tirto.id - Setelah peristiwa G30S, Presiden Sukarno makin terpojok. Sejumlah pihak menuduhnya terlibat dalam gerakan tersebut. Situasi ini membuat Sukarno kian merasa tidak aman. Pada 10 Maret 1966 siang, Sukarno mendatangi markas Korps Komando (KKO)--sekarang Korps Marinir--di Cilandak. Ia datang bersama tiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam): Soebandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh.
Sukarno hendak menemui Mayor Jenderal Hartono, Komandan KKO. Menurut Abdul Haris Nasution dalam Masa Kebangkitan Orde Baru Jilid VI (1986:386), dan dikutip Julius Pour dalam G30S: Fakta dan Rekayasa (2013:292-293), kala itu Sukarno bertanya apakah KKO sanggup menghadapi RPKAD--sekarang Kopassus--yang menurut info intelijen akan menyerbu istana. "Sanggup!" jawab Mayor Jenderal Hartono.
Sementara pengawal setia Sukarno, Mangil Martowidjojo, dalam Kesaksian Tentang Bung Karno (2001:417-421) punya versi berbeda. Menurutnya, rombongan presiden ke Cilandak bukan siang hari, tapi malam tanggal 10 Maret 1966 dan Hartono kebetulan tidak ada di tempat.
Mangil menambahkan, dari markas KKO rombongan Sukarno mendapat tambahan satu regu pengawal yang ikut menuju Istana Bogor. Jika benar Sukarno minta perlindungan dari Hartono, imbuhnya, maka “pasti, malam itu juga seluruh kekuatan KKO akan langsung diperintahkan oleh Jenderal Hartono untuk menghalau para pengganggu.”
Pengawal lainnya, Maulwi Saelan, menyebutkan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008:247), “[Hartono] mengharapkan komando dari Presiden/Panglima Tertinggi mengenai tindakan yang harus ditempuh untuk menjaga kehormatan dan Martabat Presiden/ Panglima Tertinggi.”
Hartono dikenal sebagai jenderal yang setia kepada Suakrno, termasuk di masa-masa sulit setelah G30S. Pada November 1965, ia dengan berani dan lantang berkata, “Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung karno, hitam kata KKO.”
“KKO-AL sejak tahun 1960-an telah amat diperbesar kekuatannya,” tulis Letnan Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997:366).
Masih menurut Sayidiman, para perwiranya tampak terpengaruh organisasi militer gaya US Marines (Marinir Amerika Serikat) yang tidak berada di bawah US Navy (Angkatan Laut Amerika Serikat).
Nasution, juga Pour, mencatat bahwa Hartono, “malahan sudah akan diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut untuk menggantikan Laksamana Martadinata.”
Namun, jabatan Panglima Angkatan Laut (kini disebut Kepala Staf Angkatan Laut), dalam sejarahnya adalah jatah perwira Korps Pelaut. Maka Hartono akhirnya hanya menjadi Wakil Panglima Angkatan Laut yang merangkap Komandan KKO, dan tetap menjadi andalan Sukarno. Sementara Panglima Angkatan Laut dijabat oleh Laksamana Muljadi.
Sukarno sadar bahwa secara umum petinggi Angkatan Darat tidak mendukungnya lagi untuk terus menjadi Presiden. Jika ia mau, KKO bisa digunakan untuk berperang melawan Angkatan Darat yang sudah dikuasai Letnan Jenderal Soeharto. Namun yang terjadi setelah kunjungan Sukarno ke Cilandak justru keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Soeharto diberi tanggungjawab untuk mengembalikan ketertiban dan keamanan negara, bukan pemindahan kekuasaan.
Langkah ini dipilih Sukarno untuk berdamai dengan para jenderal Angkatan Darat yang terus menekannya. Hingga kemudian ia terdongkel dari kursi presiden, dan Soeharto yang naik takhta dengan dukungan Angkatan Darat mulai menjauhinya.
Terjungkalnya Sukarno membuat Hartono tergusur dari militer meski sempat naik pangkat menjadi Letnan Jenderal. Ia dijadikan Duta Besar RI untuk Korea Utara pada 8 November 1968. Anak dan istri ikut diboyong ke Pyongyang.
Grace Walandauw, istri Hartono, menyampaikan kepada penulis pada November 2014, bahwa di Korea Utara mereka kesulitan mencari bahan-bahan untuk membuat kue tart. Bahkan tidak mudah mencari tempat rekreasi. Izin khusus diperlukan untuk berwisata ke sebuah tempat. Korea Utara dijadikan tempat memencilkan seorang layolis Sukarno.
Ketika Hartono di Pyongyang, Sukarno wafat pada 21 Juni 1970. Pada akhir tahun itu juga Hartono dapat panggilan dari Jakarta. Grace Walandauw, seperti dilaporkan Pikiran Rakyat (12/01/1971), mengaku sempat berdebat dengan suaminya sebelum Hartono pulang ke Indonesia memenuhi panggilan rezim Orde Baru. Grace punya firasat, Hartono akan ditahan. Apalagi suaminya itu tak pulang bersama keluarga.
“Hartono merasakan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan pemanggilan itu,” kata Panglima Kopkamtib Soemitro dalam autobiografinya yang disusun Ramadhan KH, Soemitro: Mantan Pangkopkamtib: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994: 239).
Saat itu, para pengikut Sukarno kerap dituduh terlibat G30S, termasuk KKO yang disikat lewat Operasi Ikan Paus yang dilancarkan ketika KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut) dijabat Laksamana Soedomo.
Subuh tanggal 6 Januari 1971, tepat hari ini 49 tahun lalu, Hartono ditemukan tewas di rumahnya. Sebelum terjadi tembakan, rumah Hartono disinggahi tamu misterius.
“Ternyata ia datang untuk menyerahkan nyawanya. Hartono dibunuh secara misterius dan bukannya bunuh diri seperti yang resmi diumumkan,” kata Maulwi Saelan.
Tak hanya Maulwi Saelan sang pengawal Sukarno yang tidak percaya Hartono bunuh diri, kolega Hartono di KKO pun lebih percaya jika Hartono dibunuh.
Sementara menurut Laksamana Soedomo, seperti terdapat dalam buku The Children of War (2013:125), Hartono bunuh diri karena kecewa KKO diperkecil.
“Resume dari RSPAD [Gatot Subroto] hanya secara lisan mengatakan ayah saya sakit pendarahan otak. Surat kematian pun tak ada,” kata Nenny Hartono, salah seorang putrinya dalam The Children of War (2013:126).
Hartono dimakamkan pada 7 Januari 1971 di Kalibata, tanpa kehadiran keluarganya yang masih di Pyongyang. Istri dan anak-anaknya baru tiba sekitar dua minggu setelah permakaman. Tak ada pesawat langsung antara Jakarta-Pyongyang. Penerbangan dari Pyongyang harus memutar lewat Moskow dan jadwalnya hanya seminggu sekali.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juni 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh