tirto.id - Pernahkah anda membaca judul sebuah kabar seperti “Astaga Seekor Gajah Memperkosa Badak” atau “Wow pria ini memakan rumput teki sambil mengerjakan rumus fisika,” atau judul-judul lain bombastis yang menggugat nalar dan memicu rasa penasaran Anda?
Kabar semacam ini kerapkali tak merepresentasikan kenyataan, apalagi kebenaran. Sebagian malah secara sengaja diciptakan demi mengejar perhatian, termasuk di Indonesia. Contoh hoax yang relatif baru dan cukup viral misalnya soal seorang pria bernama Ulin Yusron yang dituduh menyamar sebagai Amalia Ayuningtyas, pemimpin Teman Ahok.
Menariknya, dalam penelusuruan yang dilakukan oleh Washington Post dan New York Times, diketahui bahwa penulis berita bohong kini menjadi profesi yang menggiurkan, jauh lebih menggiurkan dibanding jadi penulis atau wartawan betulan.
Abby Ohlheiser, reporter Washington Post di D.C mengatakan seorang penulis berita palsu bisa memperoleh penghasilan lebih dari $10ribu atau setara Rp135 juta per bulan. Ini berdasarkan pengakuan dari Paul Horner, seorang penulis berita palsu di Facebook. Selain Paul, Buzzfeed juga melaporkan sekelompok remaja Macedonia yang melihat berita palsu sebagai peluang bisnis. Mereka membuat beberapa situs yang bisa menghasilkan $5.000 per bulan.
Bagaimana mereka mendapatkan uang?
Sederhananya, setiap Anda mengunjungi situs berita palsu, kunjungan Anda akan mendatangkan trafik. Trafik yang tinggi akan mengundang orang untuk mengiklan. Google akan menilai bagaimana performa situs tersebut berdasarkan kunjungan dan durasi membaca. Semakin banyak pengunjung, tentu semakin besar pula kansnya mendapatkan kue iklan.
David Carroll, dosen pada The New School dan pakar periklanan mengatakan, saat ini tiap orang bisa membuat situs berita, membuat konten, dan menyebarkannya. Setiap berita yang viral akan mengundang pengunjung baru dan setiap pengunjung baru adalah modal.
Dulu, orang mencari berita melalui Google. Mesin mencari itu akan memberikan alternatif pilihan berita kepada Anda. Namun dengan munculnya media sosial, Twitter dan Facebook menjadi kanal yang secara aktif mengumpankan berita-berita dan artikel yang Anda cari. Masalahnya, banyak 'media' ini tidak bisa diuji integritasnya. Belakangan malah banyak orang memanfaatkan Twitter dan Facebook sebagai medium untuk menyebarkan propaganda dan hoax.
Laura Sydell dari NPR memutuskan untuk mencari tahu dan berhasil mewawancarai pembuat berita palsu. Dengan bantuan John Jansen, kepala insinyur sebuah perusahaan teknologi di Berkeley, Master-McNeil Inc, ia berhasil menemukan orang yang berada di balik pemilik situs-situs hoax.
Sydell dan Jansen bekerja berdasarkan pencarian digital. Mereka melacak pemilik situs-situs seperti InDenverguardian.com, NationalReport.net, USAToday.com.co, dan WashingtonPost.com.co. Hasilnya, mereka menemukan pemilik situs-situs ini memanfaatkan teknologi blog sederhana seperti WordPress untuk membuat situs palsu tersebut.
Mereka lantas melacak siapa pemilik blog tersebut, siapa yang menyewa server untuk situs tadi, sampai kemudian pencarian mereka menghasilkan nama Jestin Coler, seseorang yang mengaku sebagai penulis situs berita palsu. Dari halaman LinkedIn, ditemukan alamat dan pekerjaan dari Jestin Coler adalah pendiri dan CEO dari perusahaan yang disebut sebagai Disinfomedia. Coler sendiri tinggal di pinggiran Los Angeles. Saat ditemui, ia menolak mengaku sebagai pemilik Disinfomedia, namun beberapa jam kemudian ia mau ditemui dan bersedia diwawancarai.
Pelacakan ini dramatis, namun wawancaranya dengan Laura Sydell lebih dramatis lagi. Coler menyebut ia telah membuat situs berita palsu sejak 2013. Awalnya, ia membuat situs berita palsu untuk disebarkan di kanal-kanal kalangan ekstrem kanan Alt-Right untuk kemudian ditunjukkan bahwa kabar-kabar itu palsu. Ia sendiri begitu kagum dengan kepolosan dan kenaifan orang-orang konservatif di Amerika. Mereka dengan mudah menyebar berita bohong hanya berdasarkan judul tanpa repot melakukan verifikasi.
Lucunya, Coler mengatakan kantor beritanya berulang kali mencoba membuat berita palsu untuk kelompok liberal demokrat, tapi ternyata susah menjual kebohongan kepada kalangan ini.
Perusahaan Coler yang bernama Disinfomedia itu memiliki banyak situs palsu. Ia menolak menyebutkan jumlahnya, namun ia memiliki satu tim penulis yang digerakkan untuk menulis berita palsu. Salah satu berita palsu yang mereka buat adalah tentang agen FBI yang diduga dibunuh karena membocorkan email Hillary Clinton. 'Berita' ini dibaca lebih dari 1,6 juta kali.
Coler mengatakan, orang-orang ini mau memamah kebohongan yang dibikinnya karena tingkat pendidikan dan afiliasi politik membentuk watak seseorang. Banyak orang tidak terdidik pendukung konservatisme percaya teori konspirasi. Sebaliknya, kelompok liberal telah memiliki filter untuk mengenali berita palsu berdasarkan judulnya.
“Mereka mau mendengar hal semacam ini,” kata Coler tentang kalangan konservatif. Jadi, ia menulis cerita palsu, kota palsu, nama palsu, untuk kemudian dijadikan berita palsu. Hasilnya: laris manis tanjung kimpul.
Fenomena ini semakin runyam karena adanya filter bubble. Para pembuat situs berita palsu ini menggantungkan hidup dari kenaifan dan kemalasan pembacanya. Mereka percaya jika seseorang berpikir kritis dan terbuka, mereka jadi tak akan mudah termakan gosip apalagi berita palsu.
Horner, spesialis pembuat hoax di Facebook, menyebut usaha Mark Zuckerberg untuk menghapus konten hoax akan mengancam kehidupannya.
Tapi menariknya Horner beranggapan bahwa para pembuat berita dusta akan menemukan bentuk baru untuk dieksploitasi. Ia berpendapat selama pembuat kabar palsu bisa beradaptasi, maka tak ada satupun teknologi yang bisa menghentikan penyebaran hoax. Misalnya, jika mereka selesai menggarap isu politik, mereka bisa menggarap isu-isu agama. Tak sedikit orang yang dengan mudah menyebarkan hoax yang dibalut dengan label agama.
Wisnu Prasetya Utomo, peneliti media dari Remotivi, mengatakan kemunculan hoax salah satunya disebabkan adanya media besar yang partisan.
“Ada gejala orang semakin tidak percaya pada media arus utama. Biasanya ini disebabkan karena media-media arus utama punya agenda sendiri seperti bisa dilihat dari framingnya yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini oleh orang-orang tertentu,” katanya. Kondisi tadi memunculkan keresahan dan rasa marah, orang-orang lantas mencari situs alternatif yang sesuai keyakinan mereka.
“Sayangnya, media alternatifnya justru media abal-abal itu,” lanjut Wisnu.
Di Indonesia, kelompok masyarakat religius kerap jadi korban berita hoax soal agama. Misalnya postingan tentang anak durhaka yang menjadi ikan atau berita tentang tanda-tanda kiamat.
“Itu karena sebagian orang masih punya kepercayaan terhadap hal-hal magis yang nggak masuk nalar. Itu susah dijelaskan dengan rasionalitas. Tapi kalau isu politik, sederhana. Karena di era post-truth macam sekarang orang lebih percaya pada persepsi ketimbang fakta. Jadinya hoax mudah menyebar,” jelas Wisnu.
Pada 14 September lalu, Gallup merilis survei yang menunjukkan adanya penurunan kepercayaan terhadap profesi wartawan oleh publik di Amerika Serikat. Hanya 32 persen yang percaya bahwa jurnalis Amerika hari ini bekerja dengan baik. Angka ini merupakan yang level kepercayaan terendah dalam sejarah. Profesi wartawan yang dulu sangat dianggap menjunjung tinggi integritas turun karena dianggap sektarian dan partisan. Hal serupa juga muncul di Selandia Baru dan Inggris.
Wisnu sendiri lebih khawatir terhadap situs-situs berita abal-abal yang menyebarkan kebohongan dan provokasi kebencian. Problemnya, pemerintah sepertinya hanya punya strategi blokir dalam menghadapi situasi seperti ini.
“Menurutku, hate speech termasuk kebohongan itu bukan bagian dari kebebasan berpendapat. Hal tersebut justru bisa membusukkan demokrasi yang mestinya didasarkan pada pertukaran ide secara rasional,” kata Wisnu.
Wisnu sendiri menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan regulasi yang telah ada melalui UU Pers dan UU ITE. Ia menolak menggunakan pasal karet yang ada di dalam UU ITE “Media abal-abal itu mestinya gak masuk dalam kategori pers. Apalagi ada UU ITE. Daripada dipakai buat mengkriminalisasi orang-orang kritis, UU ITE mestinya dipake buat situs penyebar hoax ini,” katanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani