Menuju konten utama

LBH Jakarta: Penyiksaan Lazim Dilakukan Aparat Penegak Hukum

Terdapat 37 laporan kasus penyiksaan yang masuk ke LBH Jakarta.

Ilustrasi penyiksaan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan penyiksaan masih menjadi hal yang lazim dilakukan aparat penegak hukum, dan dianggap wajar oleh pemerintah dan masyarakat.

"Ini sudah menjadi kultur bahkan ada budaya permisif dari masyarakat yang mengatakan bahwa ketika seseorang diperiksa kepolisian kemudian mendapat penyiksaan pukulan atau kekerasan yang lain itu sesuatu hal yang wajar," kata Alghiffari di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (24/03/2018).

Aghiffari menuturkan, terdapat 37 kasus penyiksaan yang masuk ke LBH Jakarta. Seluruhnya tidak didampingi oleh kuasa hukum dan sebagian besar dari mereka mengalami penyiksaan oleh secara fisik, psikis, verbal dan seksual oleh aparat penegak hukum.

"Ada yang ditembak bukan dalam hal dia bukan melakukan perlawanan tapi dibawa ke tempat lain dipaksa mengaku kemudian ditembak dari jarak dekat," kata Alghiffari.

Hal seperti ini menurutnya kerap dijumpai di televisi ketika si tersangka sudah dibalut perban. Polisi biasanya mengaku kalau tersangka berusaha melawan.

Lebih lanjut Alghiffari mengatakan hal ini bukan anomali di tubuh kepolisian. Berdasarkan riset LBH Jakarta, sekitar 84 persen anggota kepolisian mengatakan penyiksaan adalah hal yang biasa dilakukan untuk mempermudah proses penyidikan. Pemahaman ini merata dari jenderal polisi hingga lulusan akpol.

Menurutnya hakim juga masih mengabaikan temuan bahwa terdakwa mengalami penyiksaan. Padahal menurutnya bukti-bukti yang diperoleh dari penyiksaan harus dikesampingkan

Selain di aparat penegak hukum, kultur kekerasan seperti ini juga menjangkiti pemerintah misalnya aneka seruan-seruan Presiden Joko Widodo mengenai perang terhadap narkoba.

"Bisa jadi dalam pikiran Bapak Jokowi juga ketika seseorang ditangkap oleh polisi atau aparat hukum lain, kemudian dipukuli bisa jadi berdasarkan pikiran Presiden kita, itu biasa aja," kata Alghiffari.

Pada akhirnya hal ini membuat masyarakat berpikir bahwa kekerasan dan penyiksaan adalah sesuatu yang wajar dalam menghadapi terperiksa atau dalam interogasi. Padahal hak untuk tidak disiksa termasuk hak dasar yang diakui oleh konstitusi Indonesia.

Untuk itu menurutnya perlu dilakukan upaya kuat untuk membongkar pola pikir seperti ini. Alghiffari mengatakan polisi seharusnya bisa mengadopsi metode investigasi modern yang banyak memanfaatkan ahli dan teknologi.

"Metode penyiksaan itu metode kuno, metode abad pertengahan dan ini yang terus menerus dilakukan sampai sekarang," tutup Alghiffari.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Yantina Debora
-->