Menuju konten utama

Maafkan Frank, Ibu

“Sebelum ibu saya meninggal, dia berkata jangan tinggalkan Chelsea,” kata Frank Lampard. Tapi, pesan ibunya itu tetap dilanggarnya. Ia sempat hijrah ke Negeri Paman Sam, balik lagi ke Inggris, sebelum akhirnya memungkasi kariernya.

Maafkan Frank, Ibu
Pesepakbola Inggris, Frank Lampard. FOTO/Getty Images

tirto.id - Mudah sekali memang melupakan pesan seorang ibu. Terutama sesaat setelah pesan itu disampaikan. Bukan, bukan karena isi pesannya tidak berguna atau mengganggu, hanya saja terkadang pesan semacam ini sering didengar dan disampaikan berulang-ulang. Bosan saja mendengarnya terus-terusan.

Bertahun-tahun kita tidak peduli akan pesan itu, sampai kemudian tersadar saat kita tahu bahwa pesan ini tidak akan pernah akan muncul lagi dari mulut yang sama. Pesan yang baru terngiang kembali di telinga alam bawah sadar atau hanya bisa terdengar dari cerita orang-orang yang mengenangnya.

“Jangan pernah melupakan lapangan di mana semua orang-orang menyanyikan namamu, jangan pernah melupakan apa yang diberikan orang-orang itu untuk seorang anak yang menyeberang London dari West Ham.”

Ketika mulut yang biasa menyampaikan pesan itu sudah terbaring kaku, Frank semakin tidak pernah bisa melupakannya. Pesan seorang ibu kepada anaknya yang tersampaikan saat Frank muda berpindah lokasi pekerjaan. Apalagi dua tahun setelah pindah, taipan minyak dari Rusia datang menginvestasikan uangnya untuk membangun raksasa baru dari kota London.

Di Whipps Cross Hospitol, sebelah timur laut Kota London, ibu pemberi pesan itu menghembuskan napas terakhirnya. Setelah berjuang dengan batuk tiada henti, nyeri hebat di dada, demam tinggi, sampai kesulitan bernafas selama 10 hari di rumah sakit, akhirnya pada 24 April 2008, pneumonia berhasil mengalahkan sang ibu.

Kematian sang ibu tidak hanya melukai hati Frank, tapi juga hati seluruh rekan-rekannya. Masalahnya, persoalan yang dihadapi tidak berhenti di sana. Hanya berjarak dua hari dari kematian sang ibu, Frank sudah dijadwalkan untuk menghadapi tim yang memiliki mesin gol yang baru moncer saat itu. Anak muda dengan kaki-kaki lincah yang mau menendang dari posisi apapun akan membuahkan gol. Pemuda songong berbakat dari Portugal yang jadi bintang baru di liga.

Pertandingan itu tidak hanya menjadi adu gengsi. Ini persoalan gelar juara. Jika pemuda songong ini sukses mengalahkan tim Frank, gelar juara liga akan menjadi milik mereka. Tentu saja Frank ogah melihat selebrasi kemenangan tim lawan di kandangnya sendiri, tempat di mana Frank menafkahi kehidupan ibunya selama hidup. Ini sama seperti melihat orang lain berak di tempat makan kita.

Namun, Frank tidak mungkin ikut berjuang bersama rekan-rekannya. Rekan-rekannya tahu itu. Sekalipun Frank adalah pemain andalan yang sulit dicarikan pengganti yang sepadan, manajer tim sepakat untuk membiarkan Frank melewati masa duka, membiarkan Frank bersama keluarganya.

Untungnya, dua hari kemudian tim Frank berhasil mengalahkan anak muda songong berbakat itu. Rekan Frank, Michael menjamin daerah operasional yang ditinggalkan Frank aman. Datang dari Jerman dengan perawakan tinggi besar, Michael sukses memimpin lini tengah timnya. Kecerdasannya menjadi pemain yang menjaga keseimbangan sudah terbukti sejak dulu, dan itu juga jadi alasan tim merekrut dirinya.

“Kemenangan ini kami persembahkan kepada Frank dan keluarganya. Ini adalah masa yang sulit bagi siapa saja,” ujar Michael di konferensi pers. “Ini untuk dia dan keluarga.”

Dukungan luar biasa tidak hanya datang dari rekan-rekan Frank. Para suporter, orang-orang yang menyanyikan nama Frank di setiap pertandingan di London tidak pernah bisa meninggalkan duka seorang anak yang ditinggal mati ibunya. Mereka hadir menguatkan Frank, mereka ada untuk Frank.

Sampai kemudian pertandingan berat berikutnya menanti empat hari lagi. Tim Frank akan menghadapi Sang Juara 2005 pada semifinal kedua kompetisi klub antar negara-negara Eropa. Tim dengan “Dongeng Istanbul” yang melegenda. Tim yang begitu cemen di liga karena tidak pernah juara lebih dari dua dekade, tapi menjadi mengerikan jika berlaga di kompetisi antar negara Eropa.

Pertemuan Frank dengan tim ini selalu jadi cerita. Terutama karena tim lawan punya pemain dengan tipikal yang sangat mirip dengan Frank. Baik postur, cara bermain, sampai posisi maupun peran di lapangan untuk timnya. Keduanya adalah bayangan dalam cermin satu sama lain. Seolah-olah jika keduanya bertemu, Frank sedang menghadapi dirinya sendiri.

Pada pertandingan pertama, tim Frank berhasil menahan imbang 1-1 di kandang lawan. Cukup imbang dengan skor kacamata atau unggul satu gol saja, maka Frank akan dikenang menjadi legenda karena sukses mengantarkan timnya berangkat ke Moskow, untuk pertama kalinya dalam sejarah berlaga di partai terakhir yang memperebutkan gelar supremasi tertinggi di Eropa. Gelar impian semua orang. Semua orang yang memilih karier pemain sepak bola profesional di Eropa.

Di pertandingan itulah Frank hadir untuk kali pertama setelah meninggalnya sang ibu. Pertandingan emosional yang juga menentukan rekor sejarah timnya.

Pertandingan sendiri berlangsung cukup alot. Tim Frank mendominasi jalannya pertandingan. Namun, penampilan gemilang kiper lawan berhasil mementahkan serangan demi serangan.

Harus diakui, sepanjang pertandingan, Frank tidak bermain dengan cukup baik. Tidak seperti biasanya yang dominan mengontrol rekan-rekannya. Pada pertandingan ini, rekan Frank, Michael, seolah bekerja sendirian. Frank seolah tenggelam tak terdeteksi radar sebagai ancaman berbahaya.

Sampai kemudian, setelah selama 90 menit sama kuat 1-1 dan pertandingan dilanjutkan babak tambahan, Michael mencoba merebut bola pemain bertahan lawan di kotak penalti. Dengan cukup berani Michael beradu fisik. Posturnya yang bongsor memang jadi andalan untuk situasi demikian.

Masalahnya, Michael sadar, ini di kotak penalti, untuk apa ngotot berdiri jika terjatuh sedikit karena senggolan lawan tim akan punya keuntungan luar biasa. Dan di posisi inilah Michael terjatuh. Wasit pun segera menunjuk titik putih.

Pemain-pemain lawan segera menyemut meminta belas kasihan wasit, tapi semua mengerti, usaha itu percuma.

Rekan-rekan Frank tahu. Tendangan penalti ini untuk dirinya. Ini bukan hanya karena persoalan kematian ibunda Frank, tapi karena Frank adalah eksekutor bola mati terbaik yang dimiliki tim saat itu. Dan seolah tanpa terganggu sama sekali, Frank sukses mengeksekusinya dengan sempurna.

Dengan emosional Frank berlari ke sisi kiri gawang lawan. Berlari sambil melepaskan ban hitam di lengan kirinya. Ban yang di sana tertulis; “Mom”. Menciumnya dengan sepenuh hati, dengan emosi yang meluap-luap, mempersembahkannya, menganugerahkan gol penting itu untuk ibunya di surga.

“Benar-benar momen yang sangat emosional untuk Frank…” ujar komentator menyambut selebrasi penuh haru tersebut.

Supporter lawan yang biasanya menjadikan Frank sebagai musuh dengan seruan intimidatif, kali ini memberi applause untuk Frank. Malam itu memang malam luar biasa untuk Frank. Timnya benar-benar berangkat ke Moskow setelah memenangkan pertandingan dengan tensi yang sangat tinggi.

Sayangnya, hanya pada malam itu Frank menangis haru.

Di pertandingan final, Frank kembali mencetak gol di Moskow. Setelah pemuda berbakat Portugal mencetak gol, Frank berhasil mencuri gol. Dua gol dalam dua partai penting. Kali ini Frank mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jari telunjuknya memecah hujan yang turun begitu deras di Moskow.

Sayangnya, pertandingan itu Frank harus merasakan kali pertama bagaimana rasanya kalah dalam partai final. Kekalahan yang sulit dilupakan bagi siapapun karena pertandingan diselesaikan dengan drama adu penalti.

Empat tahun kemudian di Munich, Jerman, dalam proses yang hampir sama rasa penasaran Frank terbayar lunas. Ia menjadi satu-satunya kapten tim yang pernah mengangkat Piala Liga Champions. Satu-satunya, tiada banding. Menjadikannya legenda.

Sayangnya, usia tidak bisa dihambat. Pesan ibu Frank yang lain, “Sebelum ibu saya meninggal, dia berkata jangan tinggalkan Chelsea,” katanya, harus dikhianati. Merantau ke Negeri Paman Sam, lalu sempat kembali membantu tim lain di Inggris, Frank terlihat mengkhianati pesan ibunya.

Siapa saja paham bukan Frank yang mengkhianati pesan ibunya, namun waktu yang menunjukkan akhirnya. Seperti waktu menunjukkan akhir kisah Frank di sepak bola.

Tepat awal tahun 2017, perjalanan karier luar biasa dari seorang anggota keluarga Lampard harus berakhir. Meninggalkan jejak-jejak kontribusinya untuk sepak bola. Dari gelar demi gelar Eropa yang sempat hanya jadi mimpi sampai kecelakaannya yang membuat teknologi garis gawang sekarang digunakan dalam sepak bola.

Jadi, maafkanlah Frank, Ibu. Bahkan jika akhirnya Frank tidak hanya bermain untuk tim selain Chelsea, tetapi juga tidak lagi bermain sepak bola seperti dulu lagi.

Maafkan Frank, Ibu.

Infografik Lampard

Baca juga artikel terkait FRANK LAMPARD atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti