tirto.id - Pada Januari 2014, Apple berdamai dengan Federal Trade Commission (FTC), YLKI ala Amerika Serikat, dengan bersedia membayar uang senilai $32,5 juta. Pangkal masalahnya, banyak anak-anak, melalui fitur in-app purchases, membeli berbagai produk digital di berbagai layanan Apple, khususnya App Store, tanpa sepengetahuan orang-tua. Akibatnya, orang tua dikagetkan dengan tagihan dari Apple yang tidak mereka ketahui.
Perdamaian dengan FTC, sebut Apple, sebagaimana dilansir BBC, lebih baik dilakukan dibandingkan "melakukan pertarungan melelahkan di meja hijau". Sementara itu, Edith Ramirez, Ketua FTC, menyebut tunduknya Apple sebagai "kemenangan konsumen atas perilaku tagihan Apple yang tak menyenangkan".
Penyelesaian antara Apple dan FTC itu menjadi sangat penting mengingat saat ini sebanyak 56 persen penduduk dunia adalah juga penduduk maya. Anak-anak merupakan bagian di dalamnya. Dalam “What Makes Young Children Active Game Players: Ethnographic Case Study”, Youn Jung Huh menyebut bahwa 83 persen anak-anak usia enam bulan hingga enam tahun menggunakan perangkat digital sebagai bagian kehidupan sehari-hari mereka. Menurut perkiraan, usia tiga tahun adalah “usia matang” bagi manusia memulai perkenalan dengan teknologi. Ini terjadi lantaran tangan manusia telah bisa mengenali berbagai perangkat interaksi dengan komputer, misalnya mouse.
Lalu, dalam “Determining the Effects of Technology on Children” Kristina E. Hatch menyatakan bahwa laptop telah banyak didesain untuk digunakan anak-anak umur enam tahun dan ponsel pintar untuk 10 tahun. Lantas, Hatch, yang menyebut survei yang dilakukan The Kaiser Family Foundation, menegaskan bahwa anak usia 8 hingga 18 tahun setidaknya mengkonsumsi dunia maya rata-rata selama 10 jam dan 45 menit saban harinya.
Anak-anak tetaplah anak-anak. Terkadang, mereka tak paham apa yang dilakukan di dunia maya, berkorelasi langsung dengan dunia nyata. Semisal mengklik “buy” di aplikasi atau game yang pada akhirnya membuat orang tua memperoleh tagihan dari Apple, Google, atau perusahaan lainnya. Sedihnya, sebagaimana dilansir Market Watch, perusahaan internet bahkan menargetkan secara tidak sah anak-anak untuk kepentingan bisnis mereka.
Penelitian yang dilakukan Jenny Radesky, profesor pada University of Michigan, pada 135 aplikasi bertema anak-anak ditemukan bahwa semua mengandung skema iklan di dalamnya. Sayangnya, tipe iklan yang diperkenalkan ialah tipe "kamuflase", yang terlihat seperti game atau permainan menyenangkan bagi anak-anak, tapi jebakan.
“Aplikasi ini secara berkala memikat anak-anak untuk melakukan pembelian dan menonton iklan, meskipun aplikasi-aplikasi ini dipasarkan kepada orang tua sebagai aplikasi yang sesuai untuk anak-anak,” kata Radesky menerangkan.
Huh, masih dalam papernya, menyebut bahwa “anak-anak rentan terhadap manipulasi maya dan intrik pemasaran.
Untuk melindungi anak-anak, dari jebakan-jebakan perusahaan internet dan berbagai kejahatan maya, misalnya perundungan, lahirlah aplikasi parental control.
Parental control merupakan fitur yang tersemat di layanan TV digital, video game, aplikasi komputer, dan perangkat mobile yang memungkinkan orang tua untuk membatasi atau menutup akses pada anak mereka. Dalam “Parental Control and Children’s Internet Safety: The Good, the Bad and the Ugly”, Emmanouil Magkos mengatakan bahwa fitu ini, dalam ranah digital, terpasang pada internet client, yang merupakan bagian terintegrasi pada sistem operasi. Parental control juga dapat terpasang pada proxy internet, bertugas membendung konten-konten tak layak anak.
Parental control, lanjut Magnos, “memungkinkan adanya pengendalian, penyaringan, pemantauan informasi, seperti konten tak bertanggung jawab yang termaktub dalam aplikasi, web, microphone, hingga kamera.”
Parental control bukan barang baru. Pada November 2017, Verizon jadi yang pertama menghadirkan fitur parental control ke dunia teknologi, membatasi akses pada konten sesuai kategori umur. Pada Juni 2009, melalui iOS 3.0, Apple memperkenalkan fitur parental control. Dan melalui paten “US7302272B2” Google memperkenalkan “Cell Phone Parental Control.”
Parental control ala Google itu, dibuat dengan menggabungkan teknologi GPS dan universal remote locator untuk melindungi ponsel dari bahaya maya.
Di toko aplikasi, terdapat cukup banyak pilihan parental control, semisal ESET Parental Control, Kid Place, Norton Family, hingga Kid Zone. Beberapa fitur yang terdapat pada aplikasi parental control misalnya instant lock, yang memungkinkan orang tua memaksa perangkat milik anaknya terkunci. Ada pun parent alerts, fitur yang berfungsi memberitahu orang tua bahwa anak mereka sedang berupaya mengelabui parental control.
Tapi, apakah aplikasi-aplikasi parental control berfungsi dengan baik?
Magkos, masih dalam papernya, menyebut bahwa terkadang aplikasi parental control melakukan perlindungan yang underblocking dan overblocking.
Underblocking ialah situasi di mana aplikasi tidak melakukan atau melakukannya dengan minimum pemblokiran atau pembatasan terhadap konten-konten yang memang mengandung materi negatif bagi anak-anak. Overblocking sebaliknya.
Beberapa aplikasi yang diteliti Magkos misalnya Norton Family. Pada aplikasi ini, Norton melakukan 23 persen overblocking pada konten-konten maya, dan 43 persen underblocking.
Melindungi anak-anak dari bahaya maya sesungguhnya tak terpaku pada aplikasi parental control. Kristina E. Hatch, dalam “Determining the Effects of Technology on Children” menyebut bahwa kini “manusia hidup dalam tempat di mana setiap orang terhubung, setiap saat. Tempat ini ialah tempat baru, yang diciptakan perkembangan teknologi.” Manusia, dalam tempat baru ini, harus mau menyusun ulang norma-norma yang sepatutnya dilakukan.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti