tirto.id - Ada idiom bahwa Cina bisa membuat hampir segalanya. Berbagai barang dari yang remeh temeh seperti peniti hingga komputer bahkan robot, dari asli hingga palsu bisa mereka buat.
Tercatat, ada 320,4 juta komputer yang diciptakan Cina pada 2011, setara dengan 90,6 persen total komputer yang diciptakan di seluruh dunia. Ada 1,1 miliar ponsel berlabel “made in China” terlahir di tahun yang sama, senilai dengan 70,6 persen total produksi ponsel di Bumi.
Produk Made in China menjamur dalam banyak sendi kehidupan termasuk bidang luar angkasa. Di tangan Wu Chunfeng, Kepala Chengdu Aerospace Science Institute, Cina akan melangkah lebih jauh: Cina berencana membangun Bulan buatan.
BBC, melaporkan Bulan Made in China tersebut akan diorbitkan ke luar angkasa pada 2020. Cina akan menempatkan Bulan pada ketinggian 500 kilometer di atas permukaan Bumi, alias ditempatkan di suatu area di luar angkasa bernama Low Earth Orbit (LEO). Di area itu telah diparkir mahakarya manusia lain bernama International Space Station atau ISS.
Bulan buatan, menurut Chunfeng, akan menjadi “cermin besar” yang memantulkan cahaya Matahari ke titik tertentu di Bumi. Bertugas bak bohlam, menerangi wilayah tertentu di Cina saat kondisi malam.
Menurut klaim, Bulan buatan yang hendak diterbangkan akan mampu memantulkan cahaya matahari pada area seluas 50 km persegi atau area dengan diameter antara 10-80 km. Ini setara sedikit lebih luas dari area Jakarta Pusat saja (48 km persegi). Namun, diklaim punya intensitas cahaya yang delapan kali lebih terang dibandingkan cahaya pantulan dari Bulan sungguhan.
Belum jelas bagaimana rincian teknis di balik Bulan buatan ala Cina dan bagaimana pendanaannya. Namun, menurut Chunfeng, jika pengorbitan Bulan buatan sukses dilakukan pada 2020, tiga perangkat serupa akan meluncur pada 2022.
Bulan buatan bukanlah yang pertama digagas oleh manusia. Pada awal dekade 1990-an, Rusia, melalui Roscosmos, pernah menciptakan hal serupa. Bendanya bernama Znamya, Bulan buatan selebar 20 meter ini dibuat oleh Vladimir Syromyatnikov, insinyur di balik pesawat angkasa Vostok, yang sukses membuat Yuri Gagarin mengorbit Bumi pada 1961.
Znamya diterbangkan mengorbit Bumi dari ketinggian 200 hingga 420 km. Berkecepatan 8 km per jam, Bulan buatan ala Rusia tersebut sanggup menyinari wilayah berdiameter 5 km di Bumi. Sayangnya, proyek ambisius Rusia ini gagal. Znamya masuk kembali ke atmosfer Bumi, lalu perangkat ini terbakar tanpa sisa.
Apakah Bulan palsu dari Cina akan gagal seperti Znamya?
Bulan palsu bikinan Cina dibuat dengan tujuan penerangan, membuat malam menjadi siang. Menurut klaim Chunfeng, Bulan palsu buatannya sanggup menerangi area seluas 50 km persegi, itu cukup membuat pemerintah menghemat duit untuk penerangan kota sebesar 1,2 miliar yuan (US$173 juta) setara Rp2,4 triliun per tahun.
Matteo Ceriotti, pengajar Teknik Antariksa pada University of Glasgow, mengatakan upaya “menerangi jalanan kota pada malam hari sangat mahal. Jika pemerintah sanggup menciptakan Bulan buatan yang bisa menerangi hingga 15 tahun, secara ekonomi hal tersebut sangat menguntungkan.”
Ryan Russell, Profesor Teknik Antariksa pada University of Texas at Austin punya pandangan kritis, sebagaimana dilansir Discover, berpendapat apa yang dilakukan Cina, dengan klaim-klaim yang diungkap Chunfeng, mustahil terjadi. Khususnya tentang penempatan Bulan buatan pada ketinggian 500 km di atas Bumi.
Dengan tujuan menerangi suatu titik wilayah di Cina, Bulan buatan wajib berada di titik yang sama di luar angkasa. Sementara itu, objek Bumi yang diterbangkan ke luar angkasa dan tetap tinggal di titik yang ditentukannya perlu berada di ketinggian lebih dari 22 ribu km di atas Bumi, atau wajib ditempatkan di area angkasa bernama geostationary orbit (GEO).
“Mengarahkan objek di titik tertentu, tapi ditempatkan di sana (di ketinggian 500 km) mustahil dilakukan,” kata Russel.
Ahli Fisika dan Astronom Scott Manley, dalam wawancara pada DW, menegaskan hal serupa. Ia bilang “objek-objek (yang ditempatkan di ketinggian 500 km), misalnya satelit, meluncur sangat cepat. Jika Anda melihat satelit, mereka terbang melintas angkasa hanya dalam hitungan menit.”
“Artinya,” tegas Manley kemudian, “jika Bulan palsu ala Cina itu hanya akan sanggup menyinari satu titik wilayah di Bumi hanya dalam hitungan menit.”
Bulan made in Cina itu akan bekerja bukan hanya menerangi wilayah Cina, tapi juga menyinari wilayah-wilayah negara lain yang dilintasi si Bulan.
Sementara itu, jika Cina benar-benar ingin menerangi satu titik tertentu di Bumi dengan Bulan ciptaannya mereka punya dua pilihan: Pertama, memasang roket di Bulan palsu itu agar bisa dikendalikan posisinya. Kedua, Bulan palsu harus ditempatkan di area GEO.
Sialnya, dua pilihan yang mesti dipilih punya konsekuensi yang rumit. Pada pilihan pertama, Bulan palsu Cina memerlukan energi yang besar guna menghidupkan roket. Pilihan yang masuk akal hanyalah mengkonversi energi Matahari menjadi listrik.
Stasiun luar angkasa internasional atau ISS misalnya, memerlukan energi sebesar 75 hingga 90 kilowatt, setara dengan energi untuk menerangi sekitar 50 rumah, untuk menghidupi berbagai perangkat di dalamnya. Untuk memperoleh energi yang diperlukan, ISS menggunakan panel surya besar berjumlah delapan unit, setara dengan besarnya Boeing 777 seri 200.
Energi yang diperoleh sel surya milik ISS digunakan berbagai keperluan, termasuk perangkat semacam roket, yang bertugas membuat ISS tidak tertarik ke atmosfer Bumi dan tetap berada di jalurnya atau dalam dunia astronomi dikenal dengan sebutan orbital station-keeping. Sayangnya, perangkat demikian tidak sanggup membuat ISS berada tetap di satu lokasi. ISS justru mengelilingi Bumi 16 kali dalam sehari.
Untuk membuat Bulan palsu ala Cina tetap berada di satu lokasi tertentu saja, Bulan tersebut perlu sel surya yang lebih besar, yang lebih kuat, yang sanggup memberi energi besar pada roket.
Pilihan kedua, Bulan palsu ala Cina harus dibuat dengan ukuran sangat besar, ukuran yang mesti dibuat dalam satuan panjang km. Ini harus dilakukan lantaran jarak Bulan palsu ke Bumi menjadi semakin jauh.
Bulan asli, sebagai perbandingan, memiliki diameter sebesar 3.500 km, dengan luas permukaannya sebesar 3.793×107 km persegi. Sayangnya, dengan ukuran itu Bulan tidak bisa optimal memancarkan pantulan sinar Matahari yang diterimanya ke Bumi. Bulan hanya sanggup memantulkan 3-12 persen sinar matahari yang diterimanya ke Bumi.
Lalu, karena Bulan terus bergerak, ini membuatnya tidak optimal mengirimkan cahaya ke Bumi. Dalam kondisi “full moon,” Bulan hanya sanggup mengirim cahaya dengan intensitas 400 ribu kali lebih redup dibandingkan sinar Matahari ke Bumi. Kondisi selain itu, jauh lebih redup.
Bulan asli, dengan ukuran demikian, sanggup memberi cahaya pada wilayah yang sangat luas di Bumi. Jika ditempatkan pada GEO, Bulan palsu Cina akan bertindak bak Bulan asli, tidak hanya menerangi satu area saja, tetapi juga menerangi wilayah-wilayah lain di banyak negara.
Selain itu, menurut Manley, dengan menempatkan suatu objek pada GEO, insinyur yang menciptakannya perlu memikirkan masalah keamanan objek Bulan palsu. Pada GEO, sinar Matahari yang merusak mudah menerjang objek. Selain itu, gangguan-gangguan dari benda antariksa seperti meteor semakin mudah terjadi.
Dengan dua pilihan yang tak ramah ini Cina nampaknya harus berpikir ulang. Belum lagi aspek lingkungan dan makhluk di Bumi bila sepanjang hari hidup dengan penuh cahaya.
Editor: Suhendra