tirto.id - Wajah supermodel berusia 21 tahun keturunan Palestina, Gigi Hadid, menghiasi sampul edisi perdana Vogue Arabia.
Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah mampu menembus batasan ruang dan waktu dalam perputaran arus informasi. Hal-hal yang dianggap tak jamak dalam suatu kebudayaan, bisa jadi lebih diterima berkat peranan budaya populer seperti majalah gaya hidup dan fashion. Termasuk Vogue, yang pada Maret ini merilis edisi perdananya untuk pasar Arab.
Tak tanggung-tanggung, yang ditunjuk oleh publisher majalah tersebut, Condé Nast International, untuk menjadi editor in chief adalah putri Arab Saudi, Deena Aljuhani Abdulaziz. Deena sebelumnya memang mempunyai usaha butik di Riyadh dan kerap beredar di satu helatan ke helatan fashion lainnya.
Menurut laporan The Guardian, Vogue Arabia akan didistribusikan dalam bahasa Arab dan Inggris, baik dalam versi situs maupun majalah fisiknya. Tak hanya khalayak di Arab Saudi saja yang dapat menikmati majalah ini, tetapi juga mereka yang tinggal di Bahrain, Qatar, Kuwait, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Majalah fashion dan gaya hidup asal Amerika Serikat yang pertama kali muncul pada 1892 ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya media Barat yang memasuki negara-negara Timur Tengah. Sebelumnya telah lebih dulu beredar beberapa majalah gaya hidup jaringan internasional semacam Grazia, Elle Magazine, Cosmopolitan, Marie Claire, dan Harper’s Bazaar.
Sebagian orang masih berpikir bahwa perempuan-perempuan di negara-negara Arab cenderung konservatif dan usah berekspresi. Namun siapa nyana, kenyataan satu dekade belakangan ini justru memperlihatkan sebaliknya. Animo para perempuan Timur Tengah untuk tampil bergaya cukup tinggi. Inilah yang ditangkap oleh Elle Magazine ketika meluncurkan edisi Timur Tengah perdananya pada Juni 2006 silam.
Walaupun dalam ruang-ruang publik perempuan Arab lazim ditemukan mengenakan kerudung dan pakaian tertutup seiring dengan tradisi dan kewajiban agama, pada kesempatan lain—seperti pertemuan khusus perempuan—mereka sering menggunakan pakaian-pakaian yang fashionable dan cenderung lebih terbuka.
Di Arab Saudi dan Kuwait, sebagian perempuan senang menggelar pesta mewah di rumah yang melibatkan musik, tarian, dan karaoke. Sementara di Lebanon, fashion items yang tertera dalam Elle Magazine lebih mudah ditemukan dikenakan para perempuan di ruang terbuka dan di jalan-jalan.
Berkat globalisasi, konsep kecantikan yang datang dari negara Barat berhasil mempengaruhi preferensi perempuan muda di Timur Tengah. Hal ini diungkapkan oleh Abu Baker Bagader, profesor Sosiologi di King Abdul Aziz University di Arab Saudi.
Pada 2007, Harper’s Bazaar merilis edisi Arabia-nya dalam bahasa Inggris di Dubai. Menargetkan pembaca kelas menengah ke atas, berpendidikan tinggi, dan paham dunia fashion, majalah ini disirkulasikan tak hanya di Uni Emirat Arab, tetapi juga di Kuwait, Oman, dan Qatar dengan oplah 15.000 eksemplar sebagaimana tertulis di situs Hearst.
Permintaan pasar regional Dubai yang besar terhadap barang-barang fashion dari luar negeri dianggap sebagai potensi menguntungkan bagi media ini. Berdasarkan statistik perdagangan dengan AS dan Eropa, tercatat lebih dari $5 triliun dihabiskan pasar ini untuk mengkonsumsi barang-barang fashion mewah impor.
Aneka label busana ternama dari London, Milan, Paris, dan New York pun dengan mudah ditemukan di mal-mal kelas dunia di Dubai. Banyaknya ekspatriat yang tinggal di Dubai pun memicu lahirnya ide mengedarkan Harper’s Bazaar di Timur Tengah. Fakta-fakta ini mengafirmasi bagaimana gaya hidup dan berbusana di Barat bukan lagi alien bagi khalayak di Jazirah Arab.
Salah satu majalah yang menjadi sorotan ketika beredar di Timur Tengah adalah Cosmopolitan. Di berbagai negara, majalah bersemboyan "fun, fearless female" ini secara reguler memuat konten tip-tip bercinta dan mempromosikan pembicaraan mengenai seksualitas. Lantas bagaimana tampilannya di negara-negara dengan tradisi represif terkait wacana ini?
Edisi pertama Cosmopolitan Middle East melibatkan selebritas Hollywood, Khloe Kardashian dalam sampulnya pada tahun 2011. Mengenakan tube dress jambon yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, orang boleh jadi tak percaya kalau majalah ini didistribusikan di Timur Tengah yang distigma mengharamkan pakaian terbuka. Di lain sisi, serupa dengan edisi negara-negara lainnya, Cosmopolitan Middle East memberi aneka saran untuk menarik hati laki-laki.
Menerbitkan Cosmopolitan di Timur Tengah membutuhkan strategi tersendiri supaya tak dihantam protes dari masyarakat konservatif.
Dalam tanya jawab yang dimuat di situs Cosmopolitan, Brooke Sever yang pada 2015 menjabat sebagai pemimpin redaksi menyatakan, “Kami tak bisa sebebas di AS dalam memilih kata, baik untuk sampul maupun konten majalah. Kami bahkan tak bisa menyebut kata ‘seks’, tetapi khalayak [Timur Tengah] tetap akan mendapat apa yang biasanya dibaca di Cosmopolitan edisi mana pun.”
Sever juga mengungkapkan ada beberapa pantangan. Tak seperti di negara Barat, Cosmopolitan Middle East tidak bisa memajang gambar alkohol atau model yang mengenakan kalung salib. Model pun tak boleh terlihat mengenakan pakaian begitu terbuka, sehingga trik-trik pengeditan foto pun kerap dilakukan untuk menyamarkan bagian tubuh tertentu. Namun, Cosmopolitan Middle East tak punya masalah saat memuat gambar-gambar laki-laki bertelanjang dada.
Pembicaraan seputar kesehatan reproduksi seperti penyakit menular seksual pun dibatasi.
“Kami tak bisa membicarakan tentang pertemuan dengan laki-laki dan menginap di tempatnya, hal-hal seperti itu. Kami hanya boleh membahas tentang seks dalam konteks pasangan yang menikah,” papar Sever. Ia juga menambahkan, jika ada yang merasa tersinggung dengan konten media yang dipegangnya, maka risiko dipenjara sudah barang tentu mengikutinya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani