tirto.id - Ketua Dewan Pers Yosep “Stanley” Adi Prasetyo mengatakan bahwa setiap bulan ada saja laporan terkait media yang menyebarkan berita atau artikel palsu alias hoax. “Laporan ini,” katanya, “kita tindak-lanjuti untuk memverifikasi media dan berita yang disebarkan tersebut … [termasuk] dengan mengecek struktur, alamat, dan kontak redaksi.”
Pengaduan yang diterima Dewan Pers sangat beragam. Ada foto rekayasa artis, ada rekayasa cuitan akun Twitter pesohor, ada pula kasus pencemaran nama baik terhadap pemuka organisasi. Ada juga kasus media abal-abal yang menyebarkan kampanye culas, memainkan kerja propaganda, kelewatan partisan, yang berasal dari kedua kubu calon presiden 2014. Tetapi ada pula kasus serius ketika peran Dewan Pers sangat dibutuhkan sebagai mediator.
Laporan dan pengaduan terkait polah media di era internet ke Dewan Pers ini setiap tahun cenderung naik, dan paling banyak terjadi pada 2014 ketika pemilihan presiden telah mendorong intensitas kebohongan dan pemelintiran informasi. “Ada sekitar 800 pengaduan,” kata Stanley.
Dewan Pers dilibatkan dalam koridor bahwa media yang jadi subyek perkara adalah media resmi. Artinya, media tersebut berbadan hukum—nama, alamat, dan penanggungjawabnya tercantum jelas. Bila standar itu tidak ada, sebagian besar kasus itu dilimpahkan menjadi urusan kepolisian. Dewan Pers biasanya diminta untuk memberi saran atau rekomendasi.
Dewan Pers dibentuk pada 1968. Perannya tidak banyak berubah ketika ada perubahan undang-undang di era Soeharto pada 1982: mendampingi dan menjadi penasihat pemerintah, menginduk di bawah Departemen Penerangan. Barulah pada 1999 ketika dikenalkan undang-undang khusus tentang pers, peran Dewan Pers menjadi independen dengan tugas utamanya mengembangkan dan menjadi pelindung kemerdekaan pers.
Stanley terpilih menjadi Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 bersama wakil ketua dan tujuh anggota yang mewakili unsur dari wartawan, pimpinan perusahaan pers, serta tokoh masyarakat dan ahli di bidang pers atau komunikasi plus bidang lain. Sembilan orang ini dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Reporter Tirto, Reja Hidayat dan Arbi Sumandoyo, mewawancarai Stanley di gedung Dewan Pers, Jakarta. Tirto menilai wawancara ini penting dan relevan untuk dirilis karena tiga alasan.
Pertama, kita makin sering kesulitan untuk membedakan mana jurnalisme mana propaganda, mana berita akurat mana berita bohong. Kedua, penting pula membaca pandangan dan kerja Dewan Pers ketika menghadapi institusi di luar pers yang terlibat “menertibkan” urusan pers di Indonesia, misalnya dengan langkah pemblokiran, karena tindakan itu diakomodasi oleh pasal-pasal karet terutama lewat pasal pidana dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketiga, selama 2016, Tirto setidaknya telah menurunkan kedua isu tersebut: tema pemblokiran situsweb oleh pemerintah pada awal November, dan penggambaran situs berita hoax dan propaganda pada pertengahan Desember.
Berikut wawancara Tirto dengan Stanley yang berlangsung dua kali, 13 & 14 Desember 2016.
Tentang Kriteria Berita Hoax
Apa kategori berita atau artikel hoax menurut Dewan Pers?
Kriteria hoax itu ada tiga. Pertama, berita yang dibuat untuk kepentingan tertentu, kemudian disebarluaskan dengan tujuan dan maksud tertentu.
Kedua, ada berita yang mungkin dibuat oleh media tidak profesional dengan kombinasi wartawan yang tidak memiliki kompetensi. Dia tidak paham bagaimana mencari tahu cara verifikasi sehingga berita itu muncul tanpa verifikasi. Media itu pun tidak berbadan hukum.
Ketiga, penyebarannya tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu, tetapi memang media ini tidak proper, beritanya salah, mengambil dari sumber yang tidak kredibel. Celakanya, berita itu diambil orang lain lalu disebarkan.
Bagaimana berita atau artikel dari hasil menyalin, menulis-ulang, membuat framing baru dan judul baru?
Ini masuk ke dalam media untuk kepentingan tertentu. Misalnya, media itu tetap eksis, tetapi karena tidak ada wartawan, dia kutip berita lain, diubah judulnya, diubah lead-nya. Bahkan faktanya dibolik-balik. Padahal penulis dari media itu tidak pernah wawancara. Jadi ini hoax.
Yang tidak memenuhi syarat berita karena wartawan tidak turun ke lapangan. Dia menulis tapi tidak mencantumkan sumbernya. Ini kejahatan, bukan pekerjaan wartawan. Ini harusnya masyarakat yang dirugikan, dan bagi yang mengetahuinya, harus laporkan ke polisi. Polisi akan koordinasikan dengan Dewan Pers dan kita akan laporkan ini sebagai tindakan pidana.
Bagaimana sikap dewan pers soal portal berita hoax?
Kebebasan ini sudah disalahgunakan. Mereka mengatasnamakan pers, tapi motifnya sebagai buzzer dan tim sukses salah satu pasangan. Ada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, dan sisanya menggunakan media seperti ini sebagai alat kejahatan. Menggunakan identitas media sebagai samaran cari duit: datang ke kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah, humas protokoler. Ini tidak boleh.
Dalam waktu dekat, kita akan bertemu dengan Menteri Dalam Negeri untuk meminta seluruh anggaran diawasi secara ketat terutama alokasi untuk media. Bukan tidak mungkin menjadi praktik korupsi.
Apa syarat perusahaan pers disebut portal media resmi?
Sama dengan media pers lain: berbadan hukum, mencantumkan penanggungjawab dan alamat yang jelas, kemudian terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian harus memenuhi syarat perusahaan pers, mendaftar di Dewan Pers. Kalau mendaftar, pertanyaan selanjutnya: menggaji wartawan atau tidak? Mendirikan media tetapi tidak menggaji wartawannya, maka kami akan menyatakan tidak lulus administrasi. Ini menjadi pekerjaan internal bagi media bersangkutan. Poin berikutnya: bersedia menjalankan kode etik jurnalistik.
Kalau pemilik media menandatangani semua dokumen dan mendaftarkan kepada Dewan Pers, kita akan cantumkan dan dia terverifikasi. Media ini akan diakui. Jadi, kalau ada bantuan dan kerjasama lebih mudah. Kalau tidak terdaftar, Dewan Pers tidak bisa membantu.
Kalau salah satu syarat tidak terpenuhi, apakah bisa disebut media resmi, artinya terverifikasi Dewan Pers?
Masuk, tetapi belum memenuhi syarat administrasi. Isinya terpenuhi, tetapi secara keseluruhan belum memenuhi syarat hukum.
Bagaimana, misalnya, pemberitaan soal 'Iron Man' dari Bali? Media ramai memberitakan, tetapi secara sains belum bisa terbukti di Indonesia. Berita itu dilansir tanpa ada verifikasi.
Iya, itu masuk berita hoax. Setiap berita itu, informasinya harus diverifikasi. Itu baru berita. Cuma sebagai informasi bisa saja. Tetapi ia harus diverifikasi. Tidak langsung mengatakan ada orang menemukan dia bisa membuat tangan langsung cangkok ke salah satu saraf motoriknya sehingga dia bisa bergerak dengan tangan robotiknya. Tapi faktanya tidak ada. Tugas wartawanlah melakukan verifikasi informasi tersebut.
Informasi tanpa diverifikasi, tidak bisa jadi berita. Kalau dipasang menjadi berita maka menjadi berita hoax.
Pernah adakah pembicaraan dengan Kementerian soal hoax yang marak ini?
Dua minggu lalu ada pertemuan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Perwakilan dari institusi-institusi itu juga hadir. Kita membahas bagaimana menyelesaikannya, termasuk media online yang enggak jelas itu. Mungkin nanti akan diblokir seluruhnya, kecuali terverifikasi di Dewan Pers. Kalau media-media online terjaring mau serius, silakan minta verifikasi di Dewan Pers. Tapi kebijakan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika), semuanya akan diblokir jika tidak terdaftar berbadan hukum dan di Dewan Pers.
Medsos yang kacau-kacau itu akan diidentifikasi dan diburu. Misalnya seseorang menguasai 40 akun dan menyebarkan fitnah-fitnah, itu akan dipantau semua.
Apa nanti ada regulasi khusus untuk mengatur sebaran konten yang dianggap fitnah?
Enggak perlu ada regulasi. Itu pakai UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Kena pasal 27 ayat 3. (Mengatur pencemaran nama baik sebagai perbuatan yang dilarang dan dikenakan pidana.)
Bagaimana dengan akun anonim yang dipakai sebagai buzzer?
Iya, itu termasuk. Sekarang masih ada kebebasan sampai bulan Februari 2017. Setelah itu akan ada sampel yang akan diambil. Kita sudah katakan, kalau tidak ada kaitannya dengan Dewan Pers, maka kami tidak bisa dipakai untuk mengurusnya. Itu sudah urusan polisi. Kalau kaitannya dengan pers, kita ada kepentingan.
Kepolisian sudah sepakat melakukan proses hukum mengandung kasus fitnah, pencemaran nama baik. Masukan dari Dewan Pers diperlukan belakangan.
Medsos banyak dipakai untuk fitnah. Grup-grup di WhatsApp. Satu dua orang aja masuk ke grup itu, mengabaikan etika, kemudian diteruskan, direspons oleh seluruh haters dan lovers. Jadilah barang! Isu apapun. Soal Ahok, pemerintahan Jokowi, soal penanganan teroris, aksi 212 dan 411. Orang terbelah semua. Memang teknologi baru menciptakan tantangan baru.
Apakah media-media hoax ini rutin dilaporkan?
Ada masyarakat yang kadang tidak tahu hoax. Ada juga yang tahu, tapi pengin rekomendasi dari Dewan Pers supaya dibawa ke kepolisian. Kalau bagi orang yang tidak tahu, kami jelaskan. Media hoax bukan urusan Dewan Pers karena bukan media formal.
Tapi ada sejumlah kasus. Misalnya, tahun 2015, Pagar Nusa—perkumpulan pencak silat dari Nahdlatul Ulama—melaporkan voa-islam.com karena menodai dan menghina nama baik Gus Dur. Mereka bikin pertemuan. Kami mengundang pengelolanya supaya minta maaf. Tapi Pagar Nusa mengatakan tidak bisa dimaafkan karena sudah menghina Gus Dur.
Bentuk permintaan maaf seperti apa?
Pertama, permintaan maaf tertulis. Kemudian bersedia dibina oleh Dewan Pers. Tapi syarat dari Dewan Pers: sebelum terverifikasi soal jurnalisme, enggak bisa dibina Dewan Pers. Kami tanya: “Anda pernah enggak menjadi wartawan?” “Enggak pernah,” jawabnya. Pemimpin redaksinya mantan anggota Komisi I DPR. Akhirnya, karena tidak bisa selesai dalam mediasi, kita rekomendasikan, silakan proses ke hukum.
Bagaimana kerja Dewan Pers untuk mendeteksi berita/artikel hoax?
Kita enggak tahu beritanya seperti apa, lantas medianya apa. Menilai hoax setelah kita tahu beritanya. Dalam pengajuan pelapor biasanya membawa salinan beritanya bahwa berita itu hoax. Baru ambil tindakan. Tidak bisa generik.
Kita juga menyarankan wartawan terus mengecek sebuah berita benar atau tidak. Lihat situsnya, lihat badan hukumnya, terverifikasi tidak di Dewan Pers? Kalau tidak, cari berita yang sama di media-media kredibel. Kalau tidak ada, abaikan. Itu jalan yang diberikan oleh Dewan Pers.
Bagaimana soal media agregator yang punya penulis tapi tidak liputan? Bagaimana dengan media warga/blog sosial?
Kalau ada kesalahan, sumber utama langsung membuat ralat. Sementara yang ngutip, enggak tahu kalau itu salah. Dilaporkan ke Dewan Pers. Fatal itu.
Contoh, Kompasiana. Apakah orang bisa seenaknya nulis di sana dengan menyebar fitnah dan SARA? Enggak. Bagaimana kalau ada muatan SARA? Kalau ada SARA, kita ada mesin sendiri yang mengawasi. Begitu muncul nama Yesus, Nabi Muhammad, akan terdeteksi.
Oke, saat itu kita panggil Pepih Nugraha (pendiri Kompasiana), mereka yakin dengan sistemnya. Ini ada pengaduan terhadap Kompasiana. Ini ada orang nulis, Nabi Muhammad jadi b4bi Muhamad. Kalau anda bilang ini bukan tanggung jawab Anda, OK, kita akan sebut Kompas bertanggungjawab. Anda yang buat forum dan Anda membiarkan forum ini liar. Ini isunya SARA. Pepih langsung izin, balik ke kantor, dan langsung menurunkan artikel itu.
Enggak bisa, misalnya, mengatasnamakan forum, lalu tidak bisa dikontrol. Kompasiana lebih dari 5.000 penulis, crowded, lantas dibiarkan? Tanggungjawab pada pengelola. Apalagi ini terhubung dengan media resmi, Kompas; dia akan kena. Apa mau Kompas didemo? Pengelola Kompasiana bilang tanggung jawab orang yang nulis? Enggak ada orang ngerti begitu. Hati-hati membuat media forum. Sudah kita sarankan: Kalau tidak menguasai dan tidak memiliki struktur wartawan, jangan buka forum seperti ini.
Jangan masuk ke ranah politik di mana orang bisa dirugikan. Menulis Syiah sebagai tersangka korupsi, tidak relevan dalam forum seperti ini. Bijak. Kalau tidak punya wartawan, tidak bisa verifikasi, kemudian populer, terus diunggah? Hati-hati, loh!
Dulu, tahun 2000, Jawa Pos diduduki Barisan Ansor Serbaguna NU gara-gara mengutip Tempo. Padahal Tempo sendiri sudah meminta maaf. Selesai. Jawa Pos terbit, enggak sempat minta maaf, diduduki Banser. Satu hari tidak terbit. Inilah bahaya mengutip media lain. Satu memuat, maka ralatnya harus disertakan juga yang lain.
Contoh Postmetro—tidak ada alamat redaksi dan sebagainya. Ada juga media seperti Seword, isinya opini tetapi tidak terbuka mencantumkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya.
Postmetro ini berpindah terus: dari .com, .co, .co.id. Ketika kami mengecek, setelah ada laporan dari Bareskrim, ternyata alamat IP-nya di Singapura.
Yang Seword, kita juga mengerjakan. Ini era kebebasan pers dan ada yang bikin analisis macam-macam. Ini masuk hoax. Kalau ketemu sama teman-teman Seword, bilang: kalau Seword dibidik sama polisi.
Ada media hoax yang menyerang pemerintah, dan ada juga media abal-abal yang dukung pemerintah, lalu mereka saling serang. Tanggapan anda?
Ini akan diblokir semuanya pada 9 Februari 2017. Ini masih koordinasi antarlembaga. Dan hanya media terverifikasi di Dewan Pers yang bisa eksis. Yang gelap, dan dibuat oleh para buzzer, akan ditutup secara otomatis. Kalau ingin menjadi media betulan, silakan, tapi tentunya memenuhi Undang-Undang Pers dan Pedoman Dewan Pers.
Pemblokiran Harus Berprinsip Kehati-hatian
Apakah ada kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika?
Ada pertemuan panel, anggotanya dari kejahatan siber Polri, BAIS, BIN, Dewan Pers, untuk laporan yang diduga atau terkait berita hoax. Kalau ada panel tertentu, ada pakar yang diundang, dikumpulkan Ditjen Aptika, misalnya untuk permintaan pemblokiran sekian situsweb. Dewan Pers hanya mengecek apakah media ini benar atau palsu.
Kalau benar, kita menyatakan keberatan. “Jangan diblokir dong, ini media benar,” kami menolak. Suara Papua, misalnya, diblokir, dan melalui LBH Pers menggugat pemblokiran itu. Sekarang sedang kami tangani. Suara Papua itu media yang benar; ada alamat redaksinya, struktur organisasinya ada, penanggungjawabnya adalah almarhum Oktovianus Pogau. Memang media yang dijalankan dengan kerja-kerja wartawan.
Jadi tidak ada panel yang meminta pendapat Dewan Pers sehingga Suara Papua diblokir?
Tidak ada panel. Selama 2016 panel kosong. Kami dorong hidupkan kembali panel, fungsinya menjalankan prinsip kehati-hatian supaya setiap keputusan pemblokiran yang diambil itu tepat sasaran. Kalau tidak, bakal menghambat kemerdekaan pers. Pemblokiran yang sewenang-wenang menghambat masyarakat mendapatkan informasi. Ditjen Aptika-nya kan baru. Dibentuk panel sekarang juga sudah percuma. Paling Januari pembentukan panel baru.
Kasus-Kasus yang Dimediasi Dewan Pers
Berapa pengaduan diterima Dewan Pers?
Kalau pengaduan situs, belum ada datanya. Tetapi pengaduan total tahun lalu ada 800 pengaduan.
Yang beres dan dapat dimediasi?
Anggap saja 800 kasus, yang selesai dimediasi itu 760 kasus selesai, 40 yang terjun ke pengadilan.
Kasus yang paling besar?
Kayaknya kasus Tempo vs Polri terkait pemberitaan rekening gendut Budi Gunawan. Besar banget sampai melibatkan kantor Kepresidenan segala. Disebut kasus besar itu kalau melibatkan media besar. Topiknya juga serius, harus berkali-kali mediasi. Tidak cukup satu kali.
Contoh kasus lain yang ditangani Dewan Pers?
Dulu, 2014, pernah muncul kasus Ahmad Dhani, yang disebut-sebut bahwa dia bersumpah akan memotong alat kelamin jika Joko Widodo bisa mengalahkan Prabowo Subianto dan menjadi presiden Indonesia. Yang menjadi pertanyaan: perkataan Ahmad Dhani itu lewat capture-an dari akun Twitter dia, seolah-olah Ahmad Dhani mengatakan itu. Lalu banyak media yang mengutipnya. Ada 17 media yang memberitakan bahwa Ahmad Dhani akan memotong alat kelaminnya. Termasuk ada dua media nasional. Mereka tidak melakukan verifikasi kepada Ahmad Dhani: Benar enggak? Makanya, kami menyatakan informasi itu hoax.
Kita tanya: Kenapa anda—perwakilan dari media yang kami panggil ke Dewan Pers—tidak melakukan verifikasi? Kenapa anda tetap memberitakan sekalipun anda tidak yakin? Harusnya dicek. Apa sih susahnya menelepon Ahmad Dhani dan memverifikasi? Kalau ditanya pun, dia akan menjawab. Makanya Ahmad Dhani melapor ke Dewan Pers. Kita meminta media tersebut minta maaf dan memberikan hak jawab kepada Ahmad Dhani.
Dari kasus Ahmad Dhani itu, bagaimana pandangan Dewan Pers atas pemberitaan yang mengambil dari sumber media sosial?
Terlarang wartawan mengambil berita dari sosmed. Seluruh informasi di sosmed bisa menjadi berita kalau melakukan verifikasi. Harus verifikasi dan validasi informasi.
Apa ada kasus serupa seperti Obor Rakyat?
Ada. Terjadi di Bengkulu. Ada media abal-abal yang dibuat kayak Obor Rakyat untuk ngabisin salah satu calon. Dipanggil polisi atas rekomendasi Dewan Pers.
Saya lupa nama medianya. Ia dicetak di Bandung, dikirim ke Bengkulu pakai bus malam. Tertangkap. Isinya fitnah semua. Sekarang sudah diproses dan masuk pengadilan.
Kalau Obor Rakyat, kan, nasional. Kalau media ini tingkat provinsi. Banyak sekali yang seperti itu. Malah ada media namanya Pelat Merah, bentuknya kayak tabloid di Merauke. Ditulis di halaman tiga: Bupati Merauke penjahat kelamin. Tidak ada sumber. Kita baca beritanya, tidak ada satu pun sumber beritanya. Dan ceritanya itu kayak cerita pendek. Fiksi.
Belajar dari menangani Obor Rakyat, bagaimana menangani hal sama yang berkembang di media sosial atau internet?
Kalau ada pengaduan, bisa. Jumlahnya juga banyak. Berita atau artikel hoax ini diambil, dikutip, lalu disebarkan pula ke grup WhatsApp. Kalau merujuk ke mana berita ini, enggak ada juga. Bentuk menyebarkannya macam-macam: Kadang dari Postmetro, ada yang menyebarkan tautannya; kalau enggak, di-capture judulnya lalu dikirim di WhatsApp. Disebar. Setelah kita membuka link tersebut, situs Postmetro sudah enggak down. Dan kejadian seperti itu banyak sekali. Tidak hanya satu situsweb.
Ada juga media memakai meme untuk mengejar trafik. Contoh seperti ini bisa ditindak?
Bisa, kalau yang memuat pers.
Selama ini ada pelaporan?
Ada beberapa. Merdeka.com pernah dilaporkan tahun 2013 karena memuat foto rekayasa artis Tora Sudiro bersama Darius Sinathrya.
Kelanjutan dari pengaduan kasus foto rekayasa itu?
Mereka minta maaf kepada artis dan memberikan hak jawab. Kemudian, Merdeka.com membuat surat pernyataan tidak melakukan lagi. Dari meme yang awalnya ramai di BlackBerry itu, Merdeka.com memuatnya saja tanpa konfirmasi: benar atau enggak? Memang dalam berita, Merdeka.com menulis soal kemungkinan bahwa gambar kedua artis itu dibuat karena ulah orang untuk menjelek-jelekkan. Pemimpin media seharusnya tahu soal kode etik.
Saat ini, ada 43.300 media online. Data Dewan Pers tahun 2015, yang terverifikasi hanya 247 media online. Bisa kita tanya: Puluhan ribu itu apa? Abal-abal, hoax, mengutip sumber yang sudah ada, diputarbalikkan faktanya, dan sebagainya.
Media buzzer juga bermunculan dan dipakai oleh tim pemenangan Pilkada atau Pemilu. Mereka dibayar untuk merongrong kredibiltas lawan dan menaikkan kredibilitas orang yang membayar mereka. Dan itu yang terjadi. Tapi biasanya media seperti ini hidupnya hanya seumur jagung. Begitu habis Pilkada, maka mereka selesai. Nature mereka kembali ke pemerasan orang dan ini sudah ditangani juga. Dewan Pers masuk ke dalam Tim Panel Dewan Aplikasi Informatika bersama aparat keamanan. Kalau bukan produk jurnalistik, silakan diproses hukum.
Ada 43 ribuan media online tapi hanya 247 media terdaftar. Sisanya itu termasuk hoax atau bagaimana?
Mungkin sebagian ada yang beneran karena belum sempat mendaftar, mereka belum siap melengkapi dokumen hukum. Tapi sebagian besar menurut saya adalah media abal-abal dan memproduksi hoax. Contoh saja di Kota Tanjung Balai Karimun, Riau, yang penduduknya 270 ribu orang, media online di sana mencapai 500. Tidak masuk akal! Benar bahwa media di sana yang dikenal cuma empat, tapi sisanya enggak jelas. Padahal syarat pers itu rutin menerbitkan selama 6 bulan secara berturut-turut. Kalau medianya cuma memberitakan satu kasus koupsi, setelah itu tidak terbit lagi, berhenti menulis, ini bukan media. Ini pemerasan.
Rencana Barkode untuk Verifikasi
Apakah sosialisasi sudah dilakukan?
Ini sedang kita keliling lakukan sosialisasi ke media-media. Kita memulai dengan Piagam Palembang yang dimulai 18 grup media besar. (Disepakati pada Hari Pers Nasional di Palembang, 9 Februari 2010, yang menyatakan bahwa para pimpinan media massa sepakat untuk melaksanakan sepenuhnya kode etik jurnalistik, standar perusahaan pers, standar perlindungan wartawan, dan standar kompetensi wartawan). Pada 9 Februari 2017, pada saat Jokowi pidato di HPN, media sudah tertib menggunakan logo. Mungkin belum semua, tapi bertahap. Dan menjadi gerakan moral.
Kalau mau jadi media sehat, anda dapat logo itu. Kalau tidak, silakan. Tidak akan dimatikan tetapi seleksi alam yang akan terjadi. Misalnya, publik baca koran lampu hijau, 'Ini eggak ada barkode, malas, ah.'
Kita akan tahu, teredukasi sendiri. Sekarang, kan, semua media dibeli saja, infonya bisa bertentangan satu sama yang lain. Apalagi masuk internet, tambah antah-berantah lagi.
Apakah Dewan pers bisa mengumpulkan pemimpin redaksi untuk buat kesepakatan bersama?
Kalau ada momen politik, kita biasanya mengumpulkan semuanya bikin komitmen bersama. Kalau tidak mau, kita bikin skenario surat edaran. Plan A: bangun komitmen sendiri; plan B: kalau tidak mau, kita dorong.
Kalau empat sampai lima kali mengulangi kesalahan yang sama, kita batalin logonya. Enggak usah, deh. Media busuk bukan media yang layak lolos verifikasi dari Dewan Pers.
Publik akan tahu. Ini seperti label halal pada makanan. Orang lihat label halal. Sama juga jika ada media online tidak memiliki label verifikasi, orang bakal males mengaksesnya. orang bisa membedakan. Harapan kami itu. Ini akan berlaku pada Februari.
Bisa terjadi kemungkinan “politisasi” atau jual-beli logo, dong?
Kalau ada jual-beli, akan kita tindak. Dan itu kewenangan Dewan Pers untuk mengatur itu.
Pentingnya Literasi Media
Kerap kali penyebar berita atau artikel hoax bukan hanya kalangan remaja tetapi mereka yang bergelar doktor?
Iya, dia juga punya sentimen dengan kondisi politik saat ini, mendapatkan informasi yang cocok, lalu dia sebarluaskan.
Ada anggapan: pemberitaan atau artikel hoax belakangan marak karena media mainstream sudah tidak bisa dipercaya lagi dalam soal independensi. Pendapat anda?
Masih ada media besar dan media mainstream tidak berpolitik. Tapi ada banyak media besar, termasuk media televisi, yang pemiliknya punya partai politik. Nah, ini tentunya mengganggu. Maka muncullah media-media online, dan tersebar via media sosial, yang membuat Trans 7, Trans 8, atau Trans 9 palsu. Portal berita Kompas.com, misalnya, ada yang buat Kompas.nesw.com, yang isinya bisa berbeda 180 derajat dengan Kompas.com. Ada Republika.com, ada juga tandingannya: Republika.news.com. Orang terkecoh dan bahkan tidak bisa membedakan keduanya. Menurut saya ini butuh literasi dan penertiban dari Dewan Pers.
Sekarang kita sedang melakukan penataan kembali, dan pada 9 Februari 2017, kita akan kasih barkode.
Halaman depan koran cetak, misalnya, ada yang menegaskan bahwa media tersebut terverifikasi di Dewan Pers. Ada barkode. Kalau difoto sama ponsel pintar, barkode itu langsung terhubung ke bagian pendataan Dewan Pers. Siapa penanggungjawabnya? Alamatnya di mana? Hal sama dilakukan untuk media online.
Harapan dari langkah verifikasi ini, akan terjadi seleksi alam.
Saran anda soal kecenderungan orang menyebarkan berita hoax melalui akun media sosial?
Kita membutuhkan media literasi, didukung oleh pemerintah dan melibatkan masyarakat. Bagaimana mereka menggunakan medsos di satus sisi, dan menggunakan teknologi itu untuk kepentingan komunikasi, bukan untuk kepentingan memfitnah, bukan untuk menyebarkan kabar bohong.
Di luar itu, orang harus bisa membedakan mana berita yang benar dan mana yang hoax. Jadi, jangan percaya dan langsung meneruskan berita yang tak jelas. Pertimbangkan dulu, pikir dan konfirmasi, verifikasi dulu, ada enggak berita itu di media lain. Kalau ada dan faktanya sama, baru disebar.
Apa ini karena masyarakat kita lemah dalam literasi media?
Iya, bisa saja. Tapi di luar itu, kita kehilangan kepercayaan kepada otoritas. Orang mengatakan ini loh berita yang benar, tidak ada lembaganya. Kami sekarang sedang menggagas dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika supaya ada satu lembaga yang bekerja memverifikasi isu-isu itu. Orang akan bertanya: apakah benar dengan isu ini? Lembaga ini yang memverifikasi isu-isu tersebut. Mereka mengandalkan jaringan wartawan. Ini sedang kita gagas.
Pembentukan lembaga penyaring isu hoax ini bertepatan HPN pada 9 Feberuari 2017?
Sepertinya tidak. Mungkin lembih lambat. Acara 9 Februari ini sudah dijadwal, Hari Pers Nasional di Ambon. Presiden akan hadir, akan ada penandatangan Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers, Dewan Pers dan KPK, Dewan Pers dan panglima TNI. Hari itu juga akan kita umumkan seluruh media. Nantinya semua pakai barkode. Orang bisa membedakan. Kalau tidak ada barkode, tidak usah dibeli, dibaca. Demikian juga untuk mempercepat “seleksi alam” supaya segera mematikan media abal-abal.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Zen RS