tirto.id -
Mahyudin menilai keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang menyatakan Pimpinan MPR bisa diganti jika mengundurkan diri, berhalangan tetap dan meninggal dunia.
"Saya tidak ada agenda mengundurkan diri," kata Mahyudin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/3/2018).
"Saya sangat percaya di MPR tidak melanggar UU. Tidak akan ditindaklanjuti," imbuhnya.
Mahyudin menyatakan tidak ragu mengambil langkah hukum jika pimpinan MPR menindaklanjuti keputusan DPP Golkar. "Kalau bertentangan hukum tentu proses secara hukum," kata Mahyudin.
Selain itu, Mahyudin menilai keputusan Rapat Pleno DPP Golkar memberikan jabatannya kepada Siti Hediyati Soeharto atau Titik Soeharto bertentangan dengan AD/ART Golkar Pasal 25.
Pasal tersebut, menurut Mahyudin, menyatakan setiap keputusan penting seperti pergantian pimpinan lembaga negara harus dikomunikasikan dengan Dewan Pembina Golkar. Sementara, dalam hal ini, menurutnya, DPP Golkar belum berkomunikasi dengan Dewan Pembina Golkar.
"Saya sudah menghadap ke Pak ARB, dan beliau menyatakan tidak menyetujui untuk adanya rotasi," kata Mahyudin.
Selanjutnya, dengan tegas Mahyudin menilai pencopotan dirinya merupakan ekses dari Munaslub Golkar Desember lalu. Menurutnya, terdapat deal politik antara Airlangga Hartarto dengan Titiek Soeharto yang mesti mengorbankan jabatannya.
"Bahwa ada bargaining politik. Mbak Titiek mau maju, pengennya aklamasi, supaya tidak maju, bargainingnya begitu. Tapi masak yang dikorbankan jabatan orang lain. Enggak masuk akal," kata Mahyudin.
Kemarin, Minggu (18/3/2018) Rapat Pleno DPP Golkar menyepakati rotasi posisi pimpinan MPR. Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily menyatakan langkah ini dilakukan sebagai upaya penyegaran jabatan.
"Ketum sudah berbicara dengan Pak Mahyudin. Pak Mahyudin bisa memahami apa yang menjadi alasan partai meminta kepada beliau untuk mendapatkan penugasan lain," kata Ace saat dihubungi, Senin (19/3/2018).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri