tirto.id - PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menyatakan proyek Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodebek baru bisa balik modal setelah 13 tahun beroperasi.
Mengenai hal tersebut, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana menilai, balik modal setelah 13 tahun beroperasi sudah terhitung cepat saat ini. Asalkan, mengenai jumlah penumpang dan tarifnya bersifat realistis.
"Balik modal itu kan harusnya termasuk biaya investasi prasarana, tidak hanya biaya investasi sarana dan operasi sarana, jadi ya sangat wajar kalau balik modalnya atau break event point nya perlu waktu panjang," ucap Aditya kepada Tirto, Jakarta, Kamis (20/7/2023).
"13 tahun sebenarnya terhitung cepat, asalkan memang asumsi jumlah penumpang dan tarifnya itu realistis," sambungnya.
Aditya mengatakan, sebagai perbandingan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) mempunyai konsesi hingga 50 tahun. Dan bahkan sekarang pengajuannya diperpanjang hingga 80 tahun. Artinya, perlu waktu yang lama untuk mencapai Break Event Point (BEP) serta sekaligus meraih untung.
"Apalagi LRT ini kan tarif nya bersubsidi, yang umumnya besaran maksimal margin keuntungannya sudah ditentukan, jadi tentu fleksibilitas keuntungannya akan terbatas," bebernya.
Menurutnya, kalau pembangunan infrastruktur dan pembelian sarananya menggunakan dana pinjaman perbankan ataupun dengan penerbitan obligasi. Maka, nantinya akan ada seperti tambahan beban bunga yang ditanggung oleh KAI, dan ini merupakan faktor yang mempengaruhi BEP.
"Hal lain, ya sebenarnya tergantung juga penentuan asumsi perolehan pendapatan di luar tiket, misalnya dari pemasangan iklan, penyewaan ruang komersial, dan hak penamaan stasiun (naming rights), dan lainnya, karena ini akan menjadi faktor penambah pendapatan LRT Jabodebek dan memengaruhi periode raihan BEP nya," pungkasnya.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang