Menuju konten utama

Menanti Pembasmi Demam Berdarah dari Yogyakarta

Cakupan ujicoba bakteri Wolbachia—yang diyakini dapat memutus epidemi demam berdarah di dunia—telah diperluas ke tingkat Kotamadya Yogyakarta. Keputusan ini diambil mengingat Kotamadya Yogyakarta merupakan salah satu daerah dengan angka penderita demam berdarah tertinggi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana kelanjutan dari ujicoba ini?

Menanti Pembasmi Demam Berdarah dari Yogyakarta
Tim Eliminate Dengue Project Yogyakarta (EDP-Yogya), Fakultas Kedokteran UGM menitipkan telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia pada rumah-rumah warga. [ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko]

tirto.id - Nyamuk adalah binatang yang paling mematikan di dunia. Hal ini bukan hanya bualan atau canda semata. Tokoh sekaliber pendiri Microsoft seperti Bill Gates pun mengamininya. Gates mengunggah infografis berjudul “World's Deadliest Animals” di Twitter-nya pada 29 April 2014. Dalam infografis tersebut---yang datanya disarikan dari laporan WHO dan FAO-- nyamuk tercatat telah mengakibatkan kematian sekitar 725.000 jiwa tiap tahunnya. Angka itu jauh lebih banyak dibandingkan ular (50.000), anjing (25.000), dan lalat Tsetse (10.000).

Fatalnya, keberadaan nyamuk bagi manusia terjadi karena serangga kecil ini menjadi pembawa berbagai penyakit berbahaya seperti malaria, demam berdarah, hingga yang terbaru, Zika. Hal tersebut membuat berbagai negara dan lembaga kesehatan internasional bertahun-tahun telah bergulat untuk menemukan cara mengatasi penyakit-penyakit tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut terlibat ke dalam inisiatif internasional ini.

Pembasmian demam berdarah dengan Wolbachia

Indonesia sebagai salah satu daerah tropis dengan populasi nyamuk tinggi telah menjadi tuan rumah bagi proyek “Eliminate Dengue”.

Proyek “Eliminate dengue” merupakan kolaborasi penelitian internasional yang dipimpin oleh Profesor Scott O'Neill, Dekan Fakultas Sains di Monash University Australia. Proyek ini didanai oleh beberapa pihak, seperti Bill and Melinda Gates Foundation, pemerintah federal Australia, pemerintah negara bagian Queensland, serta Yayasan Tahija dari Indonesia.

“Eliminate Dengue” di Indonesia dipusatkan di kota Yogyakarta melalui kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dipimpin oleh Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., M.P.H., Ph.D . dari Fakultas Kedokteran UGM. Bill Gates bahkan sempat mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi tempat uji coba proyek ini dalam kedatangannya ke Yogyakarta pada 5 April 2014 lalu.

Proyek “Eliminate Dengue”menggunakan bakteri Wolbachia untuk mematikan virus dengue secara alamiah di dalam tubuh sang nyamuk. Logika kerjanya sederhana: dibandingkan membunuh nyamuk demam berdarah yang populasinya susah dikontrol, lebih baik menggunakan nyamuk tersebut sebagai solusi pemberantasan penyakit.

Metode Wolbachia dilakukan dengan melepas nyamuk-nyamuk betina yang sudah disuntik dengan bakteri Wolbachia. Nyamuk-nyamuk betina ini diharapkan akan kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti jantan liar sehingga menghasilkan keturunan yang mengandung Wolbachia. Dikutip dari situshttp://www.eliminatedengue.com/indonesia, bakteri Wolbachia tidak akan menurun secara genetis jika disuntikkan ke nyamuk jantan.

Bakteri Wolbachia merupakan bakteri yang sangat agresif. Ia dapat menghambat penetasan telur nyamuk dalam kondisi lingkungan tertentu. Ia juga dapat memperpendek masa hidup serangga yang menjadi inangnya. Wolbachia mampu memasuki sel-sel hewan inangnya dan bermukim di dalamnya. Wolbachia selanjutnya dapat berinteraksi bahkan memanipulasi komponen-komponen sel yang menjadi "rumahnya". Sifat inilah yang dimanfaatkan untuk mematikan virus demam berdarah di dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti.

Di sisi lain, Profesor Scott O'Neill selaku kepala pimpinan proyek internasional ini dalam scientificamerican.com menjabarkan, Wolbachia tidak memiliki efek samping tertentu baik bagi lingkungan maupun manusia. Wolbachia tidak berpotensi untuk ditularkan kepada manusia, karena ukuran Wolbachia terlalu besar untuk berpindah dari ludah nyamuk ke aliran darah manusia saat nyamuk tersebut menggigit manusia

Potensi yang dimiliki oleh Wolbachia telah diakui oleh lembaga World Health Organization (WHO). Seperti dilansir laman www.ristekdikti.go.id, WHO pada Maret 2016 mengeluarkan pernyataan bahwa Wolbachia merupakan teknologi baru yang menjanjikan untuk menekan replikasi virus dengue, chikungunya, dan zika dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.

Harapan dari Yogyakarta

Proyek Eliminate Dengue Indonesia dimulai pada September 2011. Menurut prof Adi Utarini selaku kepala program di Indonesia, inisiatif program ini dimulai oleh Yayasan Tahija. Yayasan ini kemudian menjalin komunikasi dengan Monash University yang menjadi salah satu universitas pusat penelitian penyakit tropis dunia. Pertemuan ini melahirkan kesepakatan untuk menggandeng UGM sebagai mitra universitas di Indonesia.

Program pendahuluan dari Eliminate Dengue diinisiasi di kabupaten Bantul dan Sleman pada 2011. Sejak 2014, EDP Yogya melakukan pelepasan terbatas nyamuk ber-Wolbachia di Sleman yang dilaksanakan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Karangtengah dan Ponowaren, Desa Nogotirto dan Dusun Kronggahan 1 dan Kronggahan 2, Desa Trihanggo.

Pada 2015, EDP-Yogya kembali melakukan pelepasan terbatas di Bantul. Pelepasan menggunakan telur nyamuk ber-Wolbachia ini dilakukan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Jomblangan, Desa Banguntapan dan Dusun Singosaren 3, Desa Singosaren.

Penentuan wilayah-wilayah tersebut didasarkan kepada dua pertimbangan: faktor geografis dan sejarah daerah tersebut sebagai wilayah endemis demam berdarah. Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang luas wilayah maupun kondisi geografisnya memungkinkan tim melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia. Wilayah-wilayah ini biasanya dihuni antara 700-1200 kepala keluarga yang secara fisik terpisah dari pemukiman lainnya baik oleh jalan, hutan atau lahan pertanian.

Prof Adi memaparkan, ada dua metode berbeda yang digunakan oleh timnya. Di daerah Bantul, tim memilih untuk melepas telur nyamuk yang diletakkan di ember dan dilapisi kain flanel kecil di tiap rumah penduduk. Setiap dua minggu sekali, ember akan diganti. Nyamuk selanjutnya akan menetas dan keluar dari lubang-lubang pada flanel tersebut.

Di Sleman, metode ini dilakukan dengan melepaskan nyamuk dewasa selama dua puluh minggu berturut-turut. Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 80 persen dari nyamuk di wilayah tersebut sudah mengandung Wolbachia.

“Setelah itu baru pada langkah ketiga yang sebetulnya ingin kita buktikan, apakah kalau sudah cukup tinggi frekuensinya apakah kasus demam berdarahnya menurun,” ujar prof Adi. “Paling tidak tiga tahun lagi baru kita betu-betul memperoleh bukti-bukti yang kuat, bahwa teknologi ini betul-betul bisa menurunkan kasus demam berdarah,” lanjutnya.

Pada tahun ini, percobaan nyamuk Wolbachia mulai memasuki wilayah kotamadya Yogyakarta. Wilayah ini dipilih karena memiliki angka penderita demam berdarah yang cukup tinggi.

“Gambaran situasi demam berdarah di Kota Yogyakarta, DBD 2016 sampai Agustus sudah ada 1.102 kasus dengan tujuh kematian. Kasus terbanyak absolute di Rejowinangun, Tegalrejo, Kricak, dan Baciro. Insiden ratenya, kasus dibandingkan jumlah penduduk, tertinggi di Kota Baru, Tegalrejo, Notoprajan dan Rejowinangun. Jadi peletakan nyamuk di wilayah tegalrejo ini pas, karena kasus DBD selalu tertinggi di kota Yogyakarta,” papar Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Dr. Vita Yulia kepada tirto.id.

Demi mengantisipasi hal ini, Eliminate Dengue Program mengaku akan menyebarkan sejumlah nyamuk Wolbachia di kawasan Kota Yogyakarta.

“Mulai agustus 2016 hingga pertengahan 2017 nanti, secara bertahap akan dititipkan sekitar 6.000an ember berisi telur nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia di sebagian rumah warga kota yogyakarta yang terpilih dan bersedia. Harapannya dalam kurun waktu tertentu, nyamuk ber-wolbachia akan kawin dengan nyamuk setempat dan menghasilkan keturunan ber-wolbachia dan menghambat penularan DBD ke manusia,” papar peneliti utama EDP-Yogya Prof. Adi Utarini kepada Tirto.id.

Kelurahan-kelurahan di Yogyakarta yang dilibatkan dalam uji coba ini antara lain Kricak, Pakuncen, Patangpuluhan, Tegalrejo, Wirobrajan, dan Bener. Persebaran nyamuk Wolbachia selanjutnya akan dilakukan pada 1500 titik yang berarti akan ada 1500 ember berisikan 60-100 telur nyamuk. Jarak tiap ember adalah 50 meter dengan lokasi rumah tempat peletakan akan dipilih secara acak.

Prof Adi menyatakan, setiap dua minggu, ember berisi nyamuk akan diganti dengan telur baru beserta air dan pelet untuk dikonsumsi jentik nyamuk dalam periode 16 minggu ke depan. Setelah ember selesai dibagikan, imbuhnya, peneliti akan menunggu beberapa bulan hingga populasi nyamuk aedes aegypti ber-Wolbachia di wilayah tersebut sudah mencapai lebih dari 60%.

dr. Sjakon Tahija dari Yayasan Tahija mengaku, fase pelepasan nyamuk di kota Yogyakarta ini merupakan fase ketiga. Ia menyatakan, tim berani untuk memasuki fase ini karena fase 1 dan 2 yang menguji efektivitas dan keamanan metode ini telah berhasil dilewati.

Tim peneliti menyatakan, metode pelepasan telur nyamuk yang digunakan di Kota Yogyakarta adalah sama dengan metode di Bantul. Namun, terdapat sedikit variasi di dalam pelepasan di Kota Yogyakarta.

“Inovasi yang kami lakukan di Kota [Yogyakarta] adalah memperpendek masa peletakan telurnya, di Bantul siklus dua belas kali, nah di sini kami merencanakan masa peletakan hanya delapan kali dengan hasil yang diharapkan bisa sama dengan yang sudah terjadi di Bantul,” bebernya.

Perubahan masa peletakan telur ini dilakukan tim untuk makin mengefektifkan metode nyamuk Wolbachia hingga siap digunakan di masa depan.

“Jadi, dari 12 menjadi 8 kali kita ingin bergerak dari penelitian teknologi yang akan makin mudah sehingga pada akhirnya bisa diadopsi oleh program, antara lain massa kita peletakkan telur dengan monitoring yang sama dengan hasil yang harapannya juga sama. Tanpa mengubah yang sudah diperoleh, malah justru diharapkan bisa lebih baik, dengan cara lebih efisien. Sebagai tim peneliti juga harus bisa berfikir jika teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk mengintervensi skala luas maka kita harus mencapai titik di mana teknologi ini cukup murah dan dapat dilanjutkan oleh pemerintah, “ papar prof Adi.

Dalam percobaan tahap sebelumnya, tingkat efektivitas metode Wolbachia ini cukup baik. Pemantauan yang dilakukan tim menunjukkan bahwa dalam 1 hingga 2 tahun belakangan ini, sebagian besar nyamuk aedes aegypti di daerah-daerah ujicoba telah mengandung Wolbachia. Hal ini menunjukkan, nyamuk Wolbachia sukses bertahan di habitat alami.

Dari sisi penyebaran penyakit demam beradarh, hasil yang ditunjukkan juga cukup memuaskan.

“Sampai saat ini di empat wilayah ini tidak terjadi penularan setempat kasus demam berdarah. Penularan setempat artinya setiap ada kejadian demam berdarah selama dua minggu kami pantau dalam radius dua ratus meter apakah ada kasus yang berikutnya, di empat wilayah itu tidak ada penularan kasus setempat dari demam berdarah ini. Ada faktor mobilitas penduduk yang cukup tinggi, sehingga kemungkinan kena DB masih bisa, tetapi kemudian tidak menimbulkan penularan setempat,” ujar Prof Adi.

Tim EDP juga berharap supaya hasil penelitian mereka dapat diaplikasikan untuk menangani penyakit-penyakit yang dibawa oleh nyamuk lainnya, khususnya virus Zika yang saat ini menjadi ancaman terbaru.

“EDP Global menunjukkan bahwa sekalipun teknologi wolbachia untuk penyakit dengue, di lab diteliti bahwa wolbachia juga dapat menekan perkembangan virus zika di tubuh nyamuk. WHO dan PAHO sudah direkomendasikan semacam pelepasan berskala luas terutama di negara-negara Brazil, yang di sana virus zika cukup hebat. Yang kami lakukan di sini, ada dua hal, pertama dilakukan screening, kita men-screening telur nyamuk bahwa sudah bebas dari dengue, cikungunya, dan zika. Ini inovasi yang dilakukan di kota Yogya,” pungkas Prof Adi.

Keberhasilan penelitian Wolbachia ini tentu saja dapat membawa angin segar dalam perang melawan demam berdarah dan penyakit-penyakit yang ditularkan lewat nyamuk lainnya. Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya dari penelitian ini di masa depan.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Putu Agung Nara Indra & Mutaya Saroh
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti