Menuju konten utama

Mengapa Ajax Era Ten Hag Lebih Bagus daripada Zaman van Gaal?

Kesuksesan di Liga Champions Eropa musim ini membuat Ajax era Erik ten Hag dibandingkan dengan era van Gaal. Ajax era ten Hag dinilai punya permainan yang lebih menyenangkan.

Mengapa Ajax Era Ten Hag Lebih Bagus daripada Zaman van Gaal?
David Neres, tengah, dari Ajax, merayakan gol pembuka timnya di menit awal babak kedua perempat final Liga Champions, leg pertama, pertandingan sepak bola antara Ajax dan Juventus di stadion Johan Cruyff ArenA di Amsterdam, Belanda, Rabu, 10 April 2019. AP Photo / Martin Meissner

tirto.id - Ajax Amsterdam berhasil mengalahkan tuan rumah Tottenham Hotspur 0-1 pada leg pertama semifinal Liga Champions Eropa 2018-2019, Rabu (1/5/2019) dini hari. Dalam laga tandang di fase gugur Liga Champions musim ini, kemenangan Ajax ialah yang ketiga secara berturut-turut. Mereka sebelumnya berhasil membekuk Real Madrid 1-4 dan Juventus dengan skor 1-2.

Sama seperti saat mengalahkan Madrid dan Juventus, Ajax berani menekan pertahanan Spurs sejak menit-menit awal laga saat bertanding di Tottenham Hotspur Stadium. Menurut hitung-hitungan Whoscored, Ajax sudah tiga kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang kala pertandingan baru berlangsung 13 menit. Dua menit setelah itu, Ajax pun unggul lewat tendangan kaki kanan Donny van de Beek.

Setelah mencetak gol, permainan Ajax tampak semakin menjadi-jadi. Spurs yang tampak kikuk dengan formasi tiga bek yang mereka terapkan, tak bisa berbuat banyak. Setidaknya hingga menit ke-30, Ajax terlihat seperti tinggal menunggu waktu buat mencetak gol tambahan.

Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, menulis, "Pertandingan dimenangkan dalam setengah jam pertama. Bukan untuk pertama kalinya, Spurs justru menggunakan mantra yang membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Ajax, yang tampil apik di sepanjang tahun ini, terus-terusan melewati pertahanan mereka, pertandingan tersebut tampaknya dapat diakhiri hanya dalam waktu empat 45 menit."

Dugaan Wilson memang meleset. Terutama setelah Spurs menggubah formasi dari tiga bek menjadi 4-4-2 berlian. Secara perlahan, anak asuh Mauricio Pochettino mampu mengimbangi permainan skuat asuhan Erik ten Hag–babak kedua adalah milik Spurs--, meskipun mereka tetap saja tak mampu mengejar ketinggalan.

Kemenangan Ajax ini semakin membuat mereka kian dekat untuk kembali meraih gelar Liga Champions Eropa. Mereka juga terus-terusan mendapatkan pujian menembus langit: mudah, cepat, agresif, tak kenal rasa takut, dan menyenangkan.

Lantas, mengapa Ajax yang sekarang dianggap lebih hebat dari tim Ajax pada musim 1994-1995? Padahal skuat 1995 berhasil menutup musim dengan membawa pulang gelar Liga Champions Eropa.

Ajax 1995

Pada 1995, Ajax Amsterdam bisa jadi kampiun Liga Champions Eropa dengan penampilan sangat menawan. Mengandalkan konsep nyentrik ala Louis van Gaal serta para pemain muda yang menerapkan umpan-umpan pendek dengan kecepatan tinggi, Ajax berhasil menjadi primadona di Eropa.

Dan, cara Ajax bermain menawan itu ternyata hanya punya satu dasar: mengumpan dengan cara yang benar.

Pada 6 Maret 2019, dalam sebuah tulisannya di FourFourTwo, Alec Fenn menceritakan bagaimana metode latihan yang diterapkan van Gaal. Selain menekankan pentingnya fisik terhadap para pemainnya, mantan pelatih Manchester United itu juga fokus mengajari para pemainnya mengumpan dengan cepat ke arah kaki yang tepat selama tiga bulan.

Latihan itu kemudian dikombinasikan dengan umpan-umpan panjang sejauh 30 meter dengan satu tujuan: mengubah arah permainan dengan cepat. Yang menarik, latihan umpan itu dikombinasikan dengan pemikiran nyentrik van Gaal tentang peran para pemainnya.

"Tugas-tugas pemain Ajax bervariasi tergantung posisi masing-masing. Kiper harus mahir bermain dengan kaki dan tangannya, sehingga dia dapat ikut membangun serangan sekaligus memberikan keuntungan bagi bek tengah yang paling kreatif. Seluruh tim bergerak dengan pola yang sudah diterapkan; jika satu pemain mundur untuk menerima bola, yang lain harus berlari ke gawang lawan. Para pemain sayap diperintahkan berulang kali berlari ke depan untuk membuka ruang saat bola-bola panjang dikirimkan dari belakang. Sementara pemain belakang diperintahkan untuk selalu berada di belakang pemain sayap setiap saat. Jika serangan gagal di satu sisi, mereka harus mencoba dari sisi lainnya secepat mungkin. Semua itu harus dimainkan dalam batas-batas formasi 4-3-3 atau 3-4-3," tulis Fenn.

Sepintas, pemikiran van Gaal itu tampak kaku. Meski begitu, pemain Ajax ternyata boleh berimprovisasi sesuai dengan filosofi permainan saat pendekatan yang diterapkan tak berjalan baik.

Contoh paling sahih tentang improvisasi ini terjadi kala Ajax berhasil mengalahkan AC Milan 1-0 dalam laga final Liga Champions Eropa 1995. Sempat kesulitan membongkar taktik konservatif Milan, Ajax yang saat itu bermain dengan formasi 3-4-3, mampu bermain apik pada babak kedua berkat ide Frank Rijkaard, gelandang bertahan Ajax.

Menurut analisis Spielverlagerung, Fabio Capello, pelatih Milan kala itu, sadar jika Rijkaard merupakan pengatur permainan Ajax. Capello kemudian menugaskan Zvominir Boban bermain lebih ke depan buat mengawasi gerak-gerik Rijkaard. Namun pada babak kedua, Rijkaard memilih bermain agak mundur dan menyuruh dua gelandang Ajax lainnya, Edgar Davids dan Clarence Sheedorf untuk bermain lebih ke depan.

Karena pendekatan itu, Boban kemudian memilih mundur ke belakang agar Demetrio Albertini tidak berada dalam situasi 2 lawan 1. Alhasil. Rijkaard kembali bebas dan Ajax meraih keuntungan; Ajax menang berkat gol tunggal Patrick Kluivert.

Permainan nyentrik Ajax di bawah asuhan van Gaal ini kemudian memaksa Jorge Valdano, mantan penyerang flamboyan timnas Argentina, memuji mereka setinggi langit. Ia berkata "Ajax pada tahun 90-an [tahun 95 khususnya] bukan hanya tim sepakbola, mereka mendekati utopia sepakbola."

Dan, sekitar 24 tahun setelah kejadian itu, siapa yang mengira jika Ajax mampu tampil lebih revolusioner daripada era tersebut.

Lebih Cair daripada Era van Gaal

Secara kasat mata, nyaris tidak ada perbedaan antara Ajax era 1995 dan kiwari. Mereka sama-sama mengandalkan pemain muda, umpan-umpan cepat dari kaki ke kaki, dan senang bermain menyerang. Namun, saat dilihat lebih detail, Ajax zaman kiwari tentu lebih menarik untuk disimak.

Matt Dickinson, salah satu jurnalis The Times, mampu melihatnya hanya dalam satu momen saat Ajax berhasil mengalahkan Tottenham Hotspur.

Ia menulis, "Matthijs de Light menguasai bola dan, melihat ruang, maju ke depan. Beberapa saat kemudian, ia meledak ke area penalti Spurs dengan bola di kakinya. Sekitar 20 menit sudah berlalu dalam pertandingan terbesar di dalam hidupnya, tetapi de Light, seorang bek tengah, melancarkan serangan ke dalam kotak penalti Spurs... Mengapa ia bisa seperti itu?"

Dalam tim Ajax yang sekarang, de Light bukan satu-satunya pemain yang dapat keluar dari posisinya untuk mendukung gelombang serangan Ajax.

Donny van de Beek, pencetak gol kemenangan Ajax ke gawang Spurs, bisa secara tiba-tiba menjadi penyerang dadakan. Dusan Tadic, yang seharusnya menjadi pemain paling depan, bisa bergerak melebar hingga turun jauh ke belakang untuk menjemput bola. Sementara David Neres dan Hakim Ziyech seringkali tampak seperti gelandang serang, saat duet full-back Ajax alih peran menjadi penyerang sayap.

Bagaimana dengan Frankie de Jong, gelandang bertahan Ajax?

Arie Haan, mantan gelandang Ajax, menyebutnya sebagai "versi yang lebih baik dari Franz Beckenbauer." Alasan Haan, de Jong tidak hanya mempunyai visi seperti Beckenbauer saat sering turun ke belakang, tapi juga mampu melonjak ke depan untuk melewati beberapa pemain lawan pada saat timnya benar-benar membutuhkan.

Permainan cair Ajax Amsterdam merupakan salah alasan mengapa para pemain Ajax dapat menjalankan beberapa peran sekaligus. Terbiasa bermain dengan formasi 4-2-3-1, formasi tersebut bisa berubah-ubah secara situasional. Hebatnya, pertukaran posisi pemain Ajax ini seringkali terjadi dalam waktu yang tepat. Karenanya, lawan-lawan Ajax pun seringkali kesulitan menghentikan serangan anak asuh Erik ten Hag itu.

Dan, pertukaran posisi ini juga terjadi dalam fase bertahan. Karena mengandalkan counter-pressing yang berorientasi terhadap man-to-man marking, para pemain belakang Ajax sering meninggalkan posisinya untuk mengikuti pergerakan penyerang lawan. Untuk menjaga bentuk pertahanan Ajax, pemain-pemain yang berada di dekatnya lantas mempunyai tugas untuk menggantikan posisi tersebut.

"Saat Juventus menguasai bola di daerah depan, Ajax tidak menjaga garis pertahanan di sepanjang tepi kotak penalti. Daley Sinkgraven, full-back kiri Ajax, membuat Bernadeschi menjauh dari gawang dan de Light tetap berada dekat dengan Cristiano Ronaldo. Namun masih ada empat bek dalam arti posisional, karena de Jong dan Neres menggantikan posisi kedua pemain tersebut," tulis Tom Clarke di The Times, mengenai cara bertahan Ajax saat melawan Juventus.

Untuk permainan mereka yang cair seperti itu, tak heran jika Ajax yang sekarang kemudian dinilai lebih baik daripada Ajax tahun 1995. Maka, meskipun tim ini nantinya gagal mengangkat gelar Liga Champions, Matt Dickinson pun memberikan saran yang sangat masuk akal: "Selama kita masih bisa, kita harus menikmati kehebatan Ajax yang sekarang."

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS 2019 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih