Menuju konten utama

Koalisi LSM: Terorisme Bukan Domain TNI!

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR untuk tidak mengkhianati mandat reformasi terkait pelibatan militer dalam urusan sipil. Hal dikemukakan setelah DPR berupaya melibatkan militer dalam urusan penegakan hukum melalui revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Koalisi LSM: Terorisme Bukan Domain TNI!
Sejumlah pasukan Detasemen Bravo-90 Paskhas mengamankan tempat kejadian perkara saat menyelamatkan para sandera pada simulasi penanggulangan anti teror di bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa tengah, Rabu (23/3). Antara foto/ aloysius jarot nugroho.

tirto.id - Koalisi yang diikuti Imparsial, KontraS, ELSAM, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, HRWG, Lesperssi, PBHI, ICW, Setara Institute dan PK2MP menilai pada draf revisi pasal 43B ayat 1 dan 2, DPR memberikan ruang kepada militer untuk terlibat dalam penegakan hukum.

"DPR sepertinya tidak paham mana militer dan sipil. Agenda revisi dengan melibat militer dalam tindak pidana terorisme ini sudah jelas salah. TNI itu adalah alat pertahanan negara, bukan penegak hukum. Jelas judulnya tindak pidana terorisme," kata direktur Imparsial, Al Araaf saat menggelar konferensi pers di kantor Imparsial, Selasa (21/06).

Dia pun meminta DPR untuk melihat dengan jelas koridor penegakan hukum sebagai domain dari kepolisian, bukan TNI. Secara logika, ada kesalahan penempatan pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

"DPR jangan mengkhianati mandat reformasi. Kami minta DPR menghapus pasal tersebut dan seluruh pasal yang mengatur pelibatan TNI dalam penanganan terorisme," ungkapnya.

Jika hal itu tidak dilakukan maka akan berpotensi terjadi penyimpangan tindakan hukum. "Nanti TNI ikut menangkap, padahal bukan tupoksinya mereka," tegasnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif PK2MP (Pusat Kajian Keamanan Migrasi dan Perbatasan) Mufti Makarim menilai, selain tidak tepat, pelibatan TNI dalam tindak pidana terorisme juga tidak memiliki dasar yang kuat. Jika yang dipermasalahkan adalah soal kinerja, seharusnya undang-undang dibuat untuk memperkuat kepolisian, bukan justru melibatkan TNI.

"Seharusnya ada evaluasi dulu, bagaimana kinerja kepolisian dalam tindak pidana terorisme. Setelah itu baru dirumuskan, jangan buru-buru langsung melakukan revisi. Saya tidak yakin DPR tidak tahu soal ini, bisa saja ada kesengajaan," urainya.

Menurutnya revisi undang-undang bukan lah jawaban yang tepat. Apalagi jika tujuan melibatkan TNI agar para teroris takut untuk melakukan aksi.

"Logika itu salah kaprah kalau melibatkan banyak pihak, teroris bakal takut, atau hukuman diperberat. Teroris itu soal ideologi, mereka bahkan tidak takut mati," pungkasnya.

Dia pun mengusulkan agar DPR memfokuskan diri pada aspek pencegahan tindak terorisme dengan deradikalisasi.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra