tirto.id - Sejak tahu Mew dan Bloc Party akan tampil di Joyland 2023, saya sudah bertekad untuk menyaksikannya langsung. Keduanya selalu ada di hati saya sejak nama mereka naik daun di tahun 2000-an. Rock, music crafting, dan perfeksionisme mereka dalam berkarya menarik perhatian saya.
Selain itu, musik dan lirik Mew memang selalu berhasil “mencabik-cabik” hati, bahkan saat hati saya lagi di masa “aman”.
Kini, hati saya sedang tidak baik-baik saja. Dan saya bertekad ingin sekalian membuatnya hancur berkeping-keping.
Tentu saya tidak ingin selamanya patah hati. Musik Bloc Party yang kencang dan upbeat mungkin bisa menghibur dan membuat saya berjoget, kemudian lupa pada sosok lelaki berbintang Aries yang sudah mengganggu hidup saya belakangan ini.
Musik Pembuka Luka
Mew memutuskan untuk membuka Joyland 2023 dengan salah satu lagu yang sudah saya nantikan, “Special”. Lagu energetik ini langsung membuat saya berjingkrak dan sing along.
Sembari menikmati, saya menunggu “sihir” irama dan lirik Mew yang selalu membuat hati ngilu, karena saya membutuhkannya sekarang. Tapi sepertinya di lagu pertama ini, saya masih terpengaruh euforia sebagai penggemar Mew. Tidak ada tempat untuk patah hati di track pertama.
Namun saat suara falsetto Jonas Bjerre menyanyikan lagu “The Zookeeper's Boy” sebagai lagu kedua, rasa sendu mulai mengintip. Ini dia, dampak-dampak lagu Mew yang selalu saya rasakan sejak dulu. Ini dia perasaan yang saya cari!
Tapi sebenarnya saya heran dengan efek lagu-lagu Mew. Setiap mendengarnya, saya selalu dibuat seperti orang patah hati; bahkan saat saya lagi disayang-sayang oleh pacar.
Saya rasa nada tinggi lagu dan suara falsetto Jonas memengaruhi suasana hati saya menjadi sendu.
“Saat mendengar nyanyian bernada tinggi dan nyaring, otak kita melepaskan hormon perangsang yang meningkatkan keadaan gairah dan membuat Anda lebih perhatian. Tapi itu bukan satu-satunya pengaruhnya. Nada tinggi juga memicu emosi Anda," ujar psikolog kognitif musik, David Huron.
Pada sebuah wawancara, Jonas bercerita bahwa album keempatnya, And the Glass Handed Kites (2005) berbicara tentang ketakutan dan harapan.
Seperti ketakutan, harapan yang tidak terwujud juga pengalaman yang menyebalkan, bukan? Mungkin itu alasan lain, lagu-lagu Mew selalu mengusik hati.
Malam itu hati saya terombang-ambing. Gabungan antara nada melankolis dan melodik pada “Introducing Palace Prayer”, membuat saya merasa sendu sekaligus senang. Saya memberi nilai penampilan mereka malam itu 95 dari 100.
Walau kemegahan musik Mew yang bagi saya terdengar seperti orkestra tidak terlalu kentara, tapi Jonas yang tampil sederhana dan kalem, sukses menampilkan teknik falsettonya. Hal ini diperkaya harmonisasi suara dari para anggota band lainnya.
Saya melonjak kegirangan --bahkan terkesan norak-- saat riff gitar “Snow Brigade”mulai terdengar. Saya sudah berniat untuk ”bergoyang” brutal di lagu ini. Namun, ternyata sekali lagi, suara Jonas yang melengking, dan lirik di reffrain malah menggores luka lama, dan menjadi penghantar ke pintu masa lalu.
Memang saya tetap berlompatan di tengah-tengah keramaian penonton yang juga sangat menikmati “Snow Brigade” malam itu. Tapi, tidak ada yang tahu, bahkan Didi - teman yang ada di sebelah saya-- kalau darah mulai merembes, mendengar lirik yang dinyanyikan dengan nada tinggi ini:
I'll find you somewhere
Show you how much I care
Know that there is no escape
from my snow brigade
Lirik yang diulang-ulang sebanyak tujuh kali semakin mengorek ingatan akan seseorang yang ingin saya lupakan.
Bahwa sedari awal saya masuk area Joyland, saya selalu terkecoh melihat lelaki masa kini yang semuanya hobi mengenakan celana pendek, kaos, topi, dan kacamata, serta totebag - mengira mereka adalah lelaki Aries yang sudah mengacak-acak hati itu.
Bahwa selama pertemuan-pertemuan kami, saya hanya mampu melihat dari lirikan mata, dan tidak berani mendekat duluan. Atau sok menjadi komedian setiap kali kami punya kesempatan bercanda, karena hanya itu yang bisa saya lakukan untuk membuat perbincangan kami tidak kaku. Otak saya berputar setiap detiknya, mencari apalagi yang harus saya bicarakan agar kami bisa ngobrol lebih lama. Lidah dibuat kelu.
Sedangkan sebagai lelaki Aries, ia bisa sangat percaya diri dan energetik. Kharismanya sebagai Aries juga membuat seolah saya adalah satu-satunya perhatiannya. Aries memang memiliki karakteristik ini, tapi ia ramah pada semua orang. Tidak pada saya saja.
Karena dia jugalah, bahkan musik techno yang belakangan jadi playlist saya hanya jadi musik yang kosong. Termasuk saat saya meneduh di booth minuman dan mendengar dentuman DJ setsaat hujan lebat menghambat pertunjukan Joyland 2023 di hari pertama.
Saya hanya duduk terpaku melihat pengunjung yang berjoget mengikuti ritme musik gaduh di antara kesenduan derai hujan.
Closure…
Hujan turun lagi saat saya datang ke hari kedua. Tapi hari ini saya bertekad untuk tetap menari - dan tidak terlalu berhati-hati dengan risiko masuk angin, kaki kotor, atau hati yang pilu seperti yang saya alami sebelumnya kemarin.
Jas hujan sudah saya beli dari penjual di depan gerbang Lapangan Baseball, Senayan. Cocok, Glass Beams, band psychedelic jazzyang musiknya terpengaruh musik klasik, disko, dan pop dari tahun 70an, sedang tampil di Plainsong Stage.
Saya berdansa pelan berbalut jas hujan tipis yang gampang lepek karena hujan yang makin deras. Hari itu, saya menjadi penggemar baru band yang selalu menggunakan topeng saat manggung tersebut.
Tidak sedikit pengunjung Joyland 2023 yang juga memutuskan mengindahkan hujan yang makin lama makin deras. Terlindung dari jas hujan, pengunjung dengan postur badan membungkuk, kepala tertunduk, bersama-sama bergoyang menggerakkan kaki mengikuti ritme Glass Beams.
Penonton Joyland 2023 memang seperti haus akan nada-nada upbeat. Tujuan mereka satu: ingin bersenang-senang. Kesan yang saya tangkap adalah they are dancing like nobody's watching. Sendiri, berpasangan, atau bersama sekelompok teman-teman, semua terlihat asyik menikmati musik bertempo.
Bertolak belakang dengan saya yang sebelumnya mencari nada-nada melankolis Mew yang menyayat hati, di hari kedua ini tujuan saya sama seperti pengunjung lainnya, berdansa.
Namun kekhawatiran awal saya menjadi kenyataan. Bloc Party memutuskan menampilkan setlist yang kurang lebih sama seperti di panggung-panggung terakhir yang kurang sreg bagi saya. “In Situ”, lagu dari album terakhir mereka, jadi lagu pembuka.
Saat hentakan drum “In Situ” dimainkan, dan riff gitar mulai memperdengarkan nada dansa, saya hanya menggoyangkan badan tanpa selera.
Bahkan “High Life” yang bernada disko kurang menggugah. Karena saya tidak membutuhkan suasana melow hari ini. Hati saya yang retak sudah saya tinggalkan di panggung Mew kemarin.
Sebaliknya, saya membutuhkan hentakan drum dan permainan gitar yang cepat, serta musik elektro seperti di lagu “Flux”, “Like Eating Glass”, “Positive Tension”, “Luno”. Sayangnya, lagu-lagu itu tidak ditampilkan.
Hanya 5 lagu yang membuat saya bergairah malam itu yaitu “Banquet”, “Hunting for Witches”, “The Prayer”, “Helicopter”, dan tentunya “Ratchet”.
Saya memutuskan memuaskan keinginan saya mendengarkan musik yang lebih gaduh dari yang Bloc Party tawarkan malam itu, dan menuju booth sponsor minuman seperti kemarin. Alasan lain, saya tahu lelaki Aries itu pasti berada di sana.
Ia terlihat sibuk dengan dunia dan teman-temannya. Dan saya hanya bisa menyaksikannya dari jauh. Ia sadar akan kehadiran saya, dan memutuskan untuk tetap berada di tempatnya. Kami tidak berkomunikasi. Cara terbaik untuk “memagari” hubungan yang memang tidak bisa diwujudkan.
Pertemuan kami yang terjadi sesekali seakan hanya jadi pelepas rindu, dan menjadi momen untuk mempertanyakan rasa yang mungkin ada karena tidak pernah gamblang diungkap. Saya pulang dengan diam, meninggalkan riuh festival di belakang.
Saya juga mengucapkan selamat tinggal pada lelaki Aries itu. Dan saya rasa, pertemuan kami di Joyland 2023 justru menjadi momen perpisahan yang manis untuk kami berdua.
A closure.
Editor: Nuran Wibisono