Menuju konten utama

Layar Alternatif Solusi dari Mahal dan Langkanya Bioskop

Bagi sebagian kalangan, bioskop adalah kemewahan. Bagi segelintir orang lain, bioskop adalah pilihan mainstream. Jangan khawatir, ada layar-layar alternatif bermunculan.

Layar Alternatif Solusi dari Mahal dan Langkanya Bioskop
ilustrasi foto/shutterstock

tirto.id - Menonton film tak harus selalu di bioskop. Apalagi bioskop komersil memiliki regulasi yang mengatur film-film yang ditayangkannya. Hal itu membuat film yang ditawarkan kepada penonton terbatas.

Harga tiket komersial juga belum bisa dijangkau oleh seluruh kalangan. Mayoritas tiket bioskop kini, termasuk di kota-kota kecil, berada di kisaran harga Rp30-75 ribu. Di Kota Singkawang yang hanya punya satu bioskop, tiket masuknya dihargai Rp30 ribu. Di Kota Gorontalo juga demikian. Hanya ada satu bioskop, dan harga tiketnya Rp35 ribu.

Di antara keterbatasan itu, hadirlah penyedia layar-layar alternatif. Ia bisa jadi bioskop yang memiliki bangunan tetap dan menggelar pemutaran reguler setiap minggunya, sampai festival film yang diadakan tahunan. Ia juga bisa menjadi wadah diskusi bagi komunitas film.

Umumnya, layar-layar alternatif bersifat non-profit dan diselenggarakan secara terprogram. Ia juga memiliki tema yang jelas sehingga diskusi yang diselenggarakan bisa terstruktur dengan baik, dan dapat menghadirkan pembuat film untuk berdialog langsung dengan penonton.

Tapi ada masalah. Jika bioskop konvensional yang didukung modal besar tapi masih belum bisa meratakan jumlah peredaran layarnya, apalagi layar alternatif yang umumnya diinisiasi secara kolektif oleh komunitas film. Beberapa komunitas film memang sudah berusaha menginisiasi layar alternatif di berbagai wilayah di Indonesia, tapi tetap tak mampu meniru.

Memperluas Film Alternatif

Bioskop yang ada saat ini masih sangat terbatas jumlahnya dan bisa dibilang terpusat di Jabodetabek. Misalnya saja jika melihat persebaran dari Cinema 21, terdapat 77 bioskop di Jabodetabek atau sekitar 46 persen dari total 167 bioskop di seluruh Indonesia.

Sisanya, 90 bioskop tersebar di 32 kota. Hal serupa juga ditemui pada CGV Blitz dan Cinemaxx, masing-masing masih terkonsentrasi di Jabodetabek dengan 43 persen dari total 28 bioskop dan 42 persen dari total 19 bioskop.

Bioskop yang ada saat ini tidak mampu mengakomodasi masyarakat, kata mantan kurator yang juga mantan pengurus program bioskop alternatif Kinoki di Jogja, Adrian Jonathan Pasaribu. Selain bicara soal tempat dan persebaran, ia juga menyinggung soal administrasi dan sensor.

“Bioskop masih terikat dengan aturan administrasi dan sensor, walaupun secara legal tidak tertulis, namun mereka terbiasa menyensor film panjang. Film fiksi panjang tepatnya,” kata Adrian saat diwawancarai Tirto.id.

Adrian juga memaparkan ihwal jumlah film. Pemutaran film Indonesia di bioskop sekarang menurutnya hanya sekitar 100 film setiap tahunnya. Di luar, itu ada sampai 300 film alternatif, termasuk film pendek, dokumenter panjang, dokumenter pendek, sampai film eksperimental. Jumlah dan jenis ini yang sebenarnya menjadi mayoritas

Infografik Layar Lebar Alternatif

Layar alternatif kerap diidentikkan dengan pemutaran film-film yang bukan arus utama. Di Indonesia, lebih mudah menyebutnya sebagai film yang tidak diputar di bioskop.

Memang, patut diapresiasi juga usaha perusahaan pemutar film seperti CGV Blitz dalam merespons pertumbuhan film nasional, termasuk film alternatif dengan membuat ruang khusus bernama CGV blitz Arthouse–Rumah Film Indonesia.

Ruang ini pertama kali dioperasikan pada Januari 2015 di CGV Blitz Pacific Place dan karena mendapat apresiasi positif kembali dibuatlah di CGV Blitz Bekasi Cyber Park yang mulai beroperasi sejak Desember 2015.

Selain usaha pembuatan ruang, ada beberapa film alternatif seperti Siti, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya hingga dokumenter Jalanan sempat diputar di berbagai jaringan bioskop di Indonesia seperti Cinema 21 dan CGV Blitz walau dengan jumlah layar yang sangat terbatas.

“Yang terjadi di layar alternatif juga tidak lebih baik jika dibandingkan dengan yang terjadi di bioskop. Bahkan jauh lebih rumit. Kalau pembuat film bioskop sudah jelas dapat memutarkan filmnya di bioskop, lain halnya dengan yang terjadi di film alternatif dan layar alternatif. Prosesnya masih panjang karena distribusi di layar alternatif sendiri mengandalkan jaringan pertemanan,” jelas Adrian.

Saat ini beberapa pihak seperti Buttonijo dan Kolektif sudah membantu persebaran layar alternatif di Indonesia. Memudahkan komunitas-komunitas film di berbagai daerah di Indonesia untuk menggelar pemutaran film.

Frekuensi pemutaran film pun meningkat. Setiap minggu di wilayah Jabodetabek bisa ditemui pemutaran film di berbagai tempat. Ada ruang-ruang alternatif untuk memutar film bermunculan, seperti Kineforum, Kinosaurus, dan Paviliun 28 di Jakarta atau Cine Space yang berada di kawasan Tangerang.

Di luar itu, berbagai lembaga kebudayaan di Indonesia seperti Goethe-Institut (Jerman), Institut Français d'Indonésie (Perancis), dan Erasmus Huis (Belanda) juga sering bekerjasama dengan komunitas film dan menyediakan ruang pemutaran film.

Adrian yang sempat menangani dua jenis layar alternatif berbeda, festival dan bioskop alternatif, mengakui keduanya kini telah gugur karena alasan yang sama: biaya. Terutama biaya operasional. Tapi, dana bukanlah masalah utama.

Menurutnya masalah terbesar dari pengadaan layar alternatif di Indonesia adalah suplai filmnya. “Uang juga penting agar operasional bisa tetap berjalan, tapi banyak komunitas film yang rutin mengadakan pemutaran dengan berbagai siasat, kembali lagi, kalau enggak ada filmnya, enggak bakal jalan,” kata Adrian.

“Karena seperti yang gue bilang tadi, peredaran film alternatif itu suplainya sangat mengandalkan jaringan pertamanan dan sosial. Buat gue itu tantangan terbesarnya,” pungkasnya.

Merespons Keberpihakan

Lain cerita jika melihat Purbalingga yang memiliki komunitas film CLC (Cinema Community Lovers) yang aktif mengadakan festival film dengan nama Festival Film Purbalingga. Tak hanya memutar dan mengkompetisikan berbagai film dari Purbalingga dan sekitarnya, CLC juga kerap mengadakan workshop produksi film, dengan maksud menciptakan sineas-sineas baru dari daerah.

Namun, bukan itu menu utama dari Festival Film Purbalingga. Festival ini aktif menggelar aktivitas menonton film di lapangan terbuka, dengan program bertajuk Layar Tanjleb yang dapat diakses masyarakat umum secara gratis. Memutar berbagai film dari lokal maupun internasional, dari Purbalingga maupun luar Purbalingga.

Direktur Festival Film Purbalingga, Bowo Leksono saat dihubungi Tirto.id mengatakan, tercetusnya ide Layar Tanjleb memang tidak disengaja. Ia justru berawal dari ketidakbolehan komunitas untuk memutar film di gedung milik Pemda.

“Awalnya tahun 2006, yang juga merupakan awal terbentuknya CLC, kami sempat mengadakan pemutaran di gedung milik Pemda, kemudian tidak diperbolehkan lagi. Dari situlah kemudian muncul ide untuk membuat layar tanjleb yang bisa dinikmat masyarakat secara luas,” jelas Bowo yang telah menangani Festival Film Purbalingga sejak pertama berdiri.

Festival Film Purbalingga hadir sebagai respons atas keberpihakan bioskop komersil. Bioskop-bioskop yang secara jarak dan harga sulit dijangkau oleh masyarakat secara luas. Bioskop terdekat dari Purbalingga terletak di Purwokerto, jaraknya lebih dari 30 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Bowo juga mengatakan Layar Tanjleb juga bisa menghidupkan ekonomi mikro. Artinya, layar alternatif adalah salah satu bentuk ekonomi kreatif.

“Di masyarakat jarang ada pertunjukan yang dapat melibatkan masyarakat secara luas, dan Layar Tanjleb bisa melakukan itu. Secara otomatis di lokasi pemutaran hadir berbagai macam jualan, dari mulai makanan hingga pakaian. Bahkan ada saja yang sudah berjualan di siang hari kemudian ketika mendengar ada pemutaran kembali menggelar dagangannya di malam hari,” jelas Bowo.

Namum merawat eksistensi sebuah festival film tentu tak mudah. Itu pula yang dialami dengan Festival Film Purbalingga. Ketika ditanyai perihal peran serta pemda setempat, ia menjawab sambil tertawa: “Perannya masing setengah-setengah, mungkin kurang dari setengah.”

Mereka, menurut Bowo, tidak mengerti kondisi di lapangan. Bahkan belum ada yang mencoba untuk memahaminya.

“Ibaratnya kita sudah berlari tapi pemerintah masih sekadar melihat-lihat,” tambah Bowo memperjelas.

Baca juga artikel terkait BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Anggara Putera Utama

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Anggara Putera Utama
Penulis: Anggara Putera Utama
Editor: Maulida Sri Handayani