Menuju konten utama

Koalisi Sipil Desak Pembentukan Tiga Provinsi Baru Papua Ditunda

Koalisi sipil mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembentukan 3 provinsi baru di Papua.

Koalisi Sipil Desak Pembentukan Tiga Provinsi Baru Papua Ditunda
Seorang mama-mama Papua melintasi ratusan mahasiwa yang mengikuti aksi di Lingkaran Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (1/4/2022). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/aww.

tirto.id - Koalisi Kemanusiaan untuk Papua yang terdiri atas sejumlah organisasi masyarakat sipil menyayangkan persetujuan Badan Legislasi DPR RI atas Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pembentukan tiga provinsi baru di Papua.

”Kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat dan akan semakin menyulitkan negara dalam mengakhiri konflik bersenjata Papua,” kata peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Cahyo Pamungkas yang sekaligus Anggota Jaringan Damai Papua (JDP) melalui keterangan tertulis, Jumat (8/4/2022).

Panja RUU tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Tiga RUU untuk DOB di Papua yang disetujui RUU inisiatif DPR RI yaitu RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Menurut Cahyo, pemekaran provinsi Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat telah ditolak oleh orang asli Papua pada tahun 1999, tetapi tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan dilegalkan pada tahun 2021.

“Pemekaran ‘top down’ yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam [SDA] dan menguasai tanah Papua,” kata dia.

Cahyo juga mengatakan bahwa siklus kekerasan politik di Papua telah menimbulkan banyak korban sipil dan pengungsian. Revisi kedua UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan kebijakan pemekaran provinsi ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif.

“Akibatnya, orang asli Papua semakin merasakan tidak adanya rasa aman dan memperkuat memoria passionis mereka atas pengalaman kelam masa lalu,” imbuh dia.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Public Virtue, Miya Irawati menekankan jika pemerintah seharusnya membatalkan atau setidaknya menunda rencana pemekaran sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan revisi UU Otsus Papua yang dilayangkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Dia juga menyebut bahwa mereka mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembentukan provinsi baru di Papua atau setidaknya menunda rencana tersebut sampai ada putusan MK pada beberapa bulan mendatang.

“Ini adalah kemunduran demokrasi di Papua. Alih-alih menghormati semangat otonomi khusus, pemerintah justru melakukan resentralisasi politik pemerintahan daerah,” pungkas Miya.

Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad menyatakan khawatir kalau kebijakan pemekaran wilayah Papua akan digunakan untuk membenarkan penambahan kehadiran militer di Papua, yang mana berpotensi meningkatkan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

“Kami khawatir pembentukan provinsi baru nantinya akan melegitimasi pembentukan satuan-satuan teritorial baru di Papua. Jika ada tiga provinsi baru maka biasanya akan diikuti dengan pembentukan 3 Kodam dan satuan-satuan baru juga di bawahnya yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pasukan militer di Papua,” kata dia.

Lanjut Hussein, di tengah upaya penyelesaian konflik dan kekerasan militer yang jalan di tempat dan problem akuntabilitas operasi militer di Papua, pembentukan satuan teritorial baru dan peningkatan jumlah pasukan berpotensi meningkatkan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Sementara itu, Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy menambahkan bahwa kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua belum ada yang selesai, termasuk yang terjadi di masa lalu. “Seharusnya DPR membantu pembentukan pengadilan HAM di Papua, termasuk pembentukan pengadilan ad hoc,” kata Andi.

Kemudian Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid membenarkan bahwa pemekaran di Papua seharusnya melibatkan MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua (OAP). Hal itu, menurut dia diatur dalam UU Otsus sebagai bentuk perlindungan hak-hak orang asli Papua.

“Dalam beberapa waktu terakhir ini muncul demonstrasi tolak pemekaran yang sangat besar dan melahirkan korban jiwa. Pemekaran Papua mendorong situasi yang tidak kondusif bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua,” kata Usman.

Untuk diketahui, Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, Elsam Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti Cahyo Pamungkas.

Baca juga artikel terkait PEMEKARAN PAPUA atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Politik
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Maya Saputri