rezim ini? Sama saja.

“Kami yakin Indonesia bisa kembali menjadi macan Asia," ucap Bambang Brodjonegoro yang pada 2015 masih menjabat menteri keuangan, seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Tapi, hingga tahun ini, belum ada yang menjuluki ekonomi Indonesia sebagai macan Asia. Majalah The Economist malah mencatat negara lain di kawasan kita yang sedang menuju ke arah sana. Negara yang kerap dianggap rudin ini sedang menggeliat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi meski ekonomi global lesu. Ia bukanlah India, atau Taiwan, melainkan Vietnam.

Pernah dilanda perang selama puluhan tahun, Vietnam sekarang memang sedang menunjukkan taring-taringnya. Meski sempat turun naik, data Bank Dunia menunjukkan selama 3 tahun berturut-turut pertumbuhan ekonominya naik terus. Pada 2015, pertumbuhannya sebesar 6,68 persen, sedangkan Indonesia ada pada angka 4,8 persen saja.

Pertumbuhan pendapatan per kapita pun meningkat terus. Pada 2015, pendapatan rata-rata orang Vietnam naik sebesar 5,96 persen. Menurut The Economist, jika pada dekade mendatang pertumbuhannya mencapai 7 persen, Vietnam akan benar-benar digdaya menjadi macan Asia. Vietnam akan bisa menyusul Korea Selatan dan Taiwan.

Karena Vietnam bukanlah negara yang ekonominya diperkuat oleh ukurannya yang besar seperti Cina atau India, bahkan jauh lebih kecil dari Indonesia, perkembangannya bisa lebih diikuti oleh negara-negara berkembang di sekitarnya.

Surga Investasi

Meski kontroversial karena buruh dibayar rendah, Vietnam cerdas mengikuti langkah Cina yang menjadi tempat penanaman modal berbiaya murah. Pengalaman perusahaan alat kesehatan Diversatek milik Jonathan Moreno menunjukkan Vietnam bisa diandalkan sebagai tempat berinvestasi.

Saat mencari lokasi untuk pabrik tujuh tahun lalu, Vietnam dipilih hanya karena Moreno tak punya pilihan lain. Eropa dan Amerika terlalu mahal, India terlalu rumit, dan Cina punya persoalan dengan hak kekayaan intelektual.

Sekarang, situasi pabrik sudah mantap, dan ia tak ragu untuk melebarkan pabriknya. “Ke belakang, ke situ, dan ke situ,” kata Moreno pada The Economist, sambil menunjuk ke beberapa penjuru.

Penanaman modal asing langsung di Vietnam juga naik terus. Menurut Bank Dunia, pada 2015, investasi mencapai $11,8 miliar. Dan, pada tahun ini The Economist mencatat kesepakatan-kesepakatan investasi mencapai $11,3 miliar pada paruh pertama 2016. Selain faktor kesepakatan pasar-bebas, Vietnam berhasil memadukan beberapa hal secara tepat sehingga menghasilkan pertumbuhan cepat dan berkelanjutan.

Hambatan-hambatan perdagangan dilonggarkan. Itulah sebabnya pada 2015, ekspor dan impor Vietnam masing-masing menyumbang hampir 90% persen dari PDB. Selain itu, pemerintahan Vietnam juga mendorong kompetisi. Setiap daerah punya kekhasan dalam memutar roda rumah tangganya. Kota Ho Chi Minh maju dengan tempat-tempat industri, Danang menjadi kota teknologi tinggi, sedangkan bagian utara menampung pabrik-pabrik yang mental dari Cina.

Tapi di atas semuanya, The Economist menunjuk faktor geografi sebagai hal paling menentukan. Tak ada negara lain yang lebih dekat dengan pusat manufaktur di selatan Cina, dengan dihubungkan darat sekaligus laut. Ketika upah buruh di Cina naik, pengganti paling masuk akal untuk pemindahan pabrik paling murah adalah Vietnam.

Vietnam juga diuntungkan oleh demografi. Umur rata-rata penduduk Vietnam adalah 30,7 tahun, sedangkan Cina 36. Ini juga penting: 70 persen orang Vietnam masih tinggal di pedesaan, beda dengan Cina yang persentasenya hanya 44 persen. Tingginya angka orang pedesaan biasanya akan menekan angka upah, dan Vietnam akan punya waktu membangun industri-industri padat karya.

Selain muda, pekerja Vietnam juga terampil. Belanja negara untuk sektor pendidikan mencapai 6,3 persen dari PDB, 2 persen lebih tinggi dari rata-rata negara-negara berpendapatan kecil-menengah. Belanja negara benar-benar difokuskan untuk meningkatkan penerimaan kerja dan memastikan standar minimum keterampilan.

Tantangan Vietnam

Tapi, Vietnam juga menghadapi banyak tantangan yang sepadan dengan kebersemiannya. Ekses spekulatif di masa lalu mendorong bubble properti. Ia meledak pada 2011, dan membebani bank dengan kredit macet. Vietnam pun lambat menyuntikkan modal-modal baru pada bank-bank itu dan tak memodernisasi cara kerjanya.

Dari keseluruhan investasi asing, hanya 36 persennya yang terintegrasi dengan industri ekspor, sedangkan di Malaysia dan Thailand hampir 60 persen. Samsung misalnya berencana untuk investasi sebesar $3 miliar untuk memproduksi ponsel, tapi pemasok dalam negeri memproduksinya hanya dilengkapi plastik pembungkus. Pemerintah, menurut director of the Fulbright Economics Teaching Program di Kota Ho Chi Minh, Vi Thanh Tu Anh, seharusnya membangun rantai pasokan. Misalnya melatih perusahaan produksi tekstil untuk mendukung sektor pakaian jadi.

Selain optimisme, Vietnam juga harus hati-hati. Seperti Indonesia, Vietnam juga menghadapi masalah defisit fiskal yang besarnya lebih dari 6 persen dari PDB selama lima tahun berturut-turut. Pemerintah tertekan, dan pada tahun lalu mereka menjual lebih dari 200 saham BUMN.

Satu hal lagi. Sebelumnya memang disebut bahwa Vietnam akan sungguh-sungguh jadi macan Asia jika pertumbuhan pendapatan per kapita Vietnam bisa mencapai 7 persen. Tapi, ia juga bisa tergelincir. Menurut The Economist, jika pertumbuhannya turun hingga 4 persen, auman republik sosialis ini tak akan jadi membahana di benua Asia.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti