Menuju konten utama

Konflik di Myanmar, Solidaritas di Indonesia

Konflik di Myanmar menyebabkan ribuan warga muslim etnis Rohingya memicu keprihatinan. Di Indonesia tragedi itu membuat sejumlah umat muslim dan Budha ikut berempati.

Konflik di Myanmar, Solidaritas di Indonesia
Massa dari PW HIMA Persis Jabar berunjuk rasa di kawasan jalan Merdeka terkait terkait kasus kemanusiaan terhadap etnis Rohingya, Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/11). Dalam aksinya mereka mengutuk keras genosida yang dilakukan Pemerintah Junta Militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine) Myanmar dan meminta agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Myanmar. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/foc/16.

tirto.id - Konflik di Myanmar menyebabkan ribuan warga muslim etnis Rohingya berduyun-duyun kabur menyeberangi perbatasan untuk mengungsi ke Bangladesh, dari tempat asalnya di Provinsi Rakhine, Myanmar barat laut. Mereka mengungsi karena menghindari kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi selama berminggu-minggu di Provinsi Rakhine.

Namun pemerintah Myanmar membantah laporan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine tersebut. Pemerintah mengklaim, militer tengah menggelar operasi pembersihan untuk mencokok para tersangka pelaku kekerasan yang menewaskan sembilan tentara penjaga perbatasan Myanmar pada 9 Oktober silam.

Sejak itu media resmi Myanmar melaporkan bahwa sekitar 100 orang tewas dan 600-an lainnya ditahan.

"Skala masalah di dalam provinsi Rakhine di mana etnis Rohingya benar-benar terperangkap adalah menyedihkan," kata McKissick seperti dikabarkan Antara dari CNN, Jumat (25/11/2016). "Pemerintah Myanmar telah menerapkan hukuman kolektif kepada minoritas etnis Rohingya."

Laporan dari Human Rights Watch menyebutkan 1.250 rumah warga Rohingya dibakar pemerintah Myanmar. Pemerintah membantah, berkilah bahwa para penyerang di desa-desa itulah yang membakarnya.

"Citra-citra satelit terbaru memastikan bahwa penghancuran desa-desa Rohingya itu jauh lebih luas dan mencakup lebih dari tempat-tempat yang diklaim pemerintah (Myanmar)," kata Brad Adams, Direktur wilayah Asia Human Rights Watch.

Lantaran persoalan kekerasan ini, peraih Nobel dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dikritik habis-habisan karena bungkam terhadap pemerintahannya menyangkut isu ini--yang dinilai McKissick sebagai bukti Suu Kyi kehilangan kendali terhadap militer.

"Myanmar mesti mematuhi hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia, dan mereka saat ini tidak berbuat apa-apa, dan sepertinya pemerintah yang terpilih secara demokratis itu tidak mengendalikan militer," kata McKissick.

Solidaritas Muslim dan Budha di Indonesia

Di Indonesia, tragedi kekerasan militer Myanmar terhadap Rohingya menyulut respons. Sekitar 30 orang dari kelompok Solidaritas Muslim Rohingya menggelar unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat, Jumat (25/11). Mereka menuntut pemerintah Myanmar segera menghentikan kekerasan terhadap penduduk muslim Rohingya.

"Menuntut Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia untuk mengambil sikap dan tegas atas kejahatan di Rohingya, Myamar," kata Koordinator Lapangan aksi, Julkifli Ali.

Selain itu para pengunjuk rasa berharap PBB dan pemerintah Indonesia turut berperan aktif dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di Myanmar.

Mengantisipasi aksi solidaritas Rohingya di tengah situasi menghangatnya politik Pilgub DKI Jakarta, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Mochamad Iriawan turun langsung ke lapangan untuk mengecek proses pengamanan pada aksi unjuk rasa.

"Mau melihat bagaimana pelaksanaannya," kata Iriawan.

Kapolda berujar aksi unjuk rasa pada Jumat pagi hari ini memang hanya melibatkan puluhan orang peserta. Namun, kata Iriawan, ada informasi bahwa setelah shalat jumat peserta unjuk rasa akan bertambah hingga 2.000 orang.

"Setelah Shalat Jumat juga ada di situ (Kedubes Myanmar). Aksi yang lain-lain belum ada. Ini sedikit, paling-paling 50-60 peserta," kata dia.

"Siang ada 2.000 massa dari beberapa elemen, ormas Islam dan mahasiswa. Mereka hanya akan menyampaikan pendapat terkait Rohingya," pungkas Kapolda.

Sementara itu, pada Kamis (24/11), umat Buddha di Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah menyampaikan rasa prihatin atas memanasnya kembali konflik sosial di Rakhine, Myanmar yang menyebabkan tewasnya muslim Rohingya.

"Kami prihatin melihat, mendengar kondisi tersebut, karena hal itu sudah keluar dari konteks agama Buddha, tidak tertutup kemungkinan mereka sudah berpolitik," kata Ketua Vihara Vajra Bhumi Dharma Viriya, tanpa disebutkan namanya oleh Antara.

Menurutnya pula politik itu bisa masuk kepada siapa pun, termasuk pada kaum ulama, kaum cendekia, atau bisa masuk ke kalangan bawah. "Semua agama saya rasa demikian konteksnya, mengajarkan kedamaian dunia, tetapi kalau menggunakan kesempatan tersebut untuk tujuan pribadi itu sudah lain lagi," ujarnya.

Ia mengatakan bagi umat Buddha berlaku karma, maka bagi mereka yang berbuat seperti itu harus siap menerima akibat dari perbuatannya. "Buddha pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, tetapi kadang-kadang ada segelintir atau beberapa orang yang menggunakan hal tersebut dengan membaca syair kembarnya dengan logat yang berbeda sehingga menimbulkan makna yang berbeda," tuturnya.

Atas tragedi itu, katanya pula, organisasi Buddha di Indonesia Walubi dan Kassi sebenarnya sudah membuat seruan pada umat Budha di Myanmar agar menepati dharma, karena mereka menyimpang dari ajaran Buddha. Tetapi seruan itu tak didengar lantaran umat Buddha Indonesia itu sedikit sehingga tidak terlalu diperhitungkan.

"Buddha itu adalah pendamai yang tidak damai itu bukan Buddha, yang tidak membawa rahmat itu juga bukan Buddha, walaupun mereka beragama Buddha. Menurut pandangan saya mereka mempunyai kepentingan politik," paparnya.

Sumber: diolah dari Antara

Baca juga artikel terkait MUSLIM ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH