Menuju konten utama
21 Agustus 1977

M. Sarbini: Bapak Veteran yang Membiarkan Sukarno Jatuh

Kembang berkalung.
Membangun dan menghimpun
para legiun.

M. Sarbini: Bapak Veteran yang Membiarkan Sukarno Jatuh
M. Sarbini Martodiharjo (29 Mei 1914-21 Agustus 1977), bapak veteran RI. tirto.id/Sabit

tirto.id - Setidaknya ada dua Sarbini dalam sejarah gerakan kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah. Pertama adalah Sarbini yang bekas serdadu Belanda (KNIL) dan kemudian jadi murid K.H. Ahmad Dahlan sejak 1915. “Pemuda Sarbini pandai baris-berbaris, pandai memukul genderang, berkemah dan juga menunggang kuda. Semua kegiatan itu amat penting bagi perkembangan kepanduan Hisbul Wathan,” tulis Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan (1985: 146).

Sarbini kedua adalah Mohammad Sarbini Martodiharjo yang pernah jadi tentara sukarela bikinan Jepang (PETA). Sarbini juga ikut pandu HW sebelum Jepang datang. Menurut M.T. Arifin dalam Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan (1987: 11), Sarbini Martodiharjo pernah jadi guru HIS Muhammadiyah dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Banyumas.

Sarbini, seperti ditulis Peter Britton dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat (1996: 160), adalah “anak pemimpin agama di Kebumen dan dikenal sebagai seorang yang teguh menerapkan prinsip-prinsip agama.”

Terkait keislaman Sarbini, menurut catatan Salim Said dalam GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto (2015: 113), ia mendirikan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) bersama R. Soedirman (mantan Panglima Brawijaya) untuk mengimbangi kelompok merah PKI yang punya Universitas Rakyat.

Sebelum serdadu Jepang mendarat di Indonesia, Sarbini Martodiharjo tak bisa membayangkan jika dirinya berkarier di tentara, bahkan akhirnya jadi jenderal bintang tiga. Tokoh muda Muhammadiyah lain yang masuk PETA, menurut M.T. Arifin, adalah Mr. Kasman Singodimedjo, Sarbini, Soedirman, dan Yunus Anis (hlm. 172).

Sarbini masuk pendidikan PETA di Bogor selama beberapa bulan sebelum akhirnya jadi komandan kompi (chudancho) di Gombong. Dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989: 286-287), Harsya Bachtiar menyebut bahwa dia menjadi komandan kompi di sana dari 1943 hingga 1945.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, waktu Badan Keamanan Rakyat (BKR) berdiri, Sarbini tidak ketinggalan. Dia ikut menyusun pasukan. Jika sebelumnya dia memimpin pasukan PETA yang jumlahnya hampir 100 orang, di BKR dia melatih dan memimpin ratusan orang.

Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sarbini sempat sebentar jadi komandan batalyon dan komandan resimen. Sarbini jadi komandan resimen di Magelang waktu ada pertempuran melawan Sekutu di sekitar Ambarawa. Di resimen pimpinan Sarbini ini terdapat satu batalyon yang dipimpin Mayor Ahmad Yani.

Di masa-masa awal kemerdekaan itu, sebagai komandan di Magelang, Letnan Kolonel Sarbini pernah memerintahkan bumi hangus atas Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Magelang. “[Perintah itu dikeluarkan] Lantaran RSJ Magelang dianggap menampung orang-orang Belanda,” tulis Denny Thong dalam Memanusiakan manusia: menata jiwa membangun bangsa (2011: 278). Namun hal itu dicegah Dr. Soerojo.

Setelah Revolusi kemerdekaan usai, Sarbini pernah menjabat Panglima Tentara & Teritorial di Jawa Timur (Brawijaya) dari 1956 hingga 1959, lalu di Jawa Tengah (Diponegoro) dari 1961 hingga 1964. Sebelum Sarbini, panglima Diponegoro dijabat Pranoto Reksosamoedro, dan sebelumnya lagi adalah Soeharto. Sarbini lebih senior secara kepangkatan dibanding keduanya di PETA.

Kembang berkalung. Membangun dan menghimpun para legiun. #MozaikTirto

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on

Jadi Menteri Sukarno

Di tahun-tahun panas perseteruan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Angkatan Darat, Sarbini diangkat Presiden Sukarno menjadi Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi pada 27 Agustus 1964. Lantaran kedekatannya dengan Sukarno, dia dianggap sebagai Sukarnois dari kalangan Angkatan Darat.

Pada Desember 1964, Sarbini dan pimpinan Legiun Veteran RI mengusulkan pembangunan gedung untuk para veteran dan meminta pembebasan tanah kavling di Semanggi. Tahun berikutnya, pada 7 Juni 1965, Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Veteran RI. Kawasan ini dulu disebut Graha Purna Yudha (Grandha). Saat ini, kompleks tersebut terdiri dari tiga bangunan besar, yaitu Gedung Veteran, Plaza Semanggi, dan sebuah gedung yang mengabadikan nama Sarbini: Balai Sarbini

Awal 1966, setelah G30S gagal dan kabinet dirombak, Sarbini diangkat menjadi Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, menggantikan A.H. Nasution. Dalam kondisi yang kacau ini, Sukarno berusaha membuat semuanya stabil. Sukarno tentu punya alasan. “Sarbini sangat disegani di kalangan Angkatan Darat sebagai bekas Panglima divisi-divisi Brawijaya dan Diponegoro dan punya hubungan dekat dengan Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986: 194).

Kebetulan, Soeharto yang jadi orang nomor satu di Angkatan Darat, setelah Yani terbunuh, adalah junior dari Sarbini.

Setelah 1965, Sukarno mulai terancam kekuasaannya sebagai presiden. Banyak suara meminta Sukarno mundur. Sementara itu Letnan Jenderal Soeharto makin naik daun. Sarbini yang dianggap Sukarnois, menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI (1986: 401), dianggap “sama sekali bukan Sukarnois yang gigih.” Dia belakangan menjadi orang yang membiarkan Sukarno jatuh.

Sedangkan O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976) menyebut, “Letnan Jenderal Sarbini, yang senantiasa menahan diri dalam mengecam Sukarno, sekarang turut dalam arus mendesak Sukarno mengundurkan diri” (hlm. 112).

Sarbini hanya sebulan jadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Dia kemudian digantikan oleh Soeharto, juniornya. Kala itu, pangkat Sarbini sudah mayor jenderal.

Setelahnya, ia jadi Menteri Demobilisasi dan Pensiunan Tentara dari Maret hingga Juli 1966 dan Menteri Veteran dan Demobilisasi dari Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967. Dari 1967 hingga 1968, dia sempat menjadi Menteri Transmigrasi, Veteran dan Demobilisasi. Dalam Kabinet Pembangunan I, Sarbini jadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi dari 1968 hingga 1971.

Karena aktivitasnya di organisasi veteran dan beberapa kali menjadi menteri yang mengurusi veteran, Sarbini dijuluki "bapak veteran Indonesia".

Infografik Mozaik M Sarbini Martodiharjo

Menggunjingkan Soeharto

Pada dasawarsa 1970-an, Letnan Jenderal Sarbini pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ketika Wilopo dilantik sebagai Ketua DPA pada 1975 oleh Soeharto, Sarbini diangkat menjadi Wakil Ketua. Alamsyah Ratu Perwiranegara, yang setia sekali kepada Soeharto, adalah salah satu anggota di lembaga itu.

Diceritakan Alamsyah dalam autobiografinya, H.ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995), pada sebuah pertemuan anggota DPA, dirinya merasa kesal gara-gara Soeharto dipergunjingkan karena dianggap korup dan nepotis (hlm. 238-239).

“Bagaimana bila saya usulkan saja tugas DPA ditambah jadi tiga, selain yang diatur pasal 16 Undang-undang Dasar 1945, juga mempergunjingkan Presiden dan keluarganya,” usul Alamsyah yang bukan orang Jawa, hingga anggota lain yang lebih tua darinya pun jadi tegang.

Sarbini kemudian memanggilnya dan bilang, “Kepada orang-orang tua, Mas Alamsyah mestinya jangan begitu.”

Alamsyah pun menjawab, “Saya sudah kesal, saya tidak tahan mendengar terus-terusan gunjingan seperti itu, sebab rasa korps dan setia kawan sesama jenderal saya tidak mengizinkan, kalau memang itikadnya baik, bentuk saja delegasi DPA untuk dialog langsung dengan Presiden Soeharto.”

Sarbini yang lebih senior berusaha agar Alamsyah bersikap santun ala jawa. “Ya, tapi caranya yang halus dong,” balas Sarbini. Setelahnya, Alamsyah menjelaskan tentang dua tugas DPA, yaitu menjawab pertanyaan dan memberi saran kepada presiden.

Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Sarbini pernah menjadi Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Indonesia. Seharusnya dia menjabat dari 1974 hingga 1978. Tapi Sarbini tutup usia pada 21 Agustus 1977, tepat hari ini 41 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan