tirto.id - Kata orang, sejarah adalah milik para pemenang. Tapi sejatinya, sejarah adalah milik siapa saja. Siapapun boleh bercerita dan siapapun boleh ditonjolkan sebagai pahlawan, juga sebagai pecundang. Setelah Orde Baru tumbang, muncul bermacam versi sejarah, yang tak jarang bertentangan dengan narasi besar pemerintah. Belakangan, media sosial ikut meramaikannya.
Setelah para pemenang sejarah satu persatu menghadap yang kuasa dan terbukanya arus informasi publik, muncul orang-orang yang mengaku diri sebagai orang besar. Orang masih ingat Ilyas Karim yang mengaku diri pengibar merah putih ketika acara proklamasi. Juga Andaryoko yang mengaku diri sebagai pemimpin pemberontakan PETA Blitar, Supriyadi.
Ilyas Sang Pengibar
Penggusuran adalah hal kejam bagi siapapun yang mengalaminya. Kebetulan, salah satu korban bernama Ilyas Karim. Dia mengaku pangkatnya adalah Letnan Kolonel. Pihak militer tentu saja meragukan pengakuan tersebut. Laki-laki uzur itu, diakui oleh sebagian pihak sebagai pengibar bendera ketika upacara Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Jika ini benar, mangapa setelah lebih dari setengah abad, Ilyas baru mengakuinya ke publik di tahun 2011?
Menurut beberapa sumber, Ilyas Karim tidak ada di foto. Hanya ada dua pengibar, Soehoed dan Latief Hendraningrat. Setelah seorang perempuan tak dikenal pembawa baki maju ke ke arah tiang mengantarkan bendera itu.
“Rupa-rupanya untuk pengerekan Sang Dwiwarna belum ada orang yang ditetapkan sebagai pengerek bendera. Ketika Bung Karno selesai membaca teks proklamasi tiba-tiba seorang pemuda dan seorang pemudi datang berbaris ke depan. Sang pemudi membawa baki berisikan Sang Dwiwarna yang dilipat dengan rapi. Sang pemuda kami kenal bernama Soehoed, sang pemudi tidak kami kenal. Kami agak heran ketika kedua-duanya maju berbaris dengan langkah tegap (ala Jepang) ke arah kami berdiri, bukan ke arah Bung Karno. Dan sebelum kami sadari maka baki dengan bendera langsung disodorkan pada kami oleh sang pemudi. Kami sungguh heran tapi ini sejurus kemudian saja, sebab secepat kilat kami mengerti maksudnya,” tulis Abdul Latief Hendraningrat dalam artikel jelang peringatan 17 Agustus 1983 dan dikutip dalam Abdul Latief Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945.
Selain yang diingat Abdul Latief Hendraningrat, peristiwa pengibaran tersebut juga diabadikan oleh Mendur Bersaudara dalam sebuah foto. Hanya ada dua laki-laki pengibar bendera dan seorang perempuan berkerudung tak dikenal. Sementara nama Ilyas Karim tak disinggung sedikit pun.
Andaryoko Adalah Supriyadi?
Selain Ilyas yang mengaku sebagai pengibar bendera, ada lagi Andaryoko Wisnuprabu yang juga mengaku sebagai pelaku sejarah dan membuat geger pada 2008. Andaryoko mengaku dirinya sebagai Supriyadi, sang pemimpin pemberontakan PETA Blitar pada 14 Februari 1945. Setelah pemberontakan yang gagal itu, Supriyadi dinyatakan hilang, dan banyak orang yang mempercayainya. Pengakuan Andaryoko Wisnuprabu ini lalu mendapat perhatian dari Baskara Wardaya, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hingga melahirkan buku Mencari Supriyadi (2008).
Menurut Andaryoko, yang mengaku Supriyadi, setelah pemberontakan PETA Blitar, yang bertepatan dengan hari Valentine itu, dirinya berhasil lolos dari eksekusi maut serdadu Jepang dan berada tak jauh dari Soekarno. Menurut Hadi Sukiyarkino, mantan PETA yang jadi pengurus bekas asrama PETA Blitar, wajah Andaryoko memang mirip Supriyadi. Namun, ada perbedaan keterangan soal kemana Supriyadi lari. Jika menurut Andaryoko, Supriyadi lari ke selatan, maka Hadi ingat Supriyadi lari ke utara. Adik tiri Supriyadi sendiri juga tidak percaya jika Andaryoko adalah Supriyadi. Andaryoko tak mampu menjawab ketika dijejali pertanyaan siapa nama guru Supriyadi yang asal Padang.
Setelah bulan Oktober 1945, ketika Jepang sudah lemah dan tentara sekutu masuk ke Indonesia, tentu adalah waktu yang tepat bagi Supriyadi untuk muncul. Karena tidak ada lagi serdadu Jepang yang memburunya lagi. Banyak pihak percaya Supriyadi hilang tanpa jejak setelah 14 Februari 1945. Jika dia masih hidup, tentunya Supriyadi akan muncul, meskipun dirinya barangkali tak mau menerima jabatan Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tak hanya soal pemberontakan PETA Blitar, Andaryoko juga punya cerita soal Supersemar. Menurutnya, Supersemar itu tidak ada. Tiga jenderal yang dianggap membawa Supersemar seperti M Jusuf, Amir Mahmud dan Basuki Rahmat pulang dari Istana Bogor dengan tangan hampa. Andar mengaku, dia bisa keluar masuk Istana Negara karena kenal dengan Soekarno. Dia juga yang memperkenalkan Soekarno pada Hartini, istri Soekarno yang lain lagi.
Andaryoko, boleh dibilang adalah orang tua yang tidak kekurangan. Dia menjadi pegawai negeri hingga pensiun. Dia mengaku sejak 1 Juli 1945 bekerja di kantor keresidenan Semarang. Ketika itu Jepang masih berkuasa di Indonesia. Beberapa bulan setelah gagalnya pemberontakan PETA Blitar. Pernah juga dia menjadi Sekretaris Keresidenan Semarang. Hidupnya jauh lebih berkecukupan dibanding Ilyas Karim. Andar meninggal dunia pada 3 Juni 2009. Terlepas dari benar dan salahnya, Andaryoko memperkaya narasi atau versi sejarah yang selama ini selalu berdasar narasi pemerintar.
"Dia telah menyajikan narasi lain tentang sejarah Supriyadi di luar narasi resmi pemerintah," ujar Baskara Wardaya ketika melayat Andaryoko.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti