Menuju konten utama

Logika Halal dan Sertifikasi MUI

Hukum asal dari segala sesuatu adalah halal dan mubah, selama tidak terdapat ketentuan yang membuat sesuatu yang dimaksud menjadi haram.

Logika Halal dan Sertifikasi MUI
Ilustrasi detergent.

tirto.id - “Gus, tanya. Semua yang halal dimakan itu kan suci, lalu kalau air mani itu gimana Gus? Halal juga dimakan? Kan air mani suci.”

Santri yang sedang bertanya itu teman satu kelas saya. Pertanyaannya mendadak langsung melenyapkan suara satu ruang kelas. Sunyi seketika. Barangkali saat itu semua sepakat pertanyaan tersebut tidak sopan. Akan tetapi, dalam hati kecil saya ada juga rasa penasaran. Kalau dipikir kembali, pertanyaan ini memang penting.

Sore itu sedang berlangsung kelas Diniyah yang sedang mengaji kitab At-Tadzhib fi Adilatit Taqrib. Sebuah kitab rujukan ilmu fikih ulama kontemporer dari Suriah, Prof. Dr. Mushthafa Dib al-Bugha.

Ustaz saya cuma tersenyum. Lalu sambil berjalan menuju ke meja santri yang bertanya, ia menyerahkan sajadah. Kemudian kembali lagi ke depan. Teman saya kikuk. Tidak tahu apa artinya.

“Jadi, jawabannya Gus?”

“Ya itu jawabannya,” kata Ustaz saya sambil menunjuk.

Satu kelas memandang sajadah tersebut. Memang ada apa di sana? Jawaban macam apa yang bisa didapat dari sajadah itu?

“Maksudnya Gus?”

Satu kelas berhenti dalam tanya. Apa hubungannya air mani dengan sajadah? Lebih-lebih, apa yang bisa didapatkan dari sajadah di atas meja untuk menjawab apakah air mani halal atau tidak untuk dikonsumsi?

Pertanyaan yang sama kembali muncul ketika PT Total Chemindo Loka menerbitkan untuk pertama kali dan—masih—jadi satu-satunya di Indonesia sebuah detergen yang halal. Paling tidak yang pertama ada logo halalnya saat pengenalan produk dengan merek “Total Almeera” di Bebek Bengil, Jl. H. Agus Salim, Menteng, Rabu (15/3) kemarin

“Jadi Total Almeera ini ditargetkan khusus untuk saudara-saudara kami yang Muslim. Kami ingin memberi rasa aman dan nyaman dalam menggunakan produk ini," kata F. Gunawan, Direktur Utama Total Chemindo Loka.

Melihat mayoritas masyarakat Indonesia, maka produk ini jelas secara eksplisit ditargetkan untuk keluarga muslim. Produk ini diharapkan bisa mengangkat pangsa pasar Total setinggi-tingginya.

“Kalau punya niat baik untuk memberikan rasa aman kepada saudara-saudara yang Muslim, insya Allah saya berharap rida. Kami ingin setinggi-tingginya,” kata Gunawan.

Kata “Almeera” yang berarti Putri Raja, memiliki dua jenis. Bubuk dan cairan yang dijual dalam variasi ukuran, dari yang kecil hingga kemasan 900 gram. Dengan harga Rp1.000 yang paling kecil hingga Rp18.000 untuk ukuran terbesar.

Jika kita kembali pada kata “halal”, mengacu pada arti bahasanya, kata halal berarti diperbolehkan. Maka apa yang diklaim mengenai halal adalah hal-hal yang diperbolehkan, terutama dalam kaitannya akan agama Islam. Halal tidak selalu berkaitan dengan aktivitas yang menyasar pada makanan, tetapi juga perbuatan maupun benda.

Infografik Produk Halal Non Makanan

Almeera bukan produk non-makanan pertama yang memuat logo halal sebagai tanda sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebelumnya ada produk kosmetik seperti Wardah, Zoya, Mazaya, Muslimah, sampai SillyGirl Lipcream. Bahkan Zoya juga sempat mengeluarkan produk kerudung halal pada 2016.

Dengan adanya logo halal, diasumsikan bahwa produk-produk tersebut diperbolehkan secara agama untuk digunakan. Jika mengacu pada hukum taklifi, hukum yang membebani setiap muslim yang sudah balig, maka kategorinya masuk pada mubah. Ini seperti kaidah usul fikih, al-ashlu fil asyya-I al-ibaahah, bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah halal dan mubah. Lalu kaidah usul fikih ini dilanjutkan hatta yadullu, yang artinya selama tidak terdapat ketentuan yang membuat sesuatu yang dimaksud menjadi haram.

Kita bisa ambil contoh mengenai hukum daging kambing yang boleh dimakan. Dasar daging ini adalah halal atau mubah, namun karena—misalnya— tidak disembelih dengan nama Tuhan, maka kategori daging ini jadi bangkai. Dan karena dalam surat Al An’am ayat 6 disebutkan bahwa bangkai, darah, dan daging babi haram untuk dikonsumsi maka hukum asal daging kambing yang tadinya halal menjadi haram.

Dalam runtutan memahami usul fikih, ketentuan haram ini sama saja dengan logika halal. Bahwa bukan hanya merujuk pada sesuatu yang dimakan, namun juga pada perbuatan dan benda-benda. Haram lebih merujuk pada kata sifat daripada kata benda. Masalahnya seringkali kata haram juga dimaknai dekat sekali dengan kata najis, persis seperti kata suci yang dianggap dekat dengan kata halal.

Jika ada yang seharusnya diluruskan maka tentu mengenai kebijakan MUI yang justru membalik kaidah usul fikih ini. Jika awalnya, segala sesuatu adalah halal sampai kemudian ada ketentuan yang membuatnya haram, sertifikasi dan logo halal malah membuat segala sesuatu menjadi halal ketika dibikin ketentuannya.

Perspektif yang muncul kemudian adalah Almeera merasa punya legitimasi lebih bahwa produknya adalah satu-satunya yang berlogo halal. Tentu saja hal ini memunculkan premis bahwa, detergen lain yang tidak berlogo halal berarti diragukan kehalalannya karena tidak bersertifikat. Premis yang tentu saja memunculkan kerancuan.

Jika menggunakan kaidah usul fikih, bukan malah logo dan sertifikasi halal yang seharusnya dikeluarkan oleh MUI, tetapi justru logo haram. Karena apapun yang tidak dikenai ketentuan haram, dasarnya adalah halal dan mubah.

Inilah runtutan penjelasan yang kemudian menjadi jawaban dari Ustaz saya saat menjawab pertanyaan apakah air mani halal atau tidak. “Jadi, bagaimana Gus?” tanya Hamzah Arofah, teman saya yang bertanya tadi.

Ustaz Takmir, guru saya ini kembali tersenyum lalu memberi penjelasan, “Kalau kamu memang doyan, silakan saja sajadah saya itu kamu makan.”

Mendadak ruang kelas jadi semakin sepi karena memahami maksud ucapan Ustaz Takmir. Lalu tawa meledak begitu keras. Kami, para santri langsung memahami logika soal hukum halal dan suci.

“Semua yang halal itu memang pasti suci, namun tidak semua yang suci otomatis jadi halal. Makanan yang dibeli dari hasil mencuri itu suci, namun jadi haram karena cara mendapatkannya,” jelas Ustadz Takmir, “Ini seperti apapun yang najis selalu haram, namun yang haram, belum tentu dikategorikan sebagai najis.”

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI HALAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti