tirto.id - Harga minyak kembali tergerus pada awal perdagangan hari ini. Kontrak harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember 2018 di New York Mercantile Exchange turun 0,07 poin setara 0,12 persen menjadi USD56,18 per barel. Data tersebut diakses pada Kamis (15/11/2018), pukul 15.00 WIB.
Kemarin, Rabu (14/11/2018), harga minyak sempat menguat 1 persen ke level USD56,25 per barel. Sementara pada penutupan perdagangan Selasa (13/11/2018) harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 terjerembab 7,07 persen ke level USD55,69 per barel dari penutupan hari sebelumnya yang mencapai $59,93 per barel.
Dengan pergerakan ini, harga minyak WTI yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) telah melemah sejak awal November 2018. Tren tersebut merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah yang meninggalkan level psikologis USD60 per barel.
Minyak mentah jenis WTI terkoreksi sebesar 27,12 persen dari level tertinggi yang pernah ditoreh dalam 4 tahun terakhir yaitu USD74,41 per barel pada 3 Oktober 2018. Kejatuhan tersebut merupakan yang terendah sejak November 2017. Senasib sepenanggungan, minyak jenis Brent yang merupakan acuan di Eropa juga nyaris menyentuh titik psikologis USD65 per barel.
Pada penutupan perdagangan Selasa (13/11/2018), harga Brent senilai USD65,47 per barel. Level tersebut merupakan titik terendah selama 8 bulan terakhir sejak pertengahan Maret 2018. Secara harian, Brent melemah sebesar 6,63 persen setara 4,65 poin dari posisi Senin (12/11/2018) yang mencapai USD70,12 per barel.
Namun harga Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2019 di ICE Future menguat 0,99 persen ke level USD66,12 per barel pada Rabu (14/11/2018). Harga tersebut kembali terkerek pada Kamis (15/11/2018) pukul 15.00 WIB, saat harga Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2019 mencapai USD66,12 per barel.
Faktor-faktor Pemicu Harga Minyak Dunia Tertekan
Apa saja faktor tekanan terhadap harga minyak? Pertama, adalah berlebihnya pasokan minyak. Sejak pertengahan tahun, pasokan minyak telah meningkat tajam. Kompak, baik AS, Arab Saudi dan Rusia menunjukkan peningkatan produksi minyak mentah. Laporan Departemen Energi AS atau Energy Information Administration (EIA) menyebutkan, produksi minyak mentah mencapai rekor tertinggi yaitu 7,94 juta barel per hari pada Desember.
Untuk rekor mingguan, produksi minyak AS mencapai 11,6 juta barel per hari pada awal November. Diperkirakan produksi minyak AS akan terus bertambah menjadi 12 juta barel per hari pada pertengahan 2019.
“Dengan persediaan yang kemungkinan akan meningkat pada kuartal I-2019, harga minyak bisa tetap berada di bawah tekanan dalam waktu dekat,” kata analis Bernstein Energy seperti dilansir Reuters.
Kedua, melemahnya harga minyak juga didorong oleh langkah AS meringankan sanksi terhadap Iran. Di awal November, AS dikabarkan setuju 8 negara importir membeli minyak dari Iran.
Sementara faktor ketiga yang menekan harga minyak adalah permintaan Presiden AS Donald Trump kepada OPEC untuk tidak menurunkan produksi minyak tahun depan. Padahal, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sedang membahas pemotongan pasokan.
OPEC memperkirakan tahun depan ada kenaikan produksi 127 ribu barel per hari menjadi 32,9 juta barel per hari dalam laporan edisi November ini. Sedangkan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel per hari menjadi 31,54 juta barel per hari. Ini artinya, ada potensi kelebihan pasokan sebesar 1,36 juta barel per hari.
“Rusia dan OPEC dan Arab Saudi, mereka mengamati pasar. Jika mereka melihat ada ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, (mereka) tentu saja akan mengambil tindakan bersama untuk mengurangi pasokan,” kata Kirill Dmitriev, kepala Reksa Dana Investasi Langsung Rusia, dikutip dari Reuters.
Faktor terakhir adalah eskalasi perang dagang yang mulai melemahkan ekonomi Cina. Ini terlihat dari data ekonomi negeri Tirai Bambu yang memburuk.
Biro Statistik Cina melaporkan pertumbuhan ekonomi raksasa Asia itu pada kuartal III-2018 hanya mencapai 6,5 persen atau mengalami pelambatan jika dibandingkan kuartal sebelumnya. Secara kuartal ke kuartal, ekonomi Cina tumbuh 1,6 persen. Pelemahan ekonomi Cina patut dicermati, karena negara di bawah pimpinan Xi Jinping tersebut merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Addi M Idhom