tirto.id - Kian hari, desain ponsel pintar yang dijual ke pasaran semakin ciamik. Khususnya terkait layar. Pada 2014, tatkala iPhone 6 lahir, ponsel itu hanya memiliki rasio screen-to-body sebesar 65,8 persen. Empat tahun berselang, rasio tersebut diperbesar menjadi 82,9 persen melalui iPhone XS.
Secara sederhana, desain ponsel kini semakin menitikberatkan luasnya cakupan layar. Sayangnya, desain demikian riskan. Panel layar terbuat dari kaca, dan kaca identik dengan kata “pecah.”
Sebagaimana dilansir Market Watch, merujuk studi yang dilakukan Allstate, dua dari tiga pengguna ponsel pintar di Amerika Serikat mengalami kerusakan pada unit mereka. Dari sana, 29 persen kerusakan merupakan layar pecah dan 27 persen ialah layar yang tergores.
Senada dengan yang terjadi di Amerika Serikat, di Inggris, menurut laporan Mintel, 24 persen pengguna ponsel pintar di Inggris mengalami kerusakan layar pada unit mereka. Pada para pengguna muda, 16 hingga 24 tahun, persentasenya lebih tinggi, yakni hingga 48 persen.
Mengapa kerusakan terkait panel layar cukup tinggi? Jawabannya sederhana, di Amerika Serikat, 74 persen terjadi karena ponsel terjatuh.
“Ponsel hari ini memiliki desain yang segalanya tentang kaca yang licin dan berarti tidak cukup kuat jika sering terjatuh,” tutur Jason Siciliano, Direktur Kreatif SquareTrade, firma di balik Allstate.
Sementara itu, Adrian Reynolds, analis teknologi Mintel, menyebut bahwa “perbaikan layar ponsel kini menjadi isu yang serius dan mahal. Kerusakan sukar terhindarkan, alasannya ponsel adalah benda yang selalu digenggam dan digunakan.”
Reynolds tak salah. Perkara layar pecah adalah perkara mahal. Publik Amerika Serikat, yang merusak 50 juta layar ponsel sepanjang 2018, harus mengeluarkan uang hingga $3,4 miliar untuk memperbaikinya. Dan secara global, dikutip Ibis World, bisnis perbaikan ponsel termasuk bisnis yang besar. Pada 2018, bisnis ini menyumbang pendapatan pada para pelakunya hingga $4 miliar.
Menghindari kerusakan layar ponsel salah satunya dilakukan dengan menggunakan cover atau case khusus. Sayangnya, sebagaimana dilaporkan Vox, banyak kalangan yang menentang. Nicks Statt, editor The Verge, menegaskan bahwa “ada rasa bersalah memasang case pada ponsel terindah yang pernah dibuat Apple.”
Leander Kahney, penulis “Tim Cook: The Genius Who Took Apple to the Next Level,” mengatakan bahwa orang-orang yang menolak menggunakan cangkang terjadi lantaran “mereka tidak ingin menodai keindahan.”
Zaman yang semakin menuntut keindahan tak terhindarkan. Ponsel hari ini seakan harus memiliki rasio screen-to-body yang besar, yang bahkan harus mengorbankan tombol, sensor fingerprint, hingga kamera di bagian muka. Produsen ponsel pun bermuka dua. Tahu bawah produknya rapuh, tapi tak semua menyertakan case secara langsung. Dan jika produsen menyertakan case, apa pentingnya mencipta ponsel berdesain ciamik jika terselubung cangkang tambahan?
Teori konspirasi muncul. Ponsel, kian hari, memang dirancang untuk tidak kuat-kuat amat guna memangkas life-cycle? Benarkah?
Tes jatuh yang dilakukan CNET dan SquareTrade menegaskan bahwa, ponsel terkini, misalnya iPhone X, akan hancur apabila jatuh hanya dari ketinggian tak kurang dari 1 meter.
Rapuhnya ponsel, seperti disinggung di awal terkait dengan selubung layar, kaca, OLED, LCD, dan sejenisnya.
Namun, Ralf Mueller, peneliti dari Institute for Materials Research and Testing Jerman, menyebut bahwa kaca yang digunakan dalam produknya ponsel sebenarnya materi spesial. Kaca dikuatkan dengan campuran kimia khusus. Ia, katanya, membuat layar menjadi lebih kuat, tetapi bukan tak mungkin rusak.
Materi yang secara alami lebih kuat dari kaca dapat dicari oleh peneliti-peneliti di perusahaan pencipta ponsel. Atau, ketahanan bisa diperoleh bila menggunakan materi plastik. Namun, Dirk Lorenz, Product Tester, menyatakan bahwa “iya, plastik bisa digunakan, tapi akan kelihatan tidak berkualitas (mahal).”
Di sisi lain, jika melihat iFixit, situsweb yang rutin mengulas perbaikan ponsel, tak ada perubahan berarti terkait rapuhnya ponsel. iPhone, misalnya. Sejak diperkenalkan pada 2007, segala varian iPhone konsisten memperoleh skor 6 atau 7 (skor terendah 1 untuk sangat sukar diperbaiki dan 10 untuk mudah diperbaiki), kecuali versi 1st generation yang memperoleh skor 2.
Anggapan bahwa ponsel dirancang rapuh kurang tepat. Ponsel tak hanya terdiri dari satu sisi. Selain hardware atau perangkat keras, juga ada sisi perangkat lunak ada software.
Di sisi software, kerusakan pun sering terjadi. Sebagaimana diungkap Android Authority, pada kuartal 4-2017 silam, Samsung menjadi perusahaan yang memiliki software failure rate tertinggi. Dari semua ponsel Samsung yang dijual saat itu, 34 persen mengalami masalah terkait software, baik dari bagian tervital, yakni Android sebagai sistem operasi, hingga gangguan di aplikasi-aplikasi yang ada di dalamnya.
Selepas Samsung, ada Xiaomi (13 persen), Motorola (9 persen) dan LG (7 persen). Meski Samsung yang tertinggi, secara spesifik, Redmi 4 merupakan ponsel dengan failure rate tertinggi, yakni 9 persen. Disusul Moto G 5S Plus (6 persen). Lenovo K8 Note (5 persen) dan Nokia 6 (4 persen).
Desain ponsel hari ini memang cukup membuat waswas, khususnya bila tak sengaja terjatuh. Namun, inilah harga yang harus dibayarkan untuk hidup di masa ini.
Editor: Maulida Sri Handayani