Menuju konten utama

Lakon Sebabak Di Asrama Perbatasan

Di asrama Susteran PRR Maria Protegente inilah para TKI menitipkan anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan.

Lakon Sebabak Di Asrama Perbatasan
ANTARA FOTO/ Rosa Panggabean

tirto.id - Hidup terpisah dari orang tua sejak usia muda, belajar mandiri, dan belajar disiplin adalah kehidupan yang harus dijalani mereka. Mereka adalah anak-anak para TKI yang tinggal di negeri seberang, Malaysia. Kini mereka tinggal di Asrama Susteran PRR Maria Protegente, di Dusun Barjoko, Sebatik Tengah, Kalimantan Utara.

Bertahun-tahun yang lalu, orang tua mereka yang saat itu masih remaja meninggalkan kampung halaman mereka di kawasan Indonesia Timur, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka meninggalkan bumi pertiwi untuk menjadi pekerja kasar dengan janji memperoleh bayaran yang lebih baik. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan sawit, pabrik “plywood”, hingga ladang-ladang di negeri tetangga.

Hal itu tidak terjadi dalam setahun dua tahun, namun terjadi hingga bertahun-tahun lamanya. Mereka yang meninggalkan tanah air di usia yang relatif muda itu, kemudian menemukan pasangan di tempat mereka bekerja, menikah, dan beranak-pinak di sana.

Anak-anak yang lahir dan besar di lingkungan ini kesulitan mendapat akses pendidikan, sehingga di usia mereka yang masih muda, mereka sudah membantu orang tua mereka, dan berakhir menjadi buruh kasar, melanjutkan pekerjaan orang tua mereka terdahulu. Dan kemudian terjadilah siklus itu tanpa ada kesempatan memperbaiki kualitas hidup seperti yang mereka impikan.

Di asrama Susteran PRR Maria Protegente inilah para TKI menitipkan anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan, mendapat bekal agama, agar dapat menjadi orang yang lebih baik dari orang tua mereka. Di asrama itu pula, anak-anak para TKI ini belajar hidup dalam kedisiplinan.

Hidup di asrama tak luput dari segala keterbatasan. Pihak asrama tidak mematok jumlah uang untuk biaya hidup si anak di asrama, sementara para orang tua yang bekerja sebagai buruh pun tidak sanggup memberi donasi dalam jumlah layak kepada asrama. Untuk itu, para suster harus benar-benar mengencangkan ikat pinggang, mengatur menu sederhana untuk makan dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Belum lagi lokasi mereka yang terletak di perbatasan hanya mengandalkan air tadah hujan dan listrik yang belum masuk desa. Anak-anak asrama harus berjalan agak jauh untuk melakukan rutinitas mandi, cuci, kakus.

Meskipun kini kehidupan mereka serba terbatas, ini merupakan salah satu jalan untuk keluar dari mata rantai kemiskinan kehidupan mereka. Agar mereka tidak lagi menjadi buruh, asrama menjadi tempat transit untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Foto dan Teks: Rosa Panggabean/ANTARA FOTO

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Pendidikan
Editor: Andrey Gromico

Artikel Terkait

Pendidikan
Senin, 10 Juli 2017

Hari Pertama di Sekolah

Pendidikan
Rabu, 3 Mei 2017

Potret Pendidikan Di Keerom