tirto.id - Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menyayangkan tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap beberapa jurnalis, salah satunya jurnalis Detik.com, yang sedang meliput di agenda Munajat 212, Kamis (21/2/2019) malam.
"Sangat menyayangkan kejadian serupa kembali terulang. Modelnya serupa: intimidasi dan penghapusan paksa rekaman. Ini sebenarnya sudah masuk tindak pidana menurut UU Pers," kata Ade saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (22/1/2019) pagi.
"Karena menghalang-halangi kerja wartawan," lanjutnya.
Ia mengatakan kejadian kekerasan dan intimidasi kepada wartawan dalam agenda 212 bukan pertama kalinya dan justru selalu terulang.
"Jadi sebenarnya ini bukan pertama kali saja kekerasan terhadap jurnalis, khususnya kita sebut agenda 212. Sangat sering terulang," katanya.
Ade mengaku hingga saat ini belum ada wartawan yang meminta bantuan secara langsung ke LBH Pers. Sejauh ini masih hanya bersifat koordinasi.
"Saat ini belum sih. Masih koordinasi saja. Ada harapan juga harus diproses hukum kan. Tapi jika dimintai untuk mendampingi, kami siap," kata Ade.
Sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi massa yang menggunakan atribut Front Pembela Islam (FPI) saat kegiatan Munajat 212 di Monas, Jakarta pada Kamis (21/2/2019).
Salah satunya yang dialami wartawan Detik.com, Satria. Saat sedang merekam, ia mengalami kekerasan dari seseorang yang ingin menghapus gambar videonya. Namun, dia tak mau menyerahkan ponselnya.
Massa kemudian menggiring wartawan Detik.com ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang.
Namun, akhirnya ponsel wartawan tersebut diambil paksa. Semua foto dan video di ponsel tersebut dihapus. Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri