tirto.id - Presiden kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyampaikan berbagai persoalan penting ketika dirinya menjabat sebagai orang nomor satu di republik ini, salah satunya soal sengketa pulau Sipadan-Ligitan yang melibatkan Indonesia dan Malaysia.
Hal itu disampaikan Mega saat dirinya mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang politik dan pemerintah dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Rabu (25/5/2016).
"Pertama, terhadap sengketa Sipadan dan Ligitan. Mari kita berdialektika. Betulkah Sipadan Ligitan serta merta lepas saat saya menjadi Presiden. Peristiwa apa yang melatarbelakangi Sipadan Ligitan kemudian dinyatakan sebagai wilayah Malaysia," kata Megawati di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad Jalan Dipati Ukur Kota Bandung.
Terkait dengan peristiwa tersebut, Megawati juga mempersilakan para tamu undangan yang hadir untuk mengoreksi jika penjelasan tentang Sipadan Ligitan kurang tepat.
"Di sini ada Menlu Kabinet Gotong Royong, Pak Hassan Wirajuda. Silakan dikoreksi jika yang saya sampaikan ini kurang tepat. Hal ini pernah disampaikan beliau dalam kuliah umum di Universitas Airlangga," kata anak dari mantan Presiden Soekarno ini.
Menurut dia, jika berdasarkan pada Undang-undang (UU) Nomor 4/Perppu/1960 tentang Negara Kepulauan, Sipadan-Ligitan bukan merupakan wilayah Indonesia, dan juga bukan wilayah Malaysia. Oleh sebab itu, kedua negara saling memperebutkan dengan berbagai macam argumentasi.
Ia mengatakan, sengketa kedua pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1967 dan pada tahun 1996 Pemerintah Indonesia menyepakati untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag Belanda.
"Suatu jalan dan cara penyelesaian yang tidak dapat ditarik kembali. Pada tahun 1997, masalah tersebut resmi memasuki proses persidangan," katanya.
Pada saat itu, Megawati selaku Presiden RI langsung memerintahkan Menteri Luar Negeri untuk tetap memperjuangkan agar Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional adalah dokumen dari pihak Malaysia yang membuktikan bahwa Inggris (negara yang menjajah Malaysia dan bagian dari commond wealth) paling awal masuk Sipadan Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu," katanya.
Sedangkan Indonesia, kata dia, dianggap tidak memiliki hak atas wilayah kedua Pulau tersebut karena Belanda (negara yang menjajah Indonesia), hanya terbukti pernah singgah sebentar ke Sipadan Ligitan dan tanpa melakukan apapun.
"Dan putusan Mahkamah Internasional tersebut kebetulan ditetapkan pada tahun 2002 saat saya menjabat sebagai Presiden RI," katanya. (ANT)
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Abdul Aziz