Menuju konten utama

Membeli Atlet demi Gengsi

Sejak 90-an, gengsi kedaerahan PON sudah tak lagi terpatri pada para atlet. Mereka lebih memilih mutasi daerah demi kehidupan layak. Momentum ini dimanfaatkan daerah yang tak mau berusah payah membina atlet. Dua hal inilah yang kemudian membuat PON keluar dari khittahnya.

Membeli Atlet demi Gengsi
Panitia memasang skor hasil pertandingan hari pertama Golf nomor Perorangan Putra PON XIX di lapangan Giri Gahana Golf Sumedang, Jabar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Ada rasa gelisah dalam benak Imam Tauhid Regananda. Karateka asal Jawa Barat itu beberapa kali terlihat tertunduk lesu saat melihat rekan-rekannya berprestasi di ajang PON XIX Jawa Barat. Imam memang sering terlihat di arena venue di GOR Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Kota Bandung. Namun, ia hanya bisa duduk di bangku penonton, sementara rekan-rekannya sibuk pemanasan dan bertanding.

Sungguh sayang Imam tidak bisa tampil di PON. Imam adalah atlet pelatnas yang sering membawa harum nama Indonesia di kejuaraan karate internasional. Bagi Jabar, tidak turunnya Imam adalah kerugian karena ia kandidat kuat peraih emas pada nomor kumite -60 kg putra.

Imam gagal bertanding karena terlibat dalam sengketa atlet antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Imam dulunya memang berasal dari Jateng, tetapi kemudian "dibajak" Jabar. Ia diajak berdomisili di Jabar sejak 2013 lalu. Uang insentif saban bulan diberikan dengan dalih uang pembinaan. Pada PON kali ini, Imam didaftarkan masuk dalam kontingen Jabar. Tidak terima, Jateng pun menggunggat.

Kekacauan semakin menjadi setelah Dewan Hakim PON XIX mengeluarkan dua putusan yang bertentangan: putusan pertama memenangkan klaim Jawa Barat, sedangkan yang kedua berpihak kepada Jawa Tengah. Dua putusan ini hanya berselang dua hari. Putusan akhir yang jadi acuan, Imam tidak bisa turun di PON.

Selain berpegang pada surat keputusan Dewan Hakim terbaru, tak diperbolehkannya Imam tampil karena tidak sesuai dengan SK yang dikeluarkan PB FORKI. Seperti diketahui, seluruh karateka peserta PON XIX/2016 yang bertanding harus sudah disahkan melalui SK PB FORKI. Dalam SK PB FORKI tersebut, nama Imam Tauhid tidak tercantum.

Apa yang menimpa Imam, terjadi juga pada atlet panjat tebing, Tonny Mamiri. Dia pun juga disengketakan oleh Jabar dan Jateng. Pada perebutan Tonny, lagi-lagi Jabar harus kalah.

Apa yang menimpa Imam dan Tommy adalah hasil dari keegoisan tiap daerah saat PON digelar. Pembajakan atau transfer atlet kini jadi sesuatu hal yang dibenarkan. Tolak ukur PON adalah medali. Soal menang dan kalah.

Gengsi kedaerahan yang kelewat batas membuat semua hal diterabas. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh provinsi-provinsi besar seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat atau Jawa Tengah saja. Hampir semua provinsi melakukannya. Hal ini tentu ironis karena sudah amat melenceng dari tujuan mula PON yang digagas Widodo Sastrodiningrat yang pada mulanya sebagai alat menjaring bibit-bibit daerah.

Mereka lebih memilih jalan praktis dengan membajak atlet yang sudah berprestasi ketimbang bersabar memoles bibit-bibit daerah. Mayoritas mutasi atlet memang melibatkan atlet yang sudah mendapatkan medali di Sea Games, Asian Games atau Olimpiade.

Perpindahan mereka pun tidak mudah, selain proses birokrasi yang rumit, transfer juga membutuhkan mahar cukup besar guna melobi agar si atlet dilepas daerah asal. Transaksi dengan istilah meminta “uang pembinaan” pun terjadi.

Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp300 juta. Nominal berkisar Rp200 juta hingga Rp500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jawa Timur. Di antara mereka ada lima atlet boling dari Jawa Barat, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper.

Jatim juga berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp780 juta. Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat mendali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”.

Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas. Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat "dibeli" Jatim sebesar Rp 1 miliar pada 2013 lalu. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Namun, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI).

Untuk mutasi, seorang atlet harus memenuhi syarat-syarat seperti yang tertera dalam aturan Surat Keputusan (SK) KONI Pusat Nomor 56 Tahun 2010 Pasal 12.

Lima syarat seorang atlet agar dapat melakukan mutasi antara lain, mengikuti kepindahan orang tua, mengikuti suami atau istri pindah tugas, mutasi kepegawaian, mutasi karena atlet itu diterima atau pindah ke sekolah/universitas, dan diterima bekerja di provinsi tujuan. Mutasi atlet dari satu provinsi ke provinsi lain harus dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum PON.

Namun, aturan ini sering dikangkangi. Hal ini diakui oleh Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Gatot S Dewa Broto. Dia pun menuturkan dalam waktu dekat Kementrian Pemuda dan Olahraga akan membentuk Peraturan Menteri agar aturan-aturan ini tidak diterabas. “Kami sudah sering dengar keluhan ini. Dalam waktu dekat akan kami buat Permen nya. Dan saya ingatkan ini bukan wacana. Sedang kami godok secara serius. Aturan ini kami buat karena aturan dari KONI sekarang sudah diabaikan,” kata dia kepada tirto.id.

Mutasi atlet tidak bisa dicegah karena banyak faktor. Kehendak pindah provinsi biasanya terjadi karena iming-iming kehidupan yang lebih layak. Eko Yuli misalnya saat membela Kaltim dia dijanjikan diberi mobil, rumah dan pekerjaan, namun itu cuma isapan jempol belaka. Janji-janji itu terealisasi saat dirinya membela Jatim.

Selain itu, faktor bonus besar jadi pemikat. Di DKI Jakarta, Jateng, Jatim, Kaltim atau Jabar, atlet peraih medali diganjar bonus Rp200-500 juta, sedang di provinsi hanya berkisar Rp100-200 juta. Sesuai hukum pasar orang akan cenderung memilih yang nominalnya banyak. Alhasil ketika berbicara PON, maka kita akan berbicara prestasi yang dibeli dengan uang.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti