tirto.id - Setidaknya ada dua Sarbini dalam sejarah gerakan kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah. Pertama adalah Sarbini yang bekas serdadu Belanda (KNIL) dan kemudian jadi murid K.H. Ahmad Dahlan sejak 1915. “Pemuda Sarbini pandai baris-berbaris, pandai memukul genderang, berkemah dan juga menunggang kuda. Semua kegiatan itu amat penting bagi perkembangan kepanduan Hisbul Wathan,” tulis Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan (1985: 146).
Sarbini kedua adalah Mohammad Sarbini Martodiharjo yang pernah jadi tentara sukarela bikinan Jepang (PETA). Sarbini juga ikut pandu HW sebelum Jepang datang. Menurut M.T. Arifin dalam Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan (1987: 11), Sarbini Martodiharjo pernah jadi guru HIS Muhammadiyah dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Banyumas.
Sarbini, seperti ditulis Peter Britton dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat (1996: 160), adalah “anak pemimpin agama di Kebumen dan dikenal sebagai seorang yang teguh menerapkan prinsip-prinsip agama.”
Terkait keislaman Sarbini, menurut catatan Salim Said dalam GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto (2015: 113), ia mendirikan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) bersama R. Soedirman (mantan Panglima Brawijaya) untuk mengimbangi kelompok merah PKI yang punya Universitas Rakyat.
Sebelum serdadu Jepang mendarat di Indonesia, Sarbini Martodiharjo tak bisa membayangkan jika dirinya berkarier di tentara, bahkan akhirnya jadi jenderal bintang tiga. Tokoh muda Muhammadiyah lain yang masuk PETA, menurut M.T. Arifin, adalah Mr. Kasman Singodimedjo, Sarbini, Soedirman, dan Yunus Anis (hlm. 172).
Sarbini masuk pendidikan PETA di Bogor selama beberapa bulan sebelum akhirnya jadi komandan kompi (chudancho) di Gombong. Dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989: 286-287), Harsya Bachtiar menyebut bahwa dia menjadi komandan kompi di sana dari 1943 hingga 1945.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, waktu Badan Keamanan Rakyat (BKR) berdiri, Sarbini tidak ketinggalan. Dia ikut menyusun pasukan. Jika sebelumnya dia memimpin pasukan PETA yang jumlahnya hampir 100 orang, di BKR dia melatih dan memimpin ratusan orang.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sarbini sempat sebentar jadi komandan batalyon dan komandan resimen. Sarbini jadi komandan resimen di Magelang waktu ada pertempuran melawan Sekutu di sekitar Ambarawa. Di resimen pimpinan Sarbini ini terdapat satu batalyon yang dipimpin Mayor Ahmad Yani.
Di masa-masa awal kemerdekaan itu, sebagai komandan di Magelang, Letnan Kolonel Sarbini pernah memerintahkan bumi hangus atas Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Magelang. “[Perintah itu dikeluarkan] Lantaran RSJ Magelang dianggap menampung orang-orang Belanda,” tulis Denny Thong dalam Memanusiakan manusia: menata jiwa membangun bangsa (2011: 278). Namun hal itu dicegah Dr. Soerojo.
Setelah Revolusi kemerdekaan usai, Sarbini pernah menjabat Panglima Tentara & Teritorial di Jawa Timur (Brawijaya) dari 1956 hingga 1959, lalu di Jawa Tengah (Diponegoro) dari 1961 hingga 1964. Sebelum Sarbini, panglima Diponegoro dijabat Pranoto Reksosamoedro, dan sebelumnya lagi adalah Soeharto. Sarbini lebih senior secara kepangkatan dibanding keduanya di PETA.