tirto.id - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sebuah rumah adat bernama uma mbatangu. Rumah adat ini dapat dikenali dari arsitektur serta keunikannya.
Menurut Fangnania T. Rumthe dalam Rumah Bundar (2018), rumah adat ini berasal dari sebuah kecamatan di Sumba Barat, yaitu Waikabubak. Bentuk, struktur, serta bahan-bahan membuat rumah adat mbatangu dipengaruhi oleh kebudayaan dan kondisi geografis masyarakat setempat.
Merujuk e-bookBeda Tapi Sama: Harmoni dalam Keberagaman (2018) keberagaman rumah adat timbul akibat adanya perbedaan geografis. Oleh karena itu, setiap rumah adat yang ada di Tanah Air memiliki bentuk yang unik dan beragam dipengaruhi oleh lokasinya.
Arsitektur Rumah Adat Uma Mbatangu NTT
Rumah adat uma mbatangu diambil dari bahasa setempat yang artinya rumah menara. Rumah adat ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu uma bakulu atau bokulu yang artinya rumah besar.
Bentuk rumah adat di NTT berbeda dengan rumah adat di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali yang masih dipengaruhi unsur agama Islam dan Hindu. Menurut Intania Poerwaningtias dan Nindya K.Suwarto dalam Rumah Adat Nusantara (2017) rumah adat di NTT lebih dekat dengan kebudayaan suku budaya lokal.
Julukan rumah besar dan rumah menara merujuk pada bentuk atap rumah uma mbatangu. Atap rumah dalam uma mbatangu disebut juga dengan hindi marapu. Menurut Rumthe uma mbatangu memiliki bentuk atap mirip rumah joglo dari Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Atap uma bakulu sendiri berbentuk trapesium yang bagian tengahnya menjulang seperti menara. Rumah atap tersebut disusun dari daun pohon kelapa dan jerami yang dikeringkan agar tidak cepat membusuk.
Sementara, bagian badan rumah memiliki konsep seperti honai yang ada di Papua. Struktur rumah dibuat sederhana dengan dua pintu depan dan belakang. Bagian depan rumah umumnya dihiasi dengan tanduk-tanduk kerbau atau rahang babi yang digunakan saat upacara adat.
Pembangunan badan rumah masih menggunakan bahan-bahan alam berupa kayu pohon kelapa, jerami, batu, dan bambu. Ketika dirangkai, bambu pada uma mbatangu tidak dibuat rapat agar rumah memiliki sirkulasi udara.
Bagian-Bagian Rumah Adat Uma Mbatangu NTT
Uma mbatangu tidak hanya digunakan oleh penghuninya sebagai tempat tinggal, melainkan juga tempat ibadah maupun kegiatan sosial. Secara filosofis terdapat tiga pembagian dalam uma mbatangu, yaitu bagian bawah tengah, dan atas.
Bagian bawah melambangkan dunia bawah tanah tempat orang-orang mati. Bagian tengah rumah melambangkan dunia saat ini atau dunia tempat manusia hidup. Sementara, bagian atas melambangkan dunia yang ditempati roh-roh para dewa.
Di ketiga bagian-bagian rumah adat uma mbatangu dibagi lagi menjadi beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda, sebagai berikut:
1. Bagian atap rumah
- tempat menyimpan benda-benda warisan;
- tempat menimpan harta berharga milik keluarga;
- tempat meletakkan persembahan hasil pangan pertama yang terbaik.
2. Bagian tengah rumah
- balai, yaitu bagian depan rumah yang digunakan untuk bersantai dan menerima tamu;
- inti rumah berupa perapian tungku, digunakan sebagai dapur dan menghangatkan diri;
- ruang laki-laki, untuk tempat rapat maupun acara adat;
- ruang perempuan, digunakan untuk tidur, makan, maupun menyimpan makanan.
3. Bagian bawah rumah
- kolong rumah digunakan sebagai kandang hewan ternak;
- tempat untuk memintal atau menenun kain khas Sumba.
Keunikan Rumah Adat Uma Mbatangu NTT
Jika dilihat secara sekilas, rumah adat uma mbatangu memiliki bentuk seperti kepala yang ditutupi rambut manusia. Menurut Rumthe hal ini didasari oleh kepercayaan bahwa leluhur masyarakat setempat benar-benar menutupi rumah dengan rambut manusia.
Rambut-rambut tersebut diperoleh para leluhur dari perang antar suku pada zaman dahulu. Saat ini masyarakat tidak lagi berperang dan menutupi rumah dengan rambut manusia tentu bukanlah hal yang baik.
Kendati demikian, bentuk asli rumah adat uma mbatangu masih dipertahankan. Sebagai gantinya, masyarakat membangun atap rumah menggunakan bahan daun kelapa kering dan jerami yang banyak tumbuh di pulau Sumba.