Menuju konten utama

Letusan Tangkuban Parahu dan Mitos Gunung dalam Kosmologi Sunda

Pergeseran keyakinan di kalangan etnik Sunda telah mengubah pandangan mereka terhadap gunung dan bentang alam lainnya.

Letusan Tangkuban Parahu dan Mitos Gunung dalam Kosmologi Sunda
Petugas membersihkan debu vulkanik di sekitar Kawah Ratu pascaerupsi Gunung Tangkuban Parahu, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Minggu (28/7/2019). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.

tirto.id - Gunung Tangkuban Parahu atau lebih sering disebut Tangkuban Perahu meletus pada Jumat (26/7/2019). Gunung yang terletak di Provinsi Jawa Barat ini, berdasarkan catatas sejarah, pernah beberapa kali meletus, termasuk erupsi tahun 1829.

Menurut keterangan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang dilansir melalui siaran pers Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada 26 Juli 2019 berlangsung 5 menit lebih 30 detik. Akibat erupsi ini, Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu ditutup selama tiga hari sejak Sabtu (27/7/2019).

Orang Sunda punya mitos dan legenda tersendiri tentang Tangkuban Parahu, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mitos dan legenda itu menunjukkan bahwa kosmologi Sunda memang sangat erat dengan gunung.

Saat kamus bahasa Sunda yang disusun oleh Jonathan Rigg diterbitkan pada 1862, leksikograf asal Inggis itu mengutip sebuah ungkapan dalam bahasa Sunda yang berbunyi: “beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang”, yangartinya “hasil berguru kepada gunung dan bertanya kepada Guriang”.

Guriang diyakini sebagai lelembut, siluman, dan sebagainya. Ada juga yang mengartikan sebagai roh gunung. Di Bandung, setidaknya ada dua tempat yang memakai nama ini. Pertama, Jalan Ciguriang, yang letaknya tak jauh dari Alun-Alun Bandung. Dan kedua, mata air Ciguriang, dekat Stasiun Bandung.

Ungkapan tersebut, menurut Hawe Setiawan dalam Sunda Abad ke-19: Tafsir atas Ilustrasi-ilustrasi Junghuhn (2019), menunjukkan bahwa bagi masyarakat Sunda lama, gunung dan Guriang adalah sumber atau setidaknya yang menginspirasi mereka tentang pengetahuan, kearifan, kebaikan, dan keindahan.

“Masyarakat Sunda lama menghormati gunung dan hutan melalui sarana mitologis, seperti folklor dan cerita pantun, upacara, dan pamali,” imbuhnya.

Salah satu karya sastra Sunda klasik yang menunjukkan pengagungan terhadap gunung adalah kisah perjalanan Bujangga Manik dalam mencari ilmu dan singgah ke sejumlah tempat suci.

Dalam naskah lontar yang telah diterjemahkan dan tertuang dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna (2006) tersebut, kita dapat mengindeks nama-nama gunung yang disinggahi Bujangga Manik, dan umumnya merupakan tempat yang disucikan.

“Gunung dan hutan, tiang langit yang luhur dan permadani bumi yang subur, pernah mengisi lanskap batin masyarakat Sunda, khususnya yang berdiam di dataran tinggi Pringan,” imbuh Hawe.

Ia menulisnya “pernah mengisi”, dan “Sunda lama”. Hal ini karena bagi mayoritas masyarakat Sunda kiwari, dua hal tersebut, yakni “gunung dan Guriang” yang dipuja dan disucikan, sudah tidak relevan.

Dalam hal keagamaan, masyarakat Sunda telah berabad-abad memeluk Islam. Dan seperti sejumlah daerah di Indonesia lainnya, orang Sunda dikenal sangat taat. Tak heran jika kemudian lahir jargon yang berbunyi: “Islam itu Sunda, Sunda itu Islam”. Ketaatan ini juga oleh sebagian kalangan kerap dikaitkan dengan konstelasi politik di Jawa Barat yang terus berdenyut sepanjang sejarah Republik.

Secara sosial budaya, sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, kepedulian terhadap alam, dalam hal ini gunung dan hutan, telah habis terkikis. Modernitas melahirkan keserakahan. Bila pun ada yang tersisa, jumlahnya hanya sedikit, yakni komunitas-komunitas adat yang masih memegang teguh warisan karuhun.

Jejak pergeseran nilai ini salah satunya terlihat dalam kasus film Sang Kuriang pada 1983. Kala itu masyarakat Pasundan memprotes keras film tersebut karena dianggap menghina etnis mereka. Pelbagai lembaga pemerintah dan tokoh Sunda turun tangan menangani masalah itu.

Padahal nama Sangkuriang terdengar berasal dari kata Sang Guriang atau Sang Guru Hyang, sosok yang sejajar dengan kata “gunung” pada ungkapan yang pernah dikutip Jonathan Rigg dalam A Dictionary of the Sunda Language of Java.

“[Sangkuriang] tebersit dari aura sakral Tangkubanparahu, gunung api di belahan utara Bandung yang timbul dari sisa-sisa ledakan dahsyat Gunung Sunda,” tulis Hawe.

Ajip Rosidi dalam Manusia Sunda (1984) mencatat, penolakan masyarakat Pasundan terhadap film Sang Kuriang bisa jadi karena kisah tersebut pada dasarnya menghadirkan dua makhluk berwujud binatang, yakni babi dan anjing, sebagai bagian dari jalannya cerita.

Babi hutan yang bernama Celeng Wayungyang adalah ibunya Dayang Sumbi, sementara anjing yang bernama Tumang, merupakan ayah dari Sangkuriang. Kedua binatang tersebut barangkali tak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Sunda purba yang hidup berladang. Babi hutan biasanya hadir sebagai perusak ladang, sementara anjing sebagai hewan penjaga dan pemburu.

Sang bujangga yang mula-mula menulis kisah ini tentu merangkai kisahnya berdasarkan hal-hal yang dekat dengan kesehariannya.

Sementara masyarakat Sunda kiwari yang sudah berabad-abad memeluk Islam, tentu tak dapat menerima jika anjing dan babi dianggap sebagai nenek moyang oleh orang Sunda.

“Pada masa itu agama Islam sendiri mungkin belum lahir ke dunia, dan keduanya adalah binatang yang akrab dengan manusia yang hidup berladang [...] Memang saya tahu, banyak orang Sunda sendiri yang tidak suka mendengar dirinya dihubungkan dengan anjing dan babi, yang menurut penilaian manusia Sunda masa kini umumnya keduanya bukanlah binatang mulia,” tulis Ajip.

Infografik Gunung Dalam Kosmologi Sunda

Infografik Gunung Dalam Kosmologi Sunda. tirto.id/Quita

Dendang Orang Gunung

Orang Sunda memang orang gunung. Setidaknya sebelum bahasa Sunda "ditemukan" dan dimurnikan oleh para sarjana Belanda. VOC menamai mereka sebagai “Jawa Gunung”.

“Dan etnis Sunda memang menduduki tanah pergunungan dan puncak-puncaknya bertebaran seperti sedang melakukan rapat abadi. Kehidupan damai membuat Priangan seakan membuat penduduknya tidak pernah beranjak dari gunung-gunungnya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2010).

Kaitan antara bahasa dan penyebutan tersebut diterangkan Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013). Herbert de Jager (1636-1694), seorang sarjana Belanda dari Leiden, tercatat sebagai orang pertama yang menyebut bahasa Sunda sebagai Zondase taal.

“Bahasa itu digunakan di bagian barat Pulau Jawa,” ucapnya.

Dan sejak abad ke-17 sampai awal abad ke-19, orang-orang Eropa menganggap bahasa Sunda sebagai salah satu dialek bahasa Jawa, yang digunakan oleh penduduk yang tinggal di pedalaman dan tempat-tempat yang jauh dari Batavia, serta di wilayah pergunungan.

“Orang Belanda menyebutnya bergjavaans (Jawa gunung),” imbuh Moriyama.

Dan Gunung Tangkuban Parahu yang belakangan erupsi, jika dilihat dari popularitas mitologi dan bagaimana masyarakat Sunda kiwari melihatnya, bisa jadi adalah representasi pandangan mereka terhadap kosmologi gunung yang pudar.

Asal-usul dan hubungan ruang dan waktu dalam alam semesta yang dipengaruhi paham Sunda lama tak lebih sekadar kisah masa lalu yang sebagian ceritanya mereka tolak dengan acuan agama dan pemahaman modern.

Bahkan ada sebuah ungkapan tradisional dalam masyarakat Sunda yang berbunyi: “Ulah munjung ka gunung, ulah muja ka sagara. Kudu munjung ka indung, kudu muja ka bapa,” yang inti maknanya adalah penghormatan kepada kedua orang tua, alih-alih kepada alam.

Gunung dan bentang alam lainnya kini hanya didendangkan dan dikenang sebagai sumber keindahan serta kehidupan yang telah invalid didera pelbagai peristiwa. Ingatan masa lalu sekadar jadi penghibur atas kerinduan terhadap kampung halaman.

Baca juga artikel terkait ERUPSI GUNUNG atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Ivan Aulia Ahsan