tirto.id - Hanya karena jadi serdadu dan dapat gaji alias uang dari pemerintah Inggris, seperti yang mereka inginkan, Gurkha pun dicap sebagai serdadu bayaran atau marcenary. Padahal mereka tidak berstatus sebagai kontraktor dalam Private Military Company (PMC) alias perusahaan tentara bayaran yang hanya dikontrak jika ada perang. Meski jadi serdadu Inggris demi uang, mereka bukanlah salah satu resimen dalam kemiliteran Inggris. Gurkha punya jenjang karir yang jelas, meski tak satupun dari orang-orang Gurkha itu yang jadi jenderal.
Mereka datang dari pegunungan Nepal, berasal dari beberapa suku yang tinggal di pegunungan itu. Mereka dikenal sebagai kombatan yang gigih sejak ratusan tahun silam hingga Inggris memasukkan mereka ke dalam dinas militer dalam kesatuan khusus, seperti nama suku mereka sejak 1815. Setidaknya Inggris pernah punya satu brigade dan saat ini satu resimen Gurkha. Hingga kini banyak pemuda di sekitar Nepal yang masih sangat ingin menjadi anggota Gurkha. Sebuah kamp khusus seleksi Gurkha bahkan didirikan di Pokhara.
“Kamp Gurkha Inggris di Pokhara adalah tempat untuk semua kegiatan penerimaan di Nepal dan bulan desember […] terdapat 310 pemuda yang dipilih. Dari 310 itu, 230 akan dimasukan ke Tentara Inggris dan 80 ke Gurkha Contingent dalam Paramiliter Polisi Singapura,” tulis situs resmi militer Inggris, www.army.mod.uk.
Usia para pelamar rata-rata antara 17 hingga 21 tahun. Alasan mereka bergabung tak lain uang yang dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan keluarga. Gaji per bulan serdadu-serdadu Gurkha itu paling rendah 1000 poundsterling (sekitar Rp16.350.950) dengan masa dinas minimum 15 tahun. Angka itu akan meningkat seiring usia dinas dan naiknya pangkat. Sementara gaji yang diterima jika jadi anggota Gurkha Contingent paling rendah dalam kisaran 1000 dolar Singapura (sekitar Rp 9,5 juta). Ya, mereka juga ada yang berdinas untuk Singapira, tidak hanya untuk Inggris.
Selain kepada Singapura dan Inggris, ada juga orang-orang Gurkha yang dipekerjakan dalam kemiliteran India dan Nepal. Rata-rata gajinya jauh lebih rendah dibanding dengan Gurkha yang berdinas di militer Inggris dan Kepolisian Singapura.
“Tentara Gurkha bermacam-macam. Yang paling tinggi tingkatannya adalah yang bekerja di British Army, bayarannya selangit. Lalu tentara Singapura, seribuan dolar. Yang paling murah jadi tentara India, hanya 150 dolar. Lebih murah lagi adalah tentara kerajaan Nepal, nyaris gratis,” kata Agustinus Wibowo dalam bukunya Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2013) mengutip keterangan seorang porter di Nepal bernama Dipak.
Menurut John Parker dalam bukunya The Gurkhas: The Inside Story of the World's Most Feared Soldiers (2005), sebanyak 200 ribu orang Gurkha telah berjuang dalam kemiliteran Inggris dan India. Termasuk dalam Perang Dunia I dan II, atau perang-perang lain yang melibatkan Inggris. Termasuk dalam Perang Malvinas. Tentara Argentina disebut-sebut sangat berhati-hati jika bertemu pasukan Gurkha yang mereka anggap tangguh dan tak kenal ampun.
Setelah kemerdekaan India, Gurkha tak hanya jadi bagian militer Inggris saja di luar Nepal, India pun juga punya. Belakangan, dalam kemiliteran Inggris, pasukan dari Resimen Gurkha, yang kini masih mereka miliki, diberdayakan dalam pasukan penjaga perdamaian PBB. Mereka terlibat dalam operasi di negara-negara Balkan, Timor Leste, Sierra Leone, Afganistan dan Iraq.
Meski dianggap sebagai tentara tangguh dan pemberani, dalam situasi damai, orang-orang gunung ini adalah orang yang ramah. “Gurkha memperoleh pujian tinggi karena ketenangan, efisien dan pembawaan bersahabat bagi kedua belah dua pihak. Kehadiran mereka di Syprus, membantu menenangkan situasi yang sangat berbahaya,” tulis E.D Smith dalam Britain's Brigade of Gurkhas (1985).
Selain Nepal, Inggris dan India, yang menjadikan orang-orang Gurkha sebagai tentara, maka Singapura juga memberdayakan orang-orang Gurkha sebagai bagian dari kepolisian Singapura sejak 1949. Singapura punya Gurkha Contingent, sebuah pasukan paramiliter yang mirip Brigade Mobil (Brimob) di Indonesia.
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew begitu takjub pada orang-orang gunung ini. Lee takjub ketika Singapura dalam kerusuhan etnis, di mana polisi dari etnis Melayu menyerang orang-orang Tionghoa dan sebaliknya polisi etnis Tionghoa menyerang orang-orang Melayu.
“Gurkha di sisi lain, netral, selain memiliki reputasi penuh disiplin dan setia,” aku Lee dalam autobiografinya, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew (1998).
Selain Singapura yang mantan jajahan Inggris, Indonesia yang jadi medan Perang Dunia II juga jadi daerah yang didatangi pasukan Gurkha. Tentu saja pasukan Gurkha yang datang pada 1945 itu jadi bagian dari Militer Inggris yang hendak melucuti tentara Jepang yang kalah perang.
Di Indonesia sendiri terjadi salah kaprah di kalangan pejuang terhadap Gurkha. Seorang serdadu Inggris non bule asal India yang biasa memakai tutup kepala (sorban atau ubel-ubel) pun dipukul rata dengan disebut Gurkha. Padahal militer Inggris non-kulit putih bukan hanya berisi Gurkha, juga terdiri dari orang India macam Punjab atau Sikh. Tentara Gurkha biasa memakai topi militer biasa, ubel-ubel biasa dikenakan orang-orang Punjab atau Sikh. Salah kaprah ini terjadi dalam penulisan sejarah revolusi dan roman sejarah terkait revolusi.
Dalam buku kumpulan tulisan berjudul Novel Indonesia Lima Belas Tahun Sesudah Kemerdekaan, 1946-1960, terdapat salah kaprah soal Gurkha ubel-ubel. “Mereka asyik mendengarkan cerita seorang tukang becak dan tukang loak tentang ulah si ubel-ubel (tentara Gurkha) yang sedang mengadakan operasi penggeledahan di Kampung Tanah Tinggi,” tulisnya.
“Saya juga pernah melihat tentara dengan sorban atau ubel-ubel di kepalanya, yaitu tentara Inggris atau sekutu yang berasal dari India. Waktu itu orang-orang menyebut mereka sebagai tentara Gurkha,” tulis Firman Lubis yang melihat salah kaprah di kalangan masyarakat tersebut dalam bukunya Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008).
Lepas dari salah kaprah tersebut, veteran angkatan 1945, R.H.A. Saleh mencatat dalam buku yang ditulisnya terkait Gurkha. “Mereka memiliki pekik tempur yang sangat ditakuti lawan, 'Ayo Gurkhali' yang artinya, 'Gurka datang,” tulis RHA Saleh dalam bukunya Mari Bung, Rebut Kembali! (2000).
Tak hanya dalam revolusi 1945 saja, dalam konfrontasi Dwikora militer Indonesia bertemu lagi dengan Gurkha. Ketika itu Gurkha dikerahkan lagi oleh militer Inggris di Kalimantan. Tentu saja
Pemuda-pemuda Nepal yang jadi pasukan Gurkha itu sadar risikonya. Mereka akan dikirim bahkan mati di belahan dunia lainnya untuk bertempur, setelah terpilih dan meninggalkan Negeri Atap Dunia yang menjadi kampung halaman. Mereka memang siap mati. Baik untuk Inggris atau siapapun yang mempercayai mereka. Meski habis peluru, mereka siap habis-habisan dengan pisau komando mereka, kukri.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS