Menuju konten utama

Mengenang Keampuhan Taktik San Antonio Spurs di Final NBA

Pada NBA Final 2013, San Antonio Spurs kalah menyakitkan dari Miami Heat. Satu tahun berselang, mereka berhasil membalas kekalahan.

Mengenang Keampuhan Taktik San Antonio Spurs di Final NBA
Pebasket Sacramento Kings Yogi Ferrell (3) membawa bola dihadang pebasket San Antonio Spurs Davis Bertans (42) di babak kedua pertandingan basket NBA di AT&T Center, San Antonio, Texas, Amerika Serikat, Minggu (31/3/2019). ANTARA FOTO/Soobum Im-USA TODAY Sports/djo

tirto.id - Pertandingan gim keenam NBA Final 2013 antara Miami Heat melawan San Antonio Spurs tinggal tersisa 28 detik. Spurs, yang saat itu unggul agregat 3-2, masih memimpin jalannya pertandingan, 89-94. Jika semuanya baik-baik saja, sebentar lagi mereka akan merayakan pesta juara.

Di bangku cadangan Spurs, pemain cadangan Spurs terus bersorak, sementara Gregg Popovich, pelatih Spurs, terus memberikan instruksi agar Spurs tak sampai lengah. Berdiri di samping Popovich, pikiran Brett Brown, asisten pelatih Spurs, mulai melayang ke mana-mana: ia yakin Spurs akan mengunci gelar, sekaligus tak percaya bahwa mereka akan mengalahkan LeBron James, Chris Bosh, serta Dawne Wade di hadapan para pendukungnya.

Namun, waktu 28 detik dalam basket ternyata masih terlalu lama untuk memastikan kemenangan. Saat pertandingan tersisa 5,2 detik, saat kedudukan sudah berubah menjadi 92-95, Chris Bosh berhasil mendapatkan offensive rebound setelah menang duel melawan tiga pemain Spurs.

Pemain-pemain Spurs tahu bahwa Heat akan melakukan tembakan tiga angka untuk mengejar ketinggalan. Mereka lantas membidik LeBron James untuk dijaga, tapi Bosh ternyata mengoper ke arah Ray Allen yang sudah berdiri di sudut lainnya.

Allen melompat, melakukan tembakan tiga angka, dan masuk: 95-95.

Setelah tembakan tiga angka itu, mental pemain-pemain Spurs langsung ambruk, ibarat pohon yang dihantam angin puting beliung. Pada akhirnya, tembakan itu bahkan tidak hanya memaksa pertandingan dilanjutkan ke babak overtime, lalu membuat Heat menang 103-100, tapi juga berdampak lebih jauh lagi: mengakhiri perlawanan San Antonio Spurs di sisa laga final.

Pada gim ketujuh, gim penentuan, Spurs bermain linglung. Mereka kalah 88-95. Gelar NBA yang sebelumnya hanya berjarak seperlemparan batu dari mereka pun berhasil menjadi milik Miami Heat.

“Ini adalah seri [final] yang hebat, dan kami semua merasakan itu,” tutur Gregg Popovich seusai laga terakhir. “Aku tidak tahu apakah ‘menikmati’ ialah kata yang tepat, tapi jujur, meski kami kalah, saat Anda melihat ke belakang, aku mulai menikmati apa yang berhasil kami capai. Dan Anda perlu menempatkan itu ke dalam perspektif. Jadi, tidak ada ruginya kami kalah karena kami kalah dari tim yang lebih baik. Dan Anda dapat hidup dengan cara seperti itu asalkan Anda sudah memberikan yang terbaik, dan kami sudah melakukan itu semua.”

Popovich jelas tidak sedang mencari alasan. Sebelum laga final, karena kualitas yang mereka miliki, Heat memang lebih diunggulkan daripada Spurs. Zach Lowe, penulis basket di Grantland, bahkan memprediksi bahwa Heat akan mengunci kemenangan pada gim keenam: pertahanan agresif Heat, yang tidak menguntungkan Spurs, adalah salah satu alasannya, dan nama besar Dawne Wade, LeBron James, serta Crish Bosh lantas menjadi alasan lainnya.

Meski begitu, kekalahan itu ternyata tidak membuat Popovich melempar handuk begitu saja. Pada musim berikutnya, Popovich menambal kekurangan Spurs sedemikian rupa. Dan saat mereka kembali bertemu Miami Heat dalam NBA Final 2014, mereka ternyata tahu betul bagaimana caranya melakukan balas dendam sebaik-sebaiknya. Saat itu, Spurs bermain layaknya sebuah tim basket dari dunia yang berbeda.

Menerapkan “Point-five”

Menurut Kirk Goldsberry, dalam salah satu analisisnya di Grantland, Spurs ialah tim terbaik dalam melancarkan serangan dalam gelaran NBA musim 2013-2014. Mengakhiri musim dengan catatan 62 kali menang dan 20 kali kalah, Spurs sempat menang dalam 11 laga berurutan dengan margin 15 angka per-possessions dari tim lawan. Dan kunci dari permainan menyerang Spurs itu ialah sebuah taktik yang disebut dengan istilah “the loop

Dalam “the loop”, Tony Parker, point guard Spurs, mempunyai peran penting. Pertama, Parker akan mengumpan bola ke arah pemain-pemain Spurs lainnya. Setelah itu ia akan bergerak, untuk mencari celah atau membuka ruang, dan meminta bola lagi. Ketika bola diumpan kembali ke arah Parker, sementara pemain-pemain Spurs lain melakukan pergerakan, keputusan ada di tangan Parker: apakah ia akan menembak atau kembali mengoper bola.

Sayangnya, meski cara tersebut tersebut seringkali membuat kelabakan tim lawan dalam bertahan, Gregg Popovich menilai bahwa “the loop” tak akan berkerja maksimal di hadapan pertahanan Miami. Alasannya sederhana: Miami memiliki LeBron James, seorang monster yang menjadi kunci pertahan agresif Miami.

Untuk pemain yang bisa membikin Miami memaksa tim lawan melakukan kesalahan hingga sebesar 17,6 persen [terbanyak di NBA musim 2013-2014] saat melakukan serangan itu, RC. Buford, General Manager Spurs mengatakan, “Jika LeBron tidak bergerak, dia akan mulai mengincar arah umpan lawan untuk mencuri bola. Lalu, seperti sebuah kereta barang, dia akan sulit dihentikan ketika melakukan transisi."

Maka, menjelang laga NBA Final 2014, Popovich pun melakukan evolusi terhadap taktiknya itu.

Dalam evolusi taktik tersebut, tidak hanya Parker, pemain-pemain Spurs lainnya juga harus melakukan pergerakan. Selain itu, seorang pemain juga tidak diperkenankan menguasai bola lebih dari ½ detik. Bola harus terus bergerak, entah itu dengan sebuah dribel yang bersifat penetratif, operan, maupun dengan sebuah tembakan. Dari sana decision making menjadi kelewat penting, dan evolusi taktik itu kemudian dikenal dengan istilah “point five”.

Yang menarik, menurut Jackie MacMullan dalam tulisannya yang berjudul “How Spurs’ Majestic 2014 Finals Performance Change The NBA” di ESPN, fundamental dari “point five” adalah seni bela diri asal Jepang yang bernama Jujitsu. Seperti dalam Jujitsu, tujuan dari "point five" adalah melakukan serangan dengan memanfaatkan kekuatan lawan. Caranya: saat Heat dalam fase bertahan, Spurs tidak ingin membuat LeBron diam di satu tempat.

Karena "point five" adalah taktik yang cukup rumit, taktik ini semula tidak mampu berjalan secara sempurna. Bola masih bergerak lebih cepat dari isi kepala pemain-pemain Spurs dan pergerakan pemain-pemain Spurs juga masih lebih cepat daripada bola. Salah satu penyebab kegagalan itu adalah pengambilan keputusan Spurs yang yang penuh keraguan. Alhasil, setelah unggul 110-95 pada gim pertama, Spurs kalah 95-98 pada gim kedua.

Infografik San Antonio Spurs

undefined

Dari sana Popovich lantas sadar bahwa ia membutuhkan perubahan. Dan, perubahan yang ia lakukan ternyata datang dari pemain yang tak diduga-duga: Boris Diaw.

Pada gim ketiga, Diaw bermain sebagai starter menggantikan posisi Tiago Splitter. Keputusan itu tentu mengagetkan, dan Jeff Allen pernah menulis alasannya di Rolling Stones: “Ia [Diaw] – harus kami katakan – sedikit gemuk. Berdasarkan imajinasi apa pun, ia sebetulnya tidak benar-benar gemuk hanya... pucat seperti kue yang baru saja diambil dari oven karena belum matang. Sebagai pemain NBA modern, ia tidak mempunyai kecepatan yang kita harapkan. Deskripsi yang paling tepat untuknya adalah pemain ‘lamban.’”

Meski begitu, keputusan yang dilakukan oleh Popovich ternyata tepat sasaran. Diaw boleh lambat bergerak, tapi ia adalah pemain Spurs yang paling cerdas dan paling cepat dalam mengambil keputusan. Soal itu, Chris Bosh, bigman Miami, bahkan sampai dibuat geleng-geleng kepala olehnya.

“Dia sulit [untuk dijaga], Anda tidak akan pernah tahu apa yang akan dia lakukan. Anda tidak akan tahu apakah ia akan menembak, melakukan drive, atau mengumpan. Aku rasa kemampuannya dalam melakukan sesuatu dari posisinya [power forward atau center] membuat semuanya menjadi sulit... Dia adalah jenis pemain yang membingungkan Anda. Saat Anda tidak melihatnya, dia sudah berada di dekat atau mengoper ke area tiga angka yang kosong melompong tanpa penjagaan,” tutur Bosh, seusai gim keempat.

Dibantu dengan kecerdasan Diaw sebagai fasilisator, “point five” Spurs lantas dapat berjalan secara sempurna. Sementara pemain-pemain Heat hanya mampu berlari ke sana-sini, Spurs terus mendulang angka sambil mengundang decak kagum dari banyak orang. Saat genta permainan atraktif Spurs masih berbunyi nyaring, pemain Heat sudah kelelahan, LeBron tak bisa berbuat apa-apa, dan Spurs berhasil memenangkan gim ketiga, keempat, serta kelima. Spurs pun akhirnya menang 4-1, memastikan gelar NBA kelima secara meyakinkan.

Untuk semua itu, penampilan Spurs jelas mendapatkan aplaus panjang dari banyak orang. Ryan McDonough, Manager Umum Spurs, menyebut bahwa “semua tim NBA yang menonton pertandingan Spurs ingin bermain seperti Spurs". Sementara itu, Zack Lowe menggambarkan kemenangan Spurs atas Heat itu secara terang benderang.

Ia menulis, ”Kemenangan kelima Spurs di NBA adalah simbol dari apa yang kami inginkan di sepanjang tahun [musim 2013-2014]; sebuah kemenangan permainan indah di NBA; sebuah respons katarsis dari kekalahan yang mungkin paling menghancurkan dalam sejarah NBA Final; dan gaya permainan cepat yang mereka terapkan menjadikan Spurs berada satu langkah lebih maju daripada tim-tim NBA lainnya.”

Baca juga artikel terkait NBA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Suhendra