Menuju konten utama

KOSTE Band: Saat Musik Melawan Stigma Disabilitas Netra

KOSTE Band membuktikan bahwa penyandang disabilitas dapat berkarya seperti orang biasa.

KOSTE Band: Saat Musik Melawan Stigma Disabilitas Netra
KOSTE Band berlatih kembali di Markas Institut Musisi Jalanan (IMJ), Depok, Jawa Barat pada 19 November 2020. tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Tangan kanan Kikin Nawawi (30) meraba ke bawah, mencari botol minum di sela-sela kursi plastik yang ia duduki. Tenggorokannya mengering setelah berjuang merangkai kalimat penghubung lagu. Ia belum dapat kalimat yang tepat agar dapat menggerakkan penonton.

Sejenak ia menerawang langit-langit, seolah ada kata-kata bertebaran. Tangan kirinya mendekatkan mik ke mulut. Kikin mendapatkan sepenggal kalimat itu.

“Pernah enggak teman-teman sakit hati? Dikhianati? Mencintai seseorang tapi tak berbalas?” Suaranya lirih. “Saya sih pernah. Ada satu lagu yang dapat mengungkapkan perasaan ini, teman-teman.”

Sayup-sayup bunyi organ Kakan Kandarsyah (30) melantunkan bagian refrein Risalah Hati milik Dewa dengan lembut. Asep Solihin (44) mengawal dengan bas, Mahfud (28) memetik gitar, sementara Arianto (30) bersiaga menunggu giliran dengan cajon.

Kikin masyuk melibas bagian refrain lagu ciptaan Ahmad Dhani tersebut. Musik mengisyaratkan Kikin harus segera pindah bait. Sampai waktunya tiba, suara Kikin tidak terdengar. Musik berhenti.

“Saya lupa lirik. Baru ngapalin semalam,” aku Kikin usai latihan kepada saya di Markas Institut Musik Jalanan (IMJ) Depok, Jawa Barat, Kamis (19/11/2020).

Para personel Kelompok Musisi Tunanetra (KOSTE) Band lainnya memaklumi. Lagu itu belum pernah mereka bawakan. Semenjak pandemi COVID-19, mereka kerap mendapat permintaan membawakan lagu di luar daftar yang mereka punya, salah duanya: lagu tadi dan tembang Jawa Kartonyono Medot Janji.

“Dulu bisa ditebak, di mal ini pasti kami bawakan lagu yang seperti ini. Sekarang tidak, orang sudah halu semua,” ujar Kakan. “Kayaknya semua orang mau nonton konser, request-nya mengejutkan,” imbuh Kikin.

Namun dari pengalaman itulah KOSTE memiliki kemampuan memainkan banyak lagu. Dalam satu kali panggungan, mereka menyiapkan kurang lebih 50 daftar lagu. Saking banyaknya, mereka sampai tidak hafal setiap judulnya. “Tapi kalau ditanya mungkin bisa kita mainkan. Kalau enggak, ya ditabung dulu,” ujar Kakan.

KOSTE Band baru dibentuk oleh IMJ sejak 2018. Para personelnya diambil lewat audisi pengamen jalanan periode 2016-2019. Ari masuk IMJ pada 2016, menyusul Asep dan Mahfud pada 2017, sementara Kakan dan Kikin dua tahun kemudian.

Semuanya penyandang disabilitas netra.

Maya Stary selaku talent of manager IMJ untuk KOSTE Band mengatakan tidak ada niatan khusus membentuk band yang para personelnya berlatar belakang demikian. Setiap orang direkrut karena minat dan bakat bermusiknya. “Proses audisi terbuka untuk siapa pun. Lalu mereka kami bentuk dalam format band,” ujar Maya pada kesempatan yang sama.

KOSTE diperlakukan sama dengan binaan IMJ lain. Mereka mendapatkan kru teknisi yang akan memastikan bebunyian instrumen keluar dengan baik. Kesempatan pentas juga sama. “Bedanya kami menyediakan dua kru untuk membantu mereka. Untuk menuntun ke panggung dan mengganti pakaian [pentas],” ujar Maya.

Renjana Melawan Stigma

Ari menjadi pengamen jalanan selama empat tahun. Ia mengamen berkeliling ke kampung-kampung dan di atas KRL Commuter Line Jakarta-Bogor. Penghasilan Ari hanya cukup menyambung hidup dari hari ke hari.

Ketika PT KAI membersihkan pengamen, gelandangan, dan pedagang dari peron hingga gerbong, Ari mulai putus harapan sebagai pengamen. “Di jalanan itu tidak ada masa depan. Situasi terus berubah. Saya mau ada perubahan.”

Seseorang memberitahu Ari soal audisi IMJ. Ia kepincut semboyan ‘pengamen naik kelas’ yang digaungkan IMJ. Seolah menemukan titik terang, Ari bergabung dengan tekad untuk membentuk band.

Ari mengajak Mahfud, sahabat lama yang ia ketahui memiliki bakat bermain gitar. Mahfud menyambut tawaran Ari. Ia pikir, pilihan itu baik bagi perkembangan renjana bermusiknya. Akhirnya Mahfud mengambil keputusan hebat dalam hidup: berhenti menjadi tukang pijat. “Bukan berarti [menjadi tukang] pijat enggak ada masa depan. Saya di sini karena mengikuti hobi.”

Asep merupakan kawan lama Ari yang menyusul masuk IMJ. Pengalaman mengamen selama 25 tahun membuat Asep menyadari satu hal: nasib bermusiknya stagnan. Tanpa banyak pertimbangan, Asep yang piawai bermain bas mengikuti audisi. Asep punya cita-cita khusus: “Barangkali suatu saat, dengan gabung di KOSTE, kami bisa ke Amerika.”

Menjadi pengamen dan tukang pijat bukan pilihan utama mereka. Keadaanlah yang memaksa. Tidak banyak pilihan pekerjaan yang ramah penyandang disabilitas netra, sementara kehidupan dengan segala tuntutan tetap harus dihadapi.

Kakan berasal dari keluarga tidak mampu, ia terpaksa mengamen dari satu gerbong kereta ke gerbong lain di Bandung demi melepas beban orang tua. Begitu IMJ membuka audisi, ia meletakan harapan di sana. “Saya mau punya pengalaman bermusik, tidak hanya mengamen. Saya mau berkembang lebih jauh lagi.”

Begitu juga dengan Kikin. Ia mulai lelah menjalani kehidupan bermusik tanpa arah. Ia pernah mengamen kemudian menjadi penyanyi reguler di kafe dan kembali mengamen ke jalan sewaktu menetap di Bandung.

Ketika Kakan mengajaknya bergabung di IMJ, Kikin membayangkan benang kusut kehidupan akan segera terurai. “Masa hidup saya gini-gini terus. Saya mau mengamen naik kelas.”

KOSTE memberikan pengalaman dan kebanggaan dalam bermusik bagi setiap personel. Mereka merasakan cara kerja profesional: fokus personel hanya bermain musik dan tidak dipusingkan mencari panggung.

Kini, rasa percaya diri mereka kian bersemi seiring jam terbang KOSTE yang tinggi. Mereka sudah menjajal berbagai panggung: dari mal hingga acara pemerintahan. Pada 19 November kemarin, mereka tampil secara virtual dalam Pekan Kebudayaan Nasional yang disiarkan TVRI secara tunda.

“Meskipun saya tidak lihat, kan, sehabis perform itu ditampilin di IG, saya senang. Mereka bisa lihat kita manggung,” aku Ari.

Kakan menambahkan, meski KOSTE masih akan terus berproses, ia mensyukuri pencapaian sejauh ini karena mengubah pandangan orang lain bahkan keluarga terhadap pengamen disabilitas netra. “Tadinya bilang mau ngamen [ke keluarga] saja berat banget. Sekarang enggak, tetap mengamen tapi bikin bangga.”

Bekal Otodidak

Penentuan posisi di KOSTE tidak rumit karena masing-masing personel memiliki spesialisasi alat musik. Kemampuan rata-rata mereka dapatkan secara mandiri atau berkat peranan orang terdekat.

Asep belajar alat musik dawai dari kawan-kawannya sesama penghuni Balai Wyta Guna Bandung. Selebihnya berlatih sendiri. Ari dikenalkan perkusi dram oleh kakak ipar. Kedua tangannya diarahkan meraba dan mengenali bentuk komponen, sementara untuk teknik dipelajari sendiri.

Kikin belajar mengolah vokal secara mandiri sembari mendengarkan musik dan ikut bernyanyi; serta didukung pengalaman sebagai anggota paduan suara dan mengikuti berbagai festival tingkat nasional. Ia pernah juara 2 dan 3. “Mau les vokal, kan, mahal dan orang tidak mau sembarangan ngajarin. Kalau sekarang tinggal Youtube.”

Namun proses pembelajaran mereka tidak selamanya berjalan mulus. Selain minim infrasruktur yang ramah disabilitas, mereka kerap menerima penolakan saat ingin belajar alat musik.

Kakan pernah ditolak seseorang saat ingin belajar menyanyi dan diremehkan saat ingin belajar organ. Sejak saat itu, ia tak pernah merasa punya sosok pengajar selain tantangan. Akhirnya ia memaksa diri lebih keras untuk belajar mandiri. “Saya belajar dengan mendengarkan orang yang main musik, pola mainnya, itu yang saya ikuti,” ujar Kakan. “Meski tidak mirip. Setidaknya saya mampu sampai di situ.”

Begitu juga dengan Mahfud. Ia pernah dianggap menyusahkan orang saat berlatih gitar. Ketika itu ia mencoba melantunkan Semua tentang Kita milik Peterpan, lagu wajib bagi mereka yang sedang belajar gitar dasar pada 2000-an awal. Karena jemari Mahfud kesulitan memetik senar, gitar pun ditarik paksa oleh orang lain.

Sejak itu, Mahfud belajar sendiri sampai kemudian orang itu belajar padanya. “Kita yang tidak bisa melihat itu cuma mata, tapi feeling kita masih punya.”

Kepekaan mereka terhadap bebunyian membuat proses kreatif KOSTE menjadi efisien. Pada masa awal pembentukan, mereka jarang latihan. Setiap personel mengasah materi secara mandiri dan langsung bertemu di atas panggung. Hasilnya: minus kesalahan.

Kakan mengatakan selain peka terhadap bunyi, resep lain band mereka adalah “tidak berusaha mengalahkan satu sama lain.” Saat bawakan lagu, kita masing-masing menyimak dan memberi tahu dan mau diberi tahu.”

Ari menambahkan, visi mereka dalam bermusik yang membentuk hal tersebut, sehingga saling menahan ego masing-masing. “Bermusik itu harus harmoni: saling melengkapi dan tidak mau menonjol sendiri.”

Serius tapi Santai

Ari lebih sering membawakan musik pop bersama KOSTE. Namun secara personal, ia menggemari trio grunge asal Seattle Nirvana dan unit metal asal Los Angeles Metallica. Sukar bagi Ari memilih salah satu yang paling ia gemari. Baginya, keduanya adalah puncak musik adiluhung.

Saya mempertanyakan alasannya. Ari berpikir sejenak. Tiba-tiba Asep menceletuk dengan nada guyon: “Karena dia kehidupannya keras.” Semua personel termasuk Ari pecah dalam tawa. Akhirnya Ari menjawab pertanyaan saya, “saya suka yang ngeband. Keduanya keren buat saya.”

Mahfud dan Kakan menyukai grup musik Drive. Mahfud hafal tiga album awal band asal Jakarta itu. Begitu juga Kakan. Mereka tidak lagi mengikuti Drive semenjak sang vokalis, Anji, mengundurkan diri pada 2011. Drive, bagi mereka, memiliki musik berbobot dan mudah dipahami.

Terkhusus Kakan, lagu-lagu Drive sangat sentimental dan telah menjadi latar kehidupan percintaan masa lalunya. “Saya galau pakai lagu Drive. Hampir semua. Waktu itu saya jadi yang ketiga.”

Mendengar pengakuan tersebut, personel KOSTE lainnya tak kuat menahan tawa. Kakan tak marah. Ia malah ikut tertawa sembari menimpali, “gimana kalau kita jadi band spesialis Drive aja?”

Di luar aktivitas bermusik, personel KOSTE memang gemar berkelakar. Jika tidak ada waktu untuk bertemu, grup Whatsapp menjadi tempat mereka bercanda. Menurut Kakan, hal itu penting untuk menjaga kerekatan hubungan antar personel untuk menghindari kejenuhan bermusik. “Alhamdulillah, tidak ada yang baperan.”

Kikin menambahkan, ia beruntung dipertemukan dengan orang-orang “yang satu pemikiran dan tidak mengedepankan ego.”

“Aduh, kita jadi terharu,” Kakan menceletuk.

Tawa pecah kembali.

KOSTE Band

KOSTE Band berlatih kembali di Markas Institut Musisi Jalanan (IMJ), Depok, Jawa Barat pada 19 November 2020. tirto.id/Alfian Putra Abdi

Saat ini KOSTE sedang memproduksi lagu sendiri. Proyek ini tertunda karena pandemi. Terutama saat fase PSBB awal, mereka tidak berkesempatan untuk saling bertemu dan meramu lagu secara langsung.

“Kita juga mau punya lagu sendiri dan orang akhirnya bawakan lagu kita,” Kakan menceritakan impiannya.

Seperti banyak band lain, mereka masih merahasiakan detail proyek tersebut. Saat ini masih tahap pembaruan aransemen. Mereka juga masih harus fokus menyempurnakan lagu terbaru dalam daftar untuk dibawakan saat pementasan terdekat.

Sembilan bulan pandemi, jadwal pentas mereka bisa terhitung jari. Karena minim bermusik, Kakan menjuluki KOSTE sebagai band ‘kaum rebahan’.

“Kesibukan kami menunggu kabar ibu Maya, ‘besok KOSTE main di sini ya’,” ujar Ari terkekeh.

“Seharian nungguin grup bunyi, itu kode ya, Ri?” timpal Kakan. Mereka larut dalam tawa.

Baca juga artikel terkait PENYANDANG DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino