tirto.id - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengajukan gugatan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 ke Mahkamah Agung. Aturan itu merupakan pengganti PP Nomor 44 Tahun 2005 yang mengatur pembentukan holding (induk) BUMN.
Ketua Tim Kuasa Hukum KAHMI, Bisman Bhaktiar mengatakan telah mendaftarkan uji materi itu, atas nama Mahfud, sebagai Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, ke MA pada Jumat (10/3/2017).
"Kami memohon MA untuk menyatakan PP 72/2016 ini tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Bisman sebagaimana dilansir Antara.
Menurut Bisman, uji materi PP itu merupakan upaya mengoreksi kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Ia berpendapat semestinya Presiden Joko Widodo tak membentuk aturan baru lagi mengenai holding BUMN.
Ia menyatakan PP 72/2016 telah mereduksi kewenangan negara atas BUMN, sehingga berpotensi menjadi legitimasi privatisasi, penjualan, dan penghilangan BUMN, tanpa melalui ketentuan UU 19/2003 tentang BUMN dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta tanpa pengawasan DPR.
Bisman mengimbuhkan dasar gugatan ini ialah keberadaan BUMN merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang diharapkan memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara, mempunyai peran strategis di pelayanan publik dan penyeimbang kekuatan ekonomi swasta.
"Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus dijaga agar tetap menjadi milik negara dan mesti dihindari pengalihan kepemilikan atau privatisasi yang tidak sesuai UU," ujar dia.
Ia menjelaskan isi pokok gugatan menyasar ketentuan tentang barang milik negara sebagai sumber penyertaan modal negara yang berasal dari APBN (Pasal 2 ayat (2) huruf b). Ketentuan itu dianggap melanggar UU BUMN karena bisa menjadi dasar hukum pencucian aset negara yang akan dialihkan ke pihak lain melalui penyertaan modal pada BUMN.
Lalu, ketentuan tentang penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain yang dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2A). Ketentuan itu dinilai bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU MD3. Selain itu, juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013.
Bisman melanjutkan, isi PP itu bertentangan dengan rekomendasi Panja Aset Komisi VI DPR RI Tahun 2014. "Ketentuan ini berpotensi melegitimasi privatisasi diam-diam oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR," kata dia.
Saat menggelar rapat dengan Komisi VI DPR RI Pada 8 Februari lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan PP 72/2016 hanyalah penyempurna PP 44/2005. Seluruh pasal di PP 44/2005 tidak dirubah di regulasi baru itu.
Penyempurnaan aturan di PP 72/2016 menegaskan bahwa sumber penyertaan modal berupa saham milik negara pada BUMN dan PT. Selain itu, pengalihan saham BUMN dalam rangka pembentukan holding BUMN tidak lagi melalui mekanisme APBN karena proses itu sudah dilakukan saat pembentukan sehingga status kekayaan negara dipisahkan.
Sri juga menjelaskan PP 72/2016 menegaskan hak DPR untuk mengawasi badan usaha negara tidak dihilangkan karena pemerintah tetap meminta persetujuan jika anak perusahaan eks BUMN akan dijual. Pemerintah pun tetap memiliki kontrol ke anak perusahaan eks BUMN melalui saham dwiwarna (kepemilikan satu saham) dan BUMN induk wajib memiliki mayoritas saham lebih dari 50 persen.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom