Menuju konten utama

Kominfo Sebut Ada Potensi Penggunaan Akun Bot Jelang Pilpres 2019

Dedy Permadi mengatakan, ada potensi penggunaan akun bot jelang Pilpres 2019, seperti yang terjadi pada Pilpres di Amerika Serikat 2016 yang dimenangkan oleh Donald Trump.

Kominfo Sebut Ada Potensi Penggunaan Akun Bot Jelang Pilpres 2019
Ilustrasi buzzer politik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Dedy Permadi mengatakan, ada potensi penggunaan strategi atau munculnya akun seperti akun bot Rusia dalam Pilpres AS lalu, menjelang Pilpres 2019 di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan kepada Tirto di Bali Room, Hotel Kempinski Indonesia dalam acara diskusi panel “Kampanye Facebook Laju Digital Meningkatkan Keahlian Digital Masyarakat di Indonesia”, Selasa (14/8/2018).

“Saya tidak berani mengatakan bahwa itu akan ada, tetapi yang pasti potensi untuk ada pihak yang menggunakan cara itu pasti ada”, ujar Dedi Permadi.

Sebelumnya, telah ramai dibicarakan munculnya polling yang memenangkan pasangan Prabowo-Sandiaga di Twitter. Salah satunya di akun Twitter milik penyanyi Iwan Fals @iwanfals.

Dalam polling yang diselenggarakan selama sehari [24 jam] pada 10 Agustus lalu itu mendapatkan hasil 67 persen memilih Prabowo-Sandiaga, 27 persen memilih Jokowi-Maruf dan 6 persen Golput.

Polling lain yang menyatakan Prabowo-Sandiaga menang adalah akun Twitter milik Indonesia Lawyers Club (ILC), @ILC_tvOnenews, dengan perolehan 63 persen dari 110.279 responden. Jokowi-Maruf mendapat 26 persen dan Golput 10 persen.

Banyak yang mengaitkan hasil polling tersebut dengan fenomena akun bot di Rusia, yang menggunakan 50.258 akun robot pada Pilpres di Amerika Serikat 2016 yang dimenangkan oleh Donald Trump.

Bot semacam ini, baik di Twitter maupun Facebook, bekerja sistematis secara rutin mempromosikan informasi yang salah dan menyebar propaganda seakan memuji-muji Trump dan merendahkan lawan politiknya saat itu, Hillary Clinton. Sehingga swing voter terpengaruh dan akhirnya memutuskan untuk memilih Trump.

Ketika ditanyai mengenai ini, Dedy menjawab kasus seperti ini disebut sebagai aktivitas micro-targeting.

“Jadi itu sebetulnya istilahnya micro-targeting, micro-targeting itu dimana setiap pengguna media sosial dan internet itu dilakukan digital profiling. Jadi misal saya itu secara profil digital seperti apa, secara psikologis seperti apa. Kemudian orang yang melakukan campaign, intervensi namanya. Intervensi di kita, itu mempengaruhi saya secara tidak sadar, dengan instrumen-instrumen digital,” papar Dedy kepada Tirto.

Ia menjelaskan lebih lanjut, kampanye yang masuk ke dalam diri orang tersebut akan mengubah persepsinya. Bisa mengubah karena orang yang melakukan kampanye terhadap target itu sudah mengetahui profile target.

“Jenis psikologi seperti ini akan efektif untuk dipengaruhi dengan cara seperti ini. Yang seperti ini beda lagi caranya. Itu namanya micro-targeting. Karena tiap orang punya cara intervensi yang berbeda. Itu sistemnya seperti itu,” jelas Dedy.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Larasati Ayuningrum

tirto.id - Politik
Reporter: Larasati Ayuningrum
Penulis: Larasati Ayuningrum
Editor: Yandri Daniel Damaledo