Menuju konten utama

Menangguk Untung dari Comic Con

Indonesia menjadi salah satu tujuan favorit bagi acara Comic Convention. Beberapa gelaran Comic Convention berskala besar diselenggarakan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana antusiasme publik Indonesia dalam menyambutnya?

Menangguk Untung dari Comic Con
Orang berjalan melewati sebuah boneka tiup raksasa disajikan selama Comic-Con di Shenzhen, Provinsi Guangdong, Cina, 23 Juli 2016. [Antara Foto/Reuters/Stringer]

tirto.id - Danistya biasanya menghabiskan akhir pekannya dengan nongkrong di mal. Namun, hari itu, (01/10/2016), ia ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Pegawai swasta di salah satu perusahaan multinasional di bilangan Kedoya Selatan itu memilih untuk pergi ke Indonesia Comic Con (ICC) di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan.

“Aku mau cari komik V for Vendetta,” kata Danistya kepada tirto.id.

V for Vendetta menjadi salah satu novel grafis paling populer di dunia yang ceritanya ditulis oleh komikus kenamaan Alan Moore dan ilustrasinya ditangani oleh David Lloyd.

V for Vendetta berkisah tentang sosok bertopeng yang membunuhi politisi-politisi korup di Inggris versi dystopian. Topeng V bahkan menjadi salah satu ikon perlawanan dan kerap dipakai di tengah-tengah demonstrasi-demonstrasi besar di seluruh penjuru dunia.

Ia memaparkan, Indonesia Comic Con yang berlangsung antara 1 - 2 Oktober itu didatangi oleh pengunjung dari beragam usia. "Ada yang masih balita, ada yang umur 30an, ada yang 40an, banyak sih," pungkasnya.

Danistya beruntung hari itu. Ia tidak hanya sukses mendapatkan komik V yang sekarang mulai langka, namun juga topeng V yang sangat ikonik itu.

“Kemarin, dapatnya di Kinokuniya. Dijual satu paket : komik plus topengnya,” ujarnya. Ia mengaku, beberapa stand di ICC memang menyediakan komik-komik langka, khususnya di Kinokuniya dan Elex Media Komputindo.

“Tapi aku lihat stand komik malah sedikit. Yang banyak malah mainan, kaos, merchandise. Tapi ada juga stand khusus komikus-komikus Indonesia yang eksis di Instagram,” akunya.

Danistya—yang merupakan penggemar berat komik Tintin—cukup sumringah saat dirinya bertemu dengan Komunitas Tintin Indonesia yang juga sedang berkunjung ke ICC. Mereka langsung saling mengenali karena sama-sama mengenakan atribut khas tokoh komik ciptaan Herge itu.

“Padahal aslinya aku pengen ketemu sama Maghfirare. Untung akhirnya bisa ketemu juga hehehe,” kelakarnya. Maghfirare adalah nama alias dari Adelia Maghfira, salah satu komikus muda Indonesia yang cukup populer di Instagram.

Comic Con di Dunia

Comic Con adalah sebutan bagi acara yang menjadi tempat berkumpulnya para pencinta budaya populer, khususnya yang berkaitan dengan komik, kartun, anime, mainan, video games dan cosplay (costume player). Belakangan, Comic Con menjelma menjadi sebuah merek dagang tersendiri untuk menyebutkan acara-acara sejenis. Sebenarnya ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut acara serupa, seperti misalnya geek/otaku convention.

Comic Con berawal pada musim panas, 21 Maret 1970, saat tiga orang penggila segala hal yang berbau science fiction—Shel Dorf, Ken Krueger, dan Richard Alf—bertemu dan membuat sebuah konferensi kecil-kecilan (minicon) di kota San Diego. Pertemuan itu diselenggarakan di US Grant Hotel, sebuah hotel yang terletak di dekat pusat kota.

Acara yang saat itu disebut sebagai “San Diego’s Golden State Comic-Minicon”dilaksanakan untuk menggalang dana serta dukungan untuk menyelenggarakan pertemuan yang lebih besar.

Belakangan, pertemuan ini terbukti berhasil. Para inisiator akhirnya berhasil membuat pertemuan yang lebih besar pada 1 -3 Agustus 1970 di tempat yang sama. Sekitar 300 orang tamu hadir ke acara yang saat itu dilangsungkan di ruang bawah tanah hotel, dengan menampilkan beragam acara seperti pemutaran film, stand khusus komik, seminar, dan lain sebagainya.

Para inisiator acara sejak awal sudah mencanangkan bahwa Comic Con bukanlah acara khusus komik saja, namun melibatkan produk-produk budaya populer lainnya yang mereka sukai sekaligus perlu diperkenalkan secara lebih luas.

Comic Con edisi pertama juga melibatkan film-film dan karya sastra bertemakan science-fiction serta mengundang para dedengkotnya seperti Ray Bradbury, Jack Kirby, dan E. Van Vogt. Setelah beberapa kali mengalami pergantian nama, akhirnya sejak 1995, ajang non-profit ini resmi dinamakan “Comic-Con International: San Diego (CCI)”.

Ajang Comic Con kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, seperti Perancis, Kanada, Belanda, serta ke negara dengan perkembangan budaya populer yang sangat pesat : Jepang. Di sisi lain, Comic Con baru masuk ke wilayah Asia Tenggara sejak dua tahun terakhir, yang diawali oleh Bangkok Comic Con di Thailand pada 2014, serta Indonesia Comic Con dan Jakarta Comic Con pada 2015.

Popularitas Comic Con di berbagai negara yang sangat tinggi ditandai oleh banyaknya pengunjung yang datang. Angkanya bahkan bisa menyentuh ratusan ribu pengunjung.

The Richest melansir data bahwa Gamescom yang dihelat di Koln, Jerman, misalnya, mampu menarik hingga 335.000 pengunjung. Sementara itu, Comiket (Comic Market) yang dihelat di Tokyo dua kali dalam setahun, mampu membukukan angka pengunjung hingga 590.000 orang.

Tingginya popularitas Comic Con di seluruh penjuru dunia membuat ajang ini kerap dimanfaatkan oleh industri-industri kreatif dan showbiz untuk mempromosikan produknya. Rumah-rumah produksi besar Holywood misalnya, kerap menjadikan Comic Con untuk meluncurkan trailer dari film-film atau serial terbaru mereka seperti Iron Man, The Avengers, Deadpool hingga Arrow. Sebagai contoh, trailer dari serial The Walking Dead Season 5 yang dirilis di Comic Con mampu menarik 10 juta pemirsa di Youtube.

Berbeda dengan di Amerika Serikat atau negara-negara lainnya, fenomena Comic Con adalah sesuatu yang baru di Indonesia. Ajang-ajang seperti ini baru mulai muncul dalam beberapa tahun terakhir, seperti Pakoban di Bandung, Mangafest di Yogyakarta, dan belakangan, Jakarta Comic Con serta Indonesia Comic Con.

Acara-acara sejenis Comic Con di Indonesia biasanya dimulai lewat inisiatif dari komunitas-komunitas pencinta budaya populer Jepang atau Amerika. Inisiatif ini biasanya dibangun dari akar rumput dan acara dimulai dalam skala kecil.

Meningkatnya popularitas acara-acara semacam ini membuat tuntutan untuk membuat acara dalam skala besar mulai muncul. Akhirnya, penyelenggaraan acara-acara ini mulai melibatkan pihak event organizer (EO).

Jakarta Comic Con dan Indonesia Comic Con merupakan contoh acara yang digelar oleh EO. Bahkan, EO dari kedua acara ini berkelas internasional. Jakarta Comic Con digelar oleh BEC-Tero True Visions asal Thailand—yang juga menyelenggarakan Bangkok Comic Con-- sedangkan Indonesia Comic Con diselenggarakan oleh Reed Exhibitions yang bekerja sama dengan Panorama Groups.

Industri yang Menjanjikan

Comic Con menjadi ajang bertemunya produsen dan konsumen dalam ranah industri budaya populer. Beberapa komoditas yang menjadi andalan selama ini antara lain : komik, mainan, anime, dan memorabilia/kostum. Comic Con selanjutnya menjadi sarana yang potensial bagi para produsen untuk menangguk keuntungan mengingat para pengunjung acara biasanya berasal dari kelas menengah yang memiliki daya beli cukup tinggi.

Sebagai contohnya, komoditas mainan merupakan salah satu ceruk pasar yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data NPD Group, nilai penjualan mainan dunia dalam kurun waktu 2007 hingga 2012 tercatat berada dalam kisaran 75 – 85 miliar dolar Amerika Serikat dengan angka yang selalu naik dari tahun ke tahun.

Nilai produksi industri mainan di Indonesia sendiri juga cukup menjanjikan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, nilai industri alat permainan Indonesia mencapai angka 16,36 miliar rupiah pada 2010; naik menjadi 54,73 miliar rupiah (2011); turun drastis ke 29,27 miliar rupiah (2012); dan kembali melesat menjadi 114,02 miliar rupiah pada 2013.

Nilai industri mainan anak-anak, sebaliknya, cenderung selalu naik: 1.890,56 miliar rupiah pada 2010; 2.232,65 miliar (2011); 2.413,39 miliar (2012); dan 2.845 miliar pada 2013.

Para pemangku kepentingan di Indonesia harus segera menyadari besarnya potensi industri ini, sehingga produk-produk budaya populer Indonesia tidak kalah oleh karya negara lain.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI KREATIF atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Hobi
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti