tirto.id - Enggannya perusahaan mencari pendanaan melalui pasar modal terlihat dari aktivitas IPO yang cenderung melemah secara global. Menurut “EY Global IPO Trends 2016 Q2”, selama semester I-2016, ada 437 IPO yang berhasil mendapatkan pendanaan hingga 43 miliar dolar secara global. Angka itu berarti ada penurunan sebesar 38 persen secara volume dan turun 61 persen dari sisi dana yang dihimpun, jika dibandingkan periode yang sama tahun 2015 .
Dari sisi perusahaan yang IPO, Asia Pasifik mencatat angka yang terbanyak mencapai 52 persen. Sementara EMEIA (European, Middle East, India, Africa) sebesar 36 persen, dan Amerika Serikat sebesar 10,3 persen. Namun, dari sisi dana yang diperoleh, EMEIA berhasil mendapatkan 44 persen, Asia Pasifik 40 persen, dan AS 16 persen.
EY memperkirakan, dalam jangka pendek, aktivitas IPO global diperkirakan terus terkena dampak karena kebijakan suku bunga AS, hasil British Exit (Brexit), dan juga penantian atas hasil Pilpres AS. Namun, begitu sumber ketidakstabilan itu mereda, maka lingkungan akan kembali positif dan IPO akan kembali marak.
Lesunya aktivitas IPO ini membuat sejumlah perusahaan investasi global terpukul. Goldman Sachs misalnya, memutuskan melakukan perampingan dengan mengurangi staf di Asia Pasifik. Di masa jayanya, Goldman Sachs mendominasi pasar saham Asia Pasifik bersama UBS, dan Morgan Stanley.
Selain lesunya IPO, Goldman juga harus menghadapi tantangan meningkatnya kompetisi dengan rivalnya dari Cina.
“Nilai, peluang di pasar sudah menguap,” jelas Keith Pogson, dari EY Asia Pasifik, seperti dikutip dari Reuters.
Pasar IPO Indonesia Juga Lesu
Kelesuan IPO juga terjadi di Indonesia. Sepanjang 2011 hingga 2015, hanya pada tahun 2013 saja target IPO tercapai 100 persen. Pada 2015, dari target 32 IPO, realisasinya hanya 15 emiten atau 47 persen saja. Pada 2014, dari target 30 emiten, hanya tercapai 19 emiten atau 63 persen saja.
Dari sisi nilai, IPO pada 2015 berhasil mengumpulkan dana hingga Rp11,27 triliun. Perolehan ini lebih tinggi dari tahun 2014 yang sebesar Rp8,27 triliun. Namun, jauh dibandingkan tahun 2013 dengan Rp16,73 triliun.
Kondisi ini belum membaik hingga memasuki 2016. Hingga minggu ketiga Agustus 2016 dari target 35 perusahaan, baru 26 persen yang tercapai.
Meski target baru tercapai sekitar seperempatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) optimistis target 35 IPO akan tercapai. Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat berharap adanya amnesti pajak akan dimanfaatkan oleh perusahaan sehingga IPO akan kembali marak.
"Akan ada banyak dana repatriasi masuk ke dalam negeri dari kebijakan itu, kondisi itu diharapkan dapat dimanfaatkan perusahaan untuk melepas sebagian sahamnya ke publik melalui mekanisme IPO," ujar Samsul, seperti dikutip dari Antara.
Melalui IPO, menurut dia, perusahaan akan mendapatkan dana dari publik sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis. Ia mengatakan bahwa pasar modal merupakan salah satu pintu masuk untuk menampung dana repatriasi itu di antaranya melalui instrumen investasi saham dan reksa dana.
Bukan Pilihan Start-up
Pasar modal yang dulunya hingar bingar memang sedang kehilangan kilaunya. Sebenarnya, banyak keuntungan yang akan diperoleh perusahaan jika mencatatkan sahamnya di pasar saham. Kredibilitas perusahaan tersebut menjadi lebih terjamin karena mereka diwajibkan untuk membeberkan laporan keuangannya setiap triwulan. Semua bisa meneropong, melihat, menganalisa kondisi keuangannya. Jika ternyata bagus, perusahaan itu berpeluang untuk mendapatkan pendanaan lanjutan.
Namun, opsi demikian bukan lagi favorit, terutama untuk perusahaan-perusahaan start-up besar asal Amerika Serikat. Start-up dengan valuasi tertinggi di dunia, Uber, boleh dikata "memimpin" pergerakan tren ini.
Perusahaan-perusahaan start-up saat ini telah diguyur dengan banyak sokongan dana dari perusahaan-perusahaan pemodal privat, hal yang membuat valuasi mereka membumbung tinggi. Hasilnya, banyak dari perusahaan tersebut yang kemudian menjadi ragu-ragu untuk melakukan IPO. Ketakutan valuasi tersebut jeblok akibat dari reaksi para investor publik yang kritis menjadi alasan utama mereka.
"[Hal itu] terutama sebagai akibat dari kondisi pasar saat ini yang telah menjadi jauh lebih konservatif dalam beberapa tahun terakhir," menurut Vineet Jain, pendiri perusahaan file sharing Egnyte, seperti dikutip dari Techworld.
Hal ini sudah dibuktikan dari jebloknya nilai saham perusahaan teknologi dunia dengan nama yang cukup dikenal seperti Zynga (turun 75 persen dari harga IPO-nya), Twitter (turun 30 persen), dan Groupon (turun 85 persen), seperti dikutip dari Forbes. Perusahaan-perusahaan tersebut pada awalnya memang menikmati peningkatan nilai saham yang luar biasa beberapa waktu setelah IPO. Namun, nilainya kemudian terus menukik turun di pasar saham yang kejam.
Sementara itu, berdasarkan laporan dari para auditor PricewaterhouseCoopers (PwC), total terdapat 118 perusahaan teknologi yang melakukan IPO pada 2014. Jumlah tersebut kemudian jatuh menjadi 92 perusahaan di 2015, dan diprediksi tren penurunan itu akan berlanjut di 2016.
Di AS, jumlah perusahaan teknologi yang melakukan IPO di 2015 turun hampir separuhnya menjadi 31 perusahaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 56 perusahaan.
Chief Executive Officer (CEO) Uber Travis Kalanick bahkan secara terang-terangan mengatakan jika ia sebisa mungkin akan menunda Uber untuk go public. Seperti dikutip dari Business Insider, Travis mengatakan bahwa Uber mungkin akan go public pada suatu saat dalam periode 10 tahun ke depan.
"Kadang-kadang mereka [investor] bertanya [mengenai IPO]. Apa yang saya katakan kemudian adalah kami memiliki kewajiban untuk pada akhirnya menemukan likuiditas kepada investor. Tapi hal yang lebih penting adalah kita juga memiliki ribuan karyawan yang memiliki saham [yang memberikan] darah, keringat, dan air mata mereka untuk membuat Uber sebuah perusahaan besar," kata Travis.
"Jadi saya mengatakan bahwa kita akan melakukan IPO selambat-lambatnya semanusiawi mungkin. Momen itu akan datang satu hari sebelum karyawan dan orang lain penting saya lainnya datang ke kantor saya dengan garpu rumput dan obor. Kami akan IPO satu hari sebelum itu. Apa kau mengerti?"
Travis meyakini, jika sebuah perusahaan hanya diperbolehkan IPO jika bisa mempertahankan struktur yang tidak birokratis.
Jadi, untuk beberapa waktu ke depan, pasar saham sepertinya masih harus bersabar menanti masuknya start-up ramai-ramai ke pasar modal.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti