tirto.id - Sudah sejak lama K.H. Abdul Wahab Chasbullah dengan K.H. M. Bisri Syansuri selalu memiliki perbedaan pendapat. Entah itu di rapat-rapat NU yang sempat gebrak-gebrakan meja, sampai dengan tawaran dari Presiden Sukarno untuk NU.
Kecenderungan perbedaan kedua kiai ini pun cukup jelas. Kiai Bisri adalah sosok yang sangat berhati-hati. Ketika Sukarno menawari NU masuk parlemen, Kiai Bisri menganggap bahwa apa yang dilakukan Bung Besar ini bukan hal yang baik. Itulah yang kemudian membuat Kiai Bisri menolak mentah-mentah tawaran ini.
Di sisi lain, dibandingkan dengan Kiai Bisri, Kiai Wahab lebih santai menanggapi dan menghukumi sesuatu. Meskipun dasar yang digunakan dan keilmuan keduanya sama tingginya, namun Kiai Wahab lebih rileks. Dibanding Kiai Bisri, Kiai Wahab lebih menginginkan agar NU masuk ke parlemen. Dalam logika Kiai Wahab, NU masuk ke parlemen itu peluang yang belum tentu bisa datang dua kali. Lagipula kalau ada yang keliru nantinya, toh NU bisa keluar lagi. Dalam bahasa Kiai Wahab, “Susah masuknya, keluarnya gampang.”
Meski begitu, keduanya tidaklah bermusuhan. Malah cenderung sangat akrab. Sudah jadi pemandangan lumrah setelah keduanya berdebat begitu hebat, maka perdebatan akan diakhiri dengan rebutan untuk melayani jamuan makan. Selain karena dua-duanya merupakan murid langsung Syaikhona Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Bisri dan Kiai Wahab adalah saudara ipar. Istri Kiai Bisri adalah adik Kiai Wahab.
Perbedaan cara pandang ini semakin jelas saat datang seorang yang ingin meminta pertimbangan hukum kepada Kiai Bisri. Seperti yang pernah diceritakan ulang oleh Muhammad Solahudin dalam Tawa Pesantren (2016: 21-23), sosok yang datang ini hendak bertanya karena ingin menyembelih seekor sapi untuk korban atas nama satu keluarganya.
Persoalannya, orang ini punya 6 anak dan seorang istri, artinya jumlah anggota keluarganya ada 8 orang. Padahal batas korban untuk sapi hanya untuk 7 orang.
“Saya ingin keluarga saya di akhirat kelak bisa terus bersama-sama, jadi saya korban satu sapi untuk satu keluarga, Kiai. Bagaimana, ya, bisa enggak, Kiai?” tanya orang ini saat mendatangi kediaman Kiai Bisri di Pesantren Denanyar, Jombang.
“Tidak bisa itu, Pak. Satu sapi itu batas korbannya cuma untuk 7 orang. Enggak ada di kitab kuning mana pun bahwa sapi bisa untuk korban 8 orang,” kata Kiai Bisri, “Kecuali kalau Bapak mau tambah satu kambing lagi.”
Mendengar penjelasan Kiai Bisri, orang ini masih ngotot, “Masak enggak ada keringanan Kiai? Cuma tinggal kurang satu orang. Lagi pula anak saya yang terakhir, kan, masih balita. Apa enggak bisa diselipkan saja? Saya khawatir nanti di akhirat, anak saya yang kecil ini terpisah dari keluarga karena anak saya ikut yang kambing.”
Kiai Bisri pun masih dengan kukuh pada jawabannya, bahwa sesuai syariat, satu sapi memang hanya untuk 7 orang. “Enggak bisa, Pak. Sapi cuma untuk 7 orang dan enggak ada aturan lain,” jelas Kiai Bisri.
Tidak puas dengan jawaban itu, orang ini lalu sowan ke Kiai Wahab. Begitu datang ia menjelaskan duduk permasalahannya. Setelah dijelaskan panjang lebar ia lalu meminta keringanan agar seluruh anggota keluarganya bisa masuk dalam korban satu sapi.
“Sapinya gemuk enggak?” tanya Kiai Wahab.
“Oh, gemuk. Gemuk dan besar. Bisa itu kalau mau dinaikin sampai 9-10 orang,” kata orang ini yakin.
“Kalau gemuk berarti bisa untuk 8 orang,” kata Kiai Wahab.
Mendengar jawaban tersebut, orang ini bahagia bukan kepalang. “Yang bener, Kiai?”
“Lho, iya, memang bener bisa,” kata Kiai Wahab. “Eh, katanya tadi anak terakhir sampeyan masih balita?” tanya Kiai Wahab.
“Benar Kiai, masih kecil. Seharusnya enggak ada masalah, kan? Toh, juga masih kecil,” kata orang ini.
“Oh, justru di situ masalahnya,” kata Kiai Wahab.
Orang ini mendadak bingung, “Maksudnya? Kok malah jadi masalah?”
Kiai Wahab berpura-pura berpikir. Seolah-olah ini persoalan pelik, “Begini, Pak. Sapi Bapak bisa untuk 8 orang, tapi persoalannya orang kedelapan terlalu pendek ketika sapi ini dikorbankan,” kata Kiai Wahab.
“Terus?” kata orang ini.
“Nah, anak Bapak yang masih balita ini tidak akan bisa naik ke punggung sapi karena terlalu kecil,” kata Kiai Wahab.
Orang ini langsung panik. “Waduh, terus bagaimana solusinya?”
“Agar anak Bapak yang balita ini bisa naik ke punggung sapi, Bapak perlu bikinkan tangga untuk anak Bapak,” kata Kiai Wahab.
“Tangga? Dari apa tangga di akhirat itu nanti?” tanya orang ini.
“Masalahnya tangganya itu harus berbentuk korban juga. Yaitu seekor kambing. Dan cuma itu yang bisa jadi tangga,” kata Kiai Wahab.
Mendengarnya orang ini langsung tersenyum. “Oalah, tangganya cuma satu kambing. Tenang kiai, jangankan satu kambing, tiga kambing saya juga masih sanggup beli.”
Mendengar itu, Kiai Wahab tersenyum.
“Jadi hitungan korbannya nanti, satu sapi ditambah satu kambing ya, Pak? Jangan sampai lupa,” kata Kiai Wahab.
“Baik, Kiai,” kata orang ini pamit dan beberapa tahun kemudian baru menyadari bahwa dua jawaban dari dua kiai legendaris ini pada dasarnya sama saja.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS