Menuju konten utama

Kontroversi Jatuhnya SilkAir 185 di Sungai Musi: Pilot Bunuh Diri?

SilkAir MI 185 jatuh menukik di Sungai Musi, Sumsel pada 19 Desember 1997, dan menewaskan seluruh penumpang termasuk awak.

Kontroversi Jatuhnya SilkAir 185 di Sungai Musi: Pilot Bunuh Diri?
Ilustrasi kecelakaan pesawat. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sriwijaya Air SJ182 Tujuan Jakarta-Pontianak jatuh di Perairan Kepulauan Seribu, pada Sabtu (9/1/2021).

Sebelumnya, pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak itu dilaporkan hilang kontak pada pukul 14.40 WIB.

Pesawat jenis Boeing 737-500 dengan nomor registrasi PK-CLC itu membawa 62 orang, yang terdiri dari: 6 awak pesawat dan 56 penumpang.

Dari data yang dihimpun Tirto.id, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat ini. Dugaan sementara, pesawat mungkin tidak meledak di udara, tapi hancur saat membentur permukaan air laut.

Semua itu akan diketahui lebih jelas jika kotak hitam (blackbox) pesawat yang berisi Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR) ditemukan dan datanya dianalisis.

Salah satu kecelakaan pesawat yang menghebohkan dunia yaitu, SilkAir MI 185, pada 19 Desember 1997 silam.

Dilansir dari situs resmi Pemerintah Negara Singapura, SilkAir 185 diawaki oleh pilot Tsu Way Ming dari Singapura dan kopilot Duncan Ward dari Selandia Baru.

Pesawat meninggalkan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta pada pukul 15.37 waktu setempat dan dijadwalkan tiba di Bandara Changi Singapura pada pukul 6.05 sore waktu Singapura.

Dari 104 orang di dalamnya, 46 orang adalah warga Singapura, termasuk pilot, lima anggota awak lainnya, dan 40 penumpang.

Pukul 16.10 waktu setempat, Air Traffic Control (ATC) Jakarta memberi tahu MI 185 bahwa ia berada di dekat Palembang dan menginstruksikan untuk mempertahankan tingkat jelajahnya di 35.000 kaki.

MI 185 menerima pesan pada pukul 16.10 waktu setempat. Ini adalah komunikasi terakhir antara ATC Jakarta dan MI 185.

Rekaman radar ATC Jakarta menunjukkan bahwa pesawat masih berada di ketinggian 35.000 kaki pada pukul 16.12 waktu setempat, tetapi 32 detik kemudian, ketinggian pesawat turun hingga 19.500 kaki.

Tak lama kemudian, pesawat jatuh menukik ke Sungai Musi di distrik Sungsang, Sumatera Selatan.

Pesawat Boeing 737-300 tersebut baru berusia 10 bulan dan merupakan yang terbaru di armada SilkAir.

Seorang saksi mata menyatakan bahwa ada ledakan sebelum pesawat tersebut jatuh ke sungai, namun penyidik ​​kemudian tidak menemukan buktinya.

Tragedi Mengerikan

Ada perbedaan pendapat tentang apa yang menyebabkan kecelakaan itu, tetapi penyelidikan resmi tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk mendukung teori tertentu.

Kecelakaan tersebut diselidiki oleh Komite Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT) dengan bantuan dari Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) Amerika Serikat (AS), Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Singapura, dan Biro Investigasi Keselamatan Udara Australia.

Menurut laporan akhir yang dirilis pada 14 Desember 2000, baik CVR maupun FDR telah berhenti merekam sesaat sebelum benturan pada waktu yang berbeda (CVR pada pukul 4.05 sore dan FDR pada pukul 16.11).

NTSC menemukan bahwa perekam tidak berfungsi, tetapi tidak dapat menjelaskan penyebabnya.

Faktanya, KNKT tidak menemukan bukti yang mendukung penjelasan kecelakaan itu, apakah akibat kegagalan mekanis, cuaca, kontrol lalu lintas udara, atau tindakan pilot.

Tidak adanya data dari perekam untuk saat-saat terakhir pesawat dan pecahan reruntuhan yang parah.

Dari semua skenario yang dipertimbangkan, penyebab jatuhnya pesawat akibat kesengajaan dengan kata lain bunuh diri pilot.

KNKT menyebutkan dugaan sementara bahwa kecelakaan itu mungkin disengaja. Keadaan misterius seputar tragedi dihubungkan dengan hasil penyelidikan yang mengungkap masalah disipliner pilot Tsu Way Ming di SilkAir. Selain itu, pilot juga diketahui memiliki masalah keuangan.

Dugaan kuat semakin meningkat. Hal ini menyebabkan polisi Singapura dipanggil untuk menyelidiki apakah insiden itu memang kasus bunuh diri sekaligus pembunuhan.

Namun, polisi akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa pilot atau anggota awak lainnya memiliki niat atau motif untuk bunuh diri hingga menyebabkan kecelakaan itu.

Insiden tersebut menyebabkan beberapa tuntutan hukum di Singapura dan AS terhadap SilkAir, Boeing, dan produsen suku cadang pesawat. Sebuah laporan menyebutkan, tuntutan dilakukan di luar pengadilan.

Boeing dan beberapa produsen suku cadang pesawat juga dituntut di berbagai negara bagian AS oleh lebih dari 30 keluarga korban.

Pada tahun 2004, dalam persidangan pertama di AS, juri di pengadilan tinggi Los Angeles menemukan bahwa ada kerusakan pada sistem kendali kemudi pesawat.

Pengadilan memerintahkan produsen Parker Hannifin untuk membayar US $ 43,6 juta kepada keluarga tiga korban; baik Boeing maupun SilkAir tidak ditemukan bersalah.

Bukti kegagalan kemudi telah ditemukan pada tahun 2003. Setelah berita tentang penemuan tersebut muncul, Boeing membatalkan klaimnya bahwa pilot bunuh diri telah menyebabkan kecelakaan itu dan menarik gugatannya terhadap SilkAir, dan perusahaan asuransi SilkAir juga membatalkan gugatannya terhadap Boeing.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN SILKAIR atau tulisan lainnya dari Desika Pemita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Desika Pemita
Penulis: Desika Pemita
Editor: Yandri Daniel Damaledo