tirto.id - Bagi orang kebanyakan, batu bata adalah barang biasa, bahan bangunan yang harganya tidak boleh mahal. Namun, bagi Heinrick Sumarno, batu bata bisa jadi istimewa, apalagi yang bermerek Supreme. Bagi pemilik gerai Heat Lab itu, produk-produk Supreme sangat merepresentasikan jenis pakaian yang ia gemari, yakni streetwear atau model sandang yang biasa dipakai pemain skateboard. Di Amerika Serikat sana, gaya pakaian ini sukses membentuk sub-kultur tersendiri dan para pemujanya kini sudah tersebar di banyak negara, termasuk Indonesia.
Heinrick mewujudkan bukti cintanya itu pada awal Oktober lalu, saat ia membeli salah satu produk unik Supreme yang terbaru: batu bata modis berlogokan tulisan “Supreme” dan dicetak besar di bagian tengah. Heinrich rela terbang ke Jepang untuk membeli koleksinya itu dengan harga 5400 yen atau setara dengan Rp676 ribu.
Sebagaimana dituturkan kepada Kompas, ia sempat menemui masalah saat membawa koleksi langkanya itu ke Indonesia. Batu bata ia bungkus dengan kaos dan ditaruh di bagasi kabin pesawat. Sampai di bandara Malaysia, petugas sempat mencurigainya. Beruntung, ia bisa lolos dan membawa batu bata Supreme-nya dengan selamat hingga tanah air. Ia lalu memamerkan batu batanya lewat Instagram. Publik pun serta-merta tercengang. Postingannya berbuah viral, dan rata-rata orang bertanya lewat satu kata, “Mengapa?”
Heinrich bukanlah satu-satunya. Penggemar fanatik Supreme lain di seluruh penjuru dunia juga berbondong-bondong membeli batu bata itu meski harganya selangit. Di E-Bay, ada seorang pembeli yang melelang kembali batu batanya dengan harga fantastis: $1.000 atau setara dengan Rp13 juta.
Fenomena serupa bisa dipakai untuk melihat kecenderungan fanatisme sebagian kalangan pada produk-produk Apple. Mereka rela antre selama berjam-jam di depan gerai resmi Apple hanya untuk menjadi yang pertama (atau setidaknya relatif tercepat) untuk mendapatkan produk iPhone terbaru. Mereka pun tak mempermasalahkan harganya yang tinggi. Untuk perbandingan, harga satu buah iPhone terbaru bisa dipakai untuk membeli ponsel pintar merek lain dengan spesifikasi yang lebih lengkap. Tapi obesesi kepemilikan itu sudah melampaui perkara harga. Serupa NKRI, ia adalah harga mati.
Dari sisi psikologis, fanatisme terhadap satu merek tertentu sejak dahulu hingga di zaman yang disesaki generasi milenial ini memiliki akar yang serupa. Proses jual beli bukan lagi atas pertimbangan rasional. Bahwa produk A memiliki manfaat yang serupa dengan B namun lebih murah, misalnya. Atau produk C lebih dipilih sebab memiliki nilai guna yang lebih dari D. Tidak demikian. Ini lebih ke perkara identitas.
Menurut Peter Noel Murray, ahli psikologi konsumsi asal New York, keberhasilan Apple memainkan motif atas identitas ini bisa dilihat dari iklan “Get a Mac” tahun 2006 silam. Iklan tersebut menampilkan seorang pemuda yang memakai jaket hoodie dan memperkenalkan dirinya dengan sepenggal kalimat “Hai, aku adalah Mac.” Di sisi lain, muncul seorang tua dengan pakaian dan kacamata klasik yang memegang, dan kemudian merepresentasikan, produk komputer lain.
Pesannya jelas: mau terlihat muda dan keren, pakai lah Mac. Tak lama kemudian, Mac dan produk Apple lain laris manis diborong anak-anak muda di seluruh dunia. Produk Apple, terutama iPhone, tiba-tiba menjelma menjadi standar kekerenan baru. Sebab iPhone itu mahal, karena iPhone itu eksklusif. Mengutip profesor ilmu marketing University of Oregon Lynn Kahle kepada Live Science, “Apple sangat berhasil dalam menjadi simbol sebuah gaya hidup dan sebuah konsep baru. Kebaruan ini menempel pada pemegang produk kemana pun ia pergi dan menjadi inti dari diri mereka.”
Ekosistem yang Solid dan Eksklusif
Eksklusivitas iPhone juga ditopang oleh ekosistem yang terbangun dengan sangat solid di tingkat akar rumput oleh para pengemar fanatiknya. Mereka inilah yang sengaja antre hingga berjam-jam, bahkan sengaja kemping di depan gerai Apple meski sebetulnya bisa didapat lewat pemesanan online. Menurut Albert M. Muniz Jr, profesor ilmu marketing dari DePaul University di Chicago, ritual dan tradisi ini berlanjut pada marketing alami yang terjadi di antara para penggemar produk Apple.
Gaya iklan dari perusahaan memang berpengaruh, namun ekosistem yang terbangun di antara sesama penggemar Apple juga memiliki peran signifikan. Lanjut Muniz, di kalangan pecinta produk Apple, terdapat aura “kami” yang begitu kuat, sebab sesungguhnya mirip komunitas eksklusif lain, mereka itu minoritas. Mereka perlu mengikat diri agar ke-eksklusif-an itu terjaga. Kembali ke persoalan identitas, ini adalah upaya untuk melindungi otentisitas identitas yang mereka bawa.
Scott Thorne, profesor ilmu marketing yang bekerja di Southeast Missouri State University, mengatakan bahwa ia melihat gejala eksklusivitas yang serupa antara penggemar fanatik Apple dengan komunitas pengemar fanatik merek lain. “Semacam jalan untuk merasa superior. Seakan ingin berkata 'Kami tahu sesuatu yang tak kau tahu, kami paham betapa kerennya produk yang kami punyai.' Sama seperti komunitas penggemar fanatik seorang penyanyi atau penulis buku,” jelasnya.
Thorne meyakini komunitas penggemar fanatik produk Apple sejalan dengan karakteristik “fans” pada umumnya, Meski begitu, ia dan kolega lain menilai tak semua “fans” serupa. Mereka terbagi menjadi empat tingkatan.
Pertama, “dilettante”, yakni diilustrasikan dengan seorang penggemar sepak bola yang menonton pertandingan tim favoritnya lewat televisi jika sempat. Kedua, “dedicated”, yakni saat si penggemar itu tak pernah melewatkan satu kali pun pertandingan saat disiarkan televisi, bahkan terkadang ia membayangkan menjadi salah satu anggota tim.
Ketiga, “devoted”, yakni jenis penggemar yang menampakkan level fanatisme lebih tinggi. Jika ia penggemar sebuah tim sepak bola, ia akan menonton dan mendukung langsung di bangku penonton stadion kemana pun timnya bertanding. Keempat, atau yang paling parah dan dengan level fanatisme paling tinggi, yakni “dysfunctional”. Di level ini, seorang “fans” mudah melakukan aksi destruktif dan membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Untuk kasus Apple, Thorne belum pernah menemui penggemar fanatik dalam level “dysfunctional” itu. Kasus fanatisme penggemar merek Apple berbeda dengan suporter tim sebab dalam kepala mereka Apple bukan entitas konstan yang bisa kalah secara total atau memalukan dari merek lain. Mereka terlalu sibuk membicarakan dan menanti-nanti produk Apple terbaru. Bagi mereka, kemenangan itu terasa ada tiap kali ada iPhone terbaru yang siap rilis. Puncaknya tentu saat produk itu berada di genggaman tangan dan statusnya resmi jadi milik mereka.
Pertaruhan Menghadapi Milenial
Apple beruntung sebab mampu meraih hati sebagian generasi milenial, dan dengan ekosistemnya yang kokoh, dukungan atas tiap produk baru akan selalu ada dan berlipat ganda. Ini berbeda dengan perusahaan lain yang berada dalam ajang pertaruhan kala menghadapi konsumen milinealnya. Bagi generasi yang kritis, mereka tak perlu setia terhadap suatu merek. Mereka lebih hati-hati dan memiliki lebih banyak pertimbangan ketimbang konsumen di generasi-generasi sebelumnya.
Survey “Bagaimana Milineal Hidup dan Bekerja” yang dirilis Gallup pada Juni lalu mengungkapkan bahwa generasi milenial adalah kumpulan konsumen paling tak loyal dengan tingkat keterikatan sebanyak 25 persen saja. Generasi X memiliki keterikatan lebih tinggi yakni 28 persen. Begitu juga Generasi “baby boomers” (33 persen) dan generasi tradisional (38 persen).
Bagaimana Apple bisa memiliki konsumen yang loyal? Menurut Gallup sebab merek yang dulu besar atas inovasi Steve Jobs itu bergerak di bidang komunikasi digital, bidang yang paling banyak menyerap milenial fanatik. Ini lah yang membuat semua perusahaan kini berbondong-bondong “go-digital” dan “go-online” agar mampu menyerap lebih banyak pelanggan setia. Lebih beruntung jika mereka bisa menciptakan ekosistem yang sekokoh Apple.
Sederhananya, antrean panjang kala produk terbaru rilis dan rasa bangga yang meluap-luap dari sang pembeli saat barang sudah di tangan, adalah cita-cita setiap perusahaan bermerek.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti