tirto.id - Kalimat di atas adalah penggalan pidato kampanye calon gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono di Gelanggang Remaja, Jakarta Utara pada pertengahan November 2016. Dalam pidato itu, ia mengungkapkan alasan memasukkan program Bantuan Langsung Sementara (BLS). Menurutnya program ini sesuai dengan amanat konstitusi bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap warga miskin.
Dalam debat perdana pilkada DKI jumat lalu (13/1), peryataan serupa digunakan oleh Agus untuk menjawab pertanyaan calon wakil gubernur pasangan Basuki Tjahja Purnama yakni Djarot Saiful Hidayat. Saat itu Djarot mempertanyakan skema ini yang rentan jadi lahan korupsi dan justru merugikan masyarakat.
Dengan enteng Agus menjawab. “Kalau ada pemimpin yang ingin membantu rakyatnya sesuai konstitusi dianggap tidak mendidik, itu tidak punya hati.”
Pasangan calon Agus-Sylvi memang banyak memasukkan program bagi-bagi uang dalam kampanye-nya: Pertama, 1 RW 1 Miliar. Kedua, bantuan bergulir Rp50 juta per unit usaha. Ketiga Bantuan Langsung Sementara (BLS).
Apa yang dikampanyekan Agus dengan program membagi uang tunai sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Program serupa ini juga pernah dilakukan sang bapak, Susilo Bambang Yudhoyono saat menjabat sebagai Presiden. Kala itu SBY menyebut program ini sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Pemantik program ini adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pengurangan subsidi BBM ketika harga minyak dunia naik mencapai titik tertinggi, US$ 120 per barel pada 2004. Saat BBM kembali melambung tinggi 2008 dan 2013, pemberian BLT kembali dilakukan. Hanya saja pada 2013, nama BLT bertransformasi jadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), tapi ya konsepnya tetap saja sama.
Agus-Sylvi akan meneruskan program bantuan tunai rintisan SBY tersebut. Rencananya, tiap bulan anggaran 400 ribu per kk akan diberikan kepada 128 ribu kepala keluarga atau 384 ribu warga miskin Jakarta. Namun apakah program ini realistis? Mengingat, betul apa yang diucapkan Djarot bahwa program ini memiliki banyak lubangnya.
Kilas Balik Bantuan Langsung Tunai
SMERU, lembaga riset kajian publik melakukan penelitian terhadap bantuan tunai 2005, 2008 dan 2013 dengan pendekatan kualitatif dilengkapi dengan angka kuantitaif. Penelitian 2005 dan 2008 dilakukan di lima kota/kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Demak, Kabupaten Bima, dan Kota Ternate. Sementara pada 2013 pemantauan dilakukan di empat kecamatan dari Jakarta Utara, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Karawang, dan Kota Bandung.
Dari hasil penelitian dan pemantauan tersebut menemukan kesimpulan masalah BLT. Pertama, BLT nyatanya tidak mampu mengatasi guncangan ekonomi penduduk miskin akibat kenaikan BBM.
Dalam penelitian ini, semua responden yang menerima BLT mengaku dana tersebut tidak membuat mereka malas bekerja. Alasannya karena dana yang diterima tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dana bantuan yang biasanya dikucurkan tiap dua-tiga bulan, umumnya habis dibelanjakan dalam satu minggu untuk kebutuhan pokok. Alhasil merekapun tak bisa leha-leha dalam waktu lama.
Temuan masalah kedua yakni masih banyak bantuan yang tidak tepat sasaran. Banyak rumah tangga miskin yang seharusnya menerima BLT tapi tidak menerima, atau sebaliknya.
SMERU menyebut masalah disebabkan oleh beberapa hal, yakni: kriteria pemilihan rumah tangga miskin yang tidak tepat, mekanisme pendataan yang tidak menyeluruh karena ada kuota pendataan dan tidak sesuai dengan ketentuan disebabkan oleh nepotisme, integritas pendata dan warga yang didata meragukan, serta database yang tidak diperbaharui.
Ketiga, inilah masalah terbesar dari BLT yakni korupsi dari tingkat pusat maupun RT/RW. Saat pendataan BLT amatlah rentan nepotisme. Ketika pencairan BLT banyak dipotong sana-sini. Ada beberapa macam alasan pemotongan dana yang ditemukan SMERU.
Diantaranya adalah patungan untuk membantu keluarga miskin yang tidak menerima bantuan, membiayai kegiatan masyarakat bersama, pembangunan infrastruktur jalan, acara keagamaan, atau untuk memberi insentif kepada aparat desa.
Untuk konteks pungli ke aparat pemerintahan, masyarakat tidak bisa memastikan apakah potongan tersebut benar digunakan untuk keperluan yang disebutkan atau tidak. Jumlah potongan beragam, dari 10 ribu hingga 165 ribu. Daerah penelitian yang melakukan pemotongan terbesar ditemukan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Demak, penerima rata-rata hanya mendapat 67,8% dan 58,7% dari jumlah kesuluruhan dana yang seharusnya diterima.
Faktor buruknya dari BLT yang keempat adalah rentan memunculkan ketegangan antara masyarakat yang menerima dan tidak menerima. Misalnya seperti yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Meski cenderung negatif, dari penelitian ini didapati bahwa nada minor terkait BLT yang hanya membuat penerima menjadi malas tidaklah terbukti. Karena itu sindiran Djarot yang menyebut dengan hanya memberi "Ikan" membuat rakyat malas terbantahkan.
Meski menuai pro-kontra, The Independent Commission for Aid Impact (ICAI) tetap merekomendasikan bantuan tunai diberikan pada masyarakat miskin. Menurut laporan ICAI bantuan tunai dapat menolong rumah tangga miskin untuk membeli makanan dasar dan dapat mendorong orang untuk menabung. Dalam laporannya, ICAI tidak menemukan bukti bahwa bantuan tunai digunakan untuk berjudi dan membeli alkohol.
Atas dasar itulah, The Department for International Development (DfiD) sampai sekarang tetap loyal menggelontorkan dana hingga 201 juta pound sterling per tahun dan mentargetkan membantu enam juta orang di seluruh dunia melalui skema ini, termasuk kepada ratusan ribu wanita hamil dan ibu muda di Nigeria serta para orang tua di Uganda dan Pakistan yang membolehkan anak-anaknya bersekolah.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar