tirto.id - Ketika BlackBerry mengumumkan tak lagi memproduksi ponsel secara in-house, banyak pihak yang mengira merek tersebut tinggal menunggu mati. Padahal BlackBerry telah memilih model bisnis lain yakni partnership (kerjasama) dan menjual lisensi (brand licenses) pada pihak ketiga untuk memproduksi ponsel (dan mungkin tablet) berlogo BlackBerry.
Sistem seperti ini sangat lazim dilakukan oleh perusahaan teknologi, dan BlackBerry bukanlah yang pertama. Blaupunkt, perusahaan dan merek dagang asal Jerman yang lebih dikenal dengan produk audio kendaraan, merupakan salah satu yang cerdas melihat peluang lisensi merek.
Sejak 2014, produk dengan logo Blaupunkt bisa ditemui pada produk ponsel, tablet hingga peralatan elektronika rumah tangga. Padahal, produk tersebut didesain dan diproduksi oleh perusahaan pihak ketiga yang ‘mendompleng’ merek secara resmi dan legal.
Pada awal Februari lalu, Archos - perusahaan teknologi asal Perancis - juga mengumumkan keputusannya melisensi nama dan merek Kodak untuk turut disematkan pada produk tablet lansiran mereka. Langkah serupa, meski tidak sama persis, juga bisa dilihat pada kerjasama lisensi yang dilakukan Nokia dengan Zeiss, Huawei dengan Leica, atau yang terbaru Motorola dengan Hasselblad.
Meski ada pepatah, “Apalah arti sebuah nama?”, dalam urusan pemasaran, sebuah nama yang baik bisa berbuah kepercayaan, kekuatan dan gengsi yang tinggi di mata calon konsumen.
Jika dibandingkan dengan kabar miring yang menerpa BlackBerry, keputusan tersebut seharusnya bukanlah hal yang asing. Namun, lantaran lebih dulu dikenal sebagai merek yang melakukan desain, pembuatan, penjualan dan promosi ponsel BlackBerry secara langsung, kabar tersebut sering disalahartikan sebagai kematian bagi BlackBerry.
Selain lebih mudah dan murah, cara seperti ini juga dinilai sangat efektif, khususnya saat persaingan telepon selular semakin ketat.
OEM vs Lisensi Merek
Melihat sejarah, BlackBerry sempat memiliki pabrik di pelbagai negara termasuk di Malaysia pada 2011. Namun, biaya yang dibutuhkan untuk mempertahankan sebuah pabrik, apalagi ketika penjualan tidak baik, tidak menguntungkan. Praktis BlackBerry memutuskan untuk menutup pabriknya dan memilih opsi bekerjasama dengan pabrikan lain atau yang biasa disebut Original Equipment Manufacturer (OEM).
Sistem OEM yang disebutkan sebelumnya bahkan merupakan praktik yang lebih umum, O2 XDA di era 2000-an tidak memiliki pabrik, namun dari hasil kerjasama dengan HTC, Quanta, dan Erima, ia bisa memroduksi ponsel cerdas berbasis Windows Mobile hingga beberapa generasi.
Ada juga perusahaan yang mengkombinasikan sistem OEM dengan in-house, seperti yang dilakukan oleh Motorola. Seri Motorola Quench XT5 di 2010 merupakan buktinya. Seri tersebut didesain dan dibuat oleh Foxconn--yang lebih dikenal sebagai pabrikan pembuat produk Apple iPhone, iPad, dan iPod Touch. Berdasarkan seri produksi Foxconn F911--di Indonesia, seri tersebut lebih dikenal dengan nama Nexian Journey, padahal saat itu Motorola masih memproduksi ponsel pintar secara mandiri seperti seri Motorola Droid.
Untuk BlackBerry, langkah serupa dilakukan sejak seri tablet BlackBerry PlayBook (Foxconn) hingga yang terakhir seri DTEK50 dan DTEK60 (TCL). Dua seri yang terakhir disebutkan merupakan kembaran dari seri Alcatel Idol 4 dan Idol 4s. Saat itu, BlackBerry memilih untuk menggunakan desain dan spesifikasi hardware Alcatel Idol series untuk seri Dtek, namun menanamkan sistem operasi Android yang berbeda serta enkripsi pada level hardware maupun software.
Dibandingkan dengan Apple - yang sejak awal mempercayakan pada Foxconn untuk urusan produksi - langkah BlackBerry memang berbeda. Apple, setidaknya, masih setia mendesain komponen dan arsitektur produk yang dijualnya sementara BlackBerry sudah sepenuhnya menyerahkan urusan desain, produksi dan distribusi ke para pelisensi.
TCL, yang kini sudah resmi sebagai salah satu pemegang lisensi merek BlackBerry, tidak sendirian. Kerjasama lisensi yang diberikan memiliki batasan karena BlackBerry juga memberikan lisensi tersebut kedua pabrikan lain yakni BB Merah Putih untuk memproduksi dan memasarkan ponsel BlackBerry di Indonesia dan Optiemus Infracom Ltd untuk wilayah India, Sri Lanka, Nepal, dan Bangladesh.
Dari segi bisnis, konsep lisensi merek ini cenderung menguntungkan dibandingkan OEM. Selain mendapatkan fee dari pelisensi, para pemegang merek juga tak perlu dipusingkan untuk urusan desain dan spesifikasi komponen yang menguras kas perusahaan.
Selamat Datang Kembali BlackBerry
Pada bulan Oktober tahun lalu, CEO BlackBerry John Chen sudah menegaskan bahwa langkah untuk tidak memproduksi ponsel BlackBerry secara in-house merupakan strategi bisnis. Sebagai ponsel, BlackBerry akan tetap ada karena akan didesain dan diproduksi oleh tiga pabrikan besar yakni TCL, Optiemus, dan BB Merah Putih. Sedangkan dari segi perangkat lunak, BlackBerry masih setia menyediakan aplikasi dan layanan untuk level pemerintah dan korporat.
Jika sebelumnya data Gartner menunjukkan pangsa pasar ponsel BlackBerry ada di angka 0,0482 persen, jangan lupakan bahwa berdasarkan penelitian Gartner pula, BlackBerry sebagai penyedia layanan Enterprise Mobility Management (EMM) meraih skor tertinggi di 6 kategori, mengalahkan 19 perusahaan perangkat lunak yang diisi oleh nama-nama seperti Samsung, VMware, IBM dan Microsoft.
Dengan diluncurkannya seri BlackBerry KeyOne Minggu lalu pada Mobile World Congress (MWC), indikasi kematian ponsel BlackBerry bisa ditunda. Sayangnya, ponsel tersebut kemungkinan besar tidak akan bisa dipasarkan di Indonesia (setidaknya secara resmi) lantaran ‘embargo’ lisensi untuk wilayah Indonesia, India, Sri Lanka, Nepal dan Bangladesh.
Pertanyaannya kini adalah, ponsel pintar BlackBerry seperti apakah yang akan dihadirkan oleh PT BB Merah Putih? Bisakah BlackBerry mengulang kesuksesannya di Indonesia? Menarik untuk ditunggu.
Penulis: Andry Togarma Hermawan
Editor: Suhendra