tirto.id - Covid-19, penyakit pernafasan yang diakibatkan oleh virus corona baru, telah menyebabkan setidaknya 98.000 orang dirawat intensif dan lebih dari 3000 jiwa tewas di seluruh dunia. Wabah yang berawal dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, Cina, ini tak hanya menghancurkan manusia semata, namun juga merusak ekonomi, khususnya industri penerbangan.
International Air Transport Association (IATA), organisasi maskapai dunia, memperkirakan virus corona membuat perjalanan udara menurun 4,7 persen dan mengakibatkan maskapai-maskapai dunia kehilangan pendapatan senilai $29,3 miliar: terburuk sejak krisis ekonomi menimpa dunia pada 2008-2009. Kebanyakan maskapai yang mengalaminya berasal dari Asia Pasifik.
Di Indonesia, per 5 Februari lalu, pemerintah memberlakukan penundaan penerbangan dari dan menuju Cina. Tercatat, 40 penerbangan per minggu milik Garuda Indonesia dan 44 penerbangan per minggu milik Lion Group (Lion Air dan Batik Air) dari dan menuju Cina terkena penangguhan. Padahal, rute Indonesia-Cina menyumbang 35 hingga 40 persen dari total penerbangan internasional Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total penumpang penerbangan internasional Indonesia pada Januari 2020 di empat bandara utama ada di angka 1.460.487. Jika, katakanlah, penumpang-penumpang itu diangkut pesawat berjenis Boeing 737, pesawat terpopuler di dunia yang memiliki daya angkut hingga 124 penumpang, terdapat 11.778 penerbangan internasional Indonesia di bulan Januari. Artinya, atas penangguhan yang dilakukan pemerintah, setidaknya 4.122 hingga 4.711 penerbangan internasional terdampak virus Corona di Indonesia.
Pertanyaannya: benarkah bandara (dan juga pesawat) dianggap sebagai tempat paling mudah tersebarnya virus Corona?
Persebaran Virus Corona di Dalam Pesawat
Salah satu alasan mengapa pesawat yang patut diwaspadai dalam konteks persebaran virus corona adalah karena di sana interaksi antarmanusia (yang mungkin telah terinfeksi virus) terjadi cukup intens dan dalam waktu yang cukup panjang.
Menurut World Health Organization (WHO), berkaca pada kasus wabah severe acute respiratory syndrome (SARS) pada 2003 lalu, penumpang yang terinfeksi virus setidaknya akan menginfeksi penumpang lain dalam jarak dua baris dari tempatnya duduk.
Namun, riset berjudul “Transmission of the Severe Acute Respiratory Syndrome on Aircraft” yang ditulis ulang Any McKeever dalam bentuk populer, menyebut agak berbeda. Melalui 10 penerbangan transkontinental yang berdurasi 3,5 hingga 5 jam yang diteliti, penumpang pesawat tidaklah pasif dengan hanya duduk sepanjang perjalanan. Terkadang penumpang akan beranjak ke toilet pesawat.
Secara keseluruhan, 38 persen penumpang beranjak dari kursinya sekali dan 24 persen beranjak lebih dari sekali dalam sebuah penerbangan. Jika orang telah terinfeksi virus berjalan ke toilet, misalnya, maka ia dapat menyebarkan virus tersebut ke orang-orang yang dilaluinya atau ketika mereka gantian ke toilet.
Lantaran penumpang pesawat aktif dalam perjalanan, maka umumnya penumpang yang duduk di sisi lorong pesawat dan di tengah, berinteraksi dengan 58 hingga 64 penumpang sepanjang perjalanan.
Howard Weiss, profesor biologi dan matematika pada Penn State University, menjelaskan hal tersebut kepada National Geographic.
“Misalkan Anda duduk di kursi lorong atau kursi tengah dan saya berjalan ke toilet, maka kita akan melakukan kontak, artinya kita akan berada dalam jarak satu meter. Jadi jika saya terinfeksi, saya dapat menularkannya kepada Anda.”
Menurut riset tersebut pula, penumpang yang cenderung lebih aman ketika wabah seperti Corona merebak ialah mereka yang duduk di sisi jendela pesawat. Sebab penumpang di posisi tersebut rata-rata berinteraksi hanya dengan 12 penumpang lainnya.
Penyebaran virus di pesawat dapat lebih parah terjadi jika awak kabin yang terinfeksi. Rata-rata awak kabin yang terinfeksi virus akan menyebarkan ke 4-6 penumpang. Ini terjadi karena awak kabin bergerak hampir terus menerus dari ujung ke ujung di sepanjang perjalanan.
Emily Landon, Direktur Antimicrobial Stewardship and Infection Control di University of Chicago Medicine, menyebut bahwa kunci persebaran virus di pesawat ialah “waktu dan jarak”. Orang akan mudah menyebarkan virus yang diidapnya ke orang lain yang berjarak tak jauh dari 2 meter dan berinteraksi tak lebih dari 10 menit.
Seturut riset tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pesawat adalah tempat yang paling memanjakan virus untuk menyebarkan dirinya.
Di Indonesia, sehari sebelum Presiden Joko Widodo menyatakan terdapat warga Indonesia di dalam negeri yang terinfeksi Corona, pemeriksaan dalam bentuk yang sederhana seperti mengukur suhu tubuh, belum dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta.
Hal itu berbeda dengan Bandara Internasional Kuala Lumpur, di mana sistem pendeteksi suhu tubuh telah terpasang dan digunakan. Selain itu, karena Malaysia telah mengkonfirmasi adanya Corona jauh hari sebelum Indonesia, tempat-tempat di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur, telah menyiapkan sistem pendeteksi suhu tubuh, juga memberikan cairan pembunuh kuman secara gratis. Di hotel, misalnya, petugas keamanan tidak akan membiarkan tamunya masuk jika suhu tubuh terdeteksi berada di angka 38 derajat celcius atau lebih.
Sehari setelah pengumuman presiden, saya mendarat di bandara Soekarno-Hatta setelah dari Malaysia. Tepat selepas turun dari pesawat dan sebelum sampai di konten imigrasi, ada banyak petugas yang melakukan pengukuran suhu tubuh.
Penumpang juga harus mengisi dan menyerahkan Kartu Kewaspadaan Kesehatan (satu bagian untuk petugas dan satu bagian untuk penumpang) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI. Kartu tersebut memuat data diri, termasuk negara-negara yang sempat dikunjungi dalam 14 hari terakhir. Penumpang juga diwajibkan memberikan data lain di kartu tersebut, misalnya: apakah ada gejala-gejala Corona, seperti demam hingga batuk, yang dideritanya.
Terakhir, kartu pun memuat kontak yang harus dihubungi jika dalam tempo 14 hari gejala mirip Corona muncul. Dan ketika gejala muncul, penumpang wajib menyerahkan kartu bagian yang dimilikinya ke dokter yang memeriksa.
Bermula dari Konferensi di Singapura
Karishma Vaswani, pada laporannya untuk BBC, menyebut bahwa hotel Grand Hyatt di Singapura jadi contoh bagaimana virus Corona menyebar ke berbagai negara dengan cepat. Kala itu, di pertengahan Januari 2020, 100 orang eksekutif hadir dari berbagai belahan dunia, termasuk Cina, dalam acara konferensi penjualan suatu perusahaan.
Seminggu selepas konferensi berakhir, Malaysia mengonfirmasi warga pertama yang terinfeksi Corona berumur 41 tahun dan diketahui hadir dalam konferensi itu. Lantas, konfirmasi positif Corona datang dari Korea Selatan, Inggris, hingga Spanyol, yang semuanya terhubung dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konferensi di hotel Grand Hyatt itu.
Singapura memang sangat terhubung dengan Cina. Pada 2019, masih seturut laporan BBC, sebanyak 3,62 juta warga Cina mengunjungi Singapura. Bandara Changi, sebagai bandara utama di Singapura, menjadi tempat pertama warga Cina, dan warga belahan dunia lainnya, menginjakkan kaki di negeri “titik merah” itu.
Masalahnya, setiap 80 detik, satu pesawat lepas landas dan mengarah ke berbagai sudut bumi. Berkaca pada kasus konferensi Grand Hyatt, Changi, dan bandara utama di berbagai negara lain yang dikunjungi banyak warga Cina, sangat mungkin jadi tempat persebaran virus corona ke seluruh dunia.
Laporan Stephanie Pappas untuk Live Science menyebut, 12 bandara utama di Amerika Serikat melakukan pemeriksaan yang ketat pada para penumpang yang baru tiba, khususnya dari Cina. Selain diukur suhu tubuh, penumpang pun diwajibkan mengisi dokumen tentang perjalanan yang mereka lakukan. Jika ditemukan penumpang yang memiliki gejala corona, penumpang akan digiring pada ruang karantina yang ada di bandara.
Andrew Pavia, Ketua Pediatric Infectious Diseases di University of Utah Health, menyebut bahwa langkah yang diambil itu diyakini dapat memperlambat penyebaran Corona.
Antara Wuhan dan Bali
Brian O’Keefe, editor majalah Fortune, dalam tulisannya berjudul “Mapping a Contagion” yang terbit di majalah tersebut edisi Maret 2020, menjelaskan bahwa “seberapa jauh dan cepat virus menyebar di dunia hari ini bukanlah soal jarak fisik, tetapi terkait pola perjalanan manusia yang membawa virusnya.”
O’Keefe juga mengutip Dirk Brockmann, profesor di Institute for Theoretical Biology, University of Berlin: “Jaringan transportasi modern adalah penyebab bagaimana penyakit menular sampai ke tempat yang jauh.”
Wuhan, sebagai tempat pertama virus Corona muncul, memang jauh secara jarak dari negara-negara lain. Namun, melalui penerbangan internasional, kota yang terdapat di provinsi Hubei, Cina, itu sangat terkoneksi dengan dunia internasional.
Dalam riset yang dikerjakan oleh Joseph T. Wu dkk.--tayang di jurnal kesehatan The Lancet volume 395 (PDF)--menyebut bahwa terdapat 16.202 penumpang asal Wuhan yang terbang ke Bangkok, Thailand dan 5.661 ke Singapura setiap bulannya.
Warga asal Wuhan yang terbang ke Indonesia, khususnya ke Bali, mencapai 2.432 per bulan. Di sisi lain, menurut data BPS, ada 70 penerbangan Semarang-Bali setiap bulan per akhir 2019 lalu.
Lagi-lagi, jika, katakanlah, penerbangan itu diangkut pesawat berjenis ATR 72, pesawat yang lazim digunakan untuk penerbangan jarak pendek dan memiliki daya angkut hingga 78 penumpang, ada 5.460 orang Semarang tiba di Bali setiap bulan. Artinya, orang Wuhan yang ada di Bali berjumlah hampir setengah dari jumlah orang Semarang yang sedang pelesiran di Pulau Dewata itu.
Editor: Eddward S Kennedy